10. Gugup

13 4 1
                                    

Dipukuli berkali-kali tidak membuat Alia lumpuh seketika. Ia masih berupaya tetap kuat untuk bekerja sebagai pengantar bunga. Sekarang, ia sedang siap-siap untuk berangkat bekerja.

Alia sudah mandi, dan juga berdandan natural. Ia tidak neko-neko dalam berpakaian, cukup memakan rok sepanjang betisnya, dan juga baju rajutan berlengan panjang untuk menutupi luka dilengannya. Setelah dirasa cukup oke, Alia langsung beranjak menuju pintu.

Namun, sebelum benar-benar pergi. Suara burung merpati membuat Alia memundurkan langkahnya dan menoleh kearah jendela. Dan benar saja, burung merpati yang beberapa hari lalu mengirimkannya sebuah surat. Ternyata datang lagi dengan surat yang berbeda.

"Beo, kamu datang lagi." Alia bermonolog sendiri, sembari tangannya mengambil surat yang cengkram oleh kaki merpati tersebut dengan pelan-pelan.

"Hai, aku sapa kamu lagi, hehe ...
Tadinya aku mau mengirimkan coklat untukmu, tapi keburu dipatok beo."

"Oh iya, lukanya masih sakit?"

Alia mengernyit heran. Darimana pengiriman surat ini tahu jika dirinya sedang terluka?

"Jangan takut, aku tahu kamu terluka dari mbak Jum."

Tentu Alia terkejut, namun tak menampik jika dirinya takut dan terharu secara bersamaan. Alia lantas keluar dari kamarnya, dan menghampiri mbak Jum yang sedang berada didapur.

"Mbok! Alia mau ngomong."

"Ngomong apa non?"

"Semalam mbok ada ngasih tau orang lain kalau Alia dipukuli papa?" Tanya Alia dengan wajah penasarannya. "Ah, mana ada non." Balas wanita paruh baya itu dengan singkat. Alia menatap Mbak Jum lekat, terlihat semburat kebohongan diwajah wanita itu. "Mbok jangan bohong deh, ketara sekali."

Mbak Jum memang paling bodoh soal akting, makanya ekspresinya terbaca jelas oleh Alia. "Ehh, anu non. Iya mbok ada ngasih tau orang. Tapi, tapi mbok gak bisa ngasih tau ke non siapa orangnya." Ngakunya.

"Orangnya baik kok non, mbok kenal banget. Jadi non gausah khawatir, kalau dia macam-macam biar mbok tabok nanti dia."

Ucapan mbak Jum mengundang gelak tawa Alia. Gadis itu mengusap-usap punggung wanita yang kini menunduk kepala merasa bersalah. "Gapapa kok mbok, aku percaya." Ucapnya lalu berlalu kearah kamar.

Alia kembali membuka lipatan suratnya, lalu membaca isinya.

"Aku tebak, pasti kamu nanya ke mbok Jum, kan? Gimana udah dapat jawabannya? Jadi, jangan pikir macam-macam tentang aku."

"Jika luka itu menyakitkan, jangan cari cara untuk menyembuhkannya. Melainkan carilah cara biar kamu melupakan luka itu."

"Lupa bukanlah sesuatu yang mudah, kecuali jika kamu amnesia. Namun, mengingat-ingat luka itu tidak ada manfaatnya, Al. Itu akan membuatmu semakin sakit. Jalan satu-satunya adalah berdamai, atau melupakan. Karena, tidak ada kata sembuh untuk luka yang pernah tertoreh pada diri kita."

"Obat luka bukanlah luka, Al."

Tanpa sadar, Alia tersenyum. Ia terharu dengan rangkaian kata disurat itu.

"Terimakasih, untuk siapapun kamu."

____

Kadang Aksa bingung, alasan kenapa dirinya memilih jurusan hukum. Padahal, teman-temannya mewanti-wanti Aksa untuk masuk kejuruan sastra, karena mereka tahu Aksa seorang penulis novel yang cukup terkenal.

Semakin dipikirkan, semakin Aksa pusing pula. Langkah kakinya tanpa sengaja mengarah ketoko bunga. Aksa terpaku, toko bunga membuatnya ingat kepada seseorang.

"Alia ..." Gumamnya. Jujur, Aksa ingin menemui wanita itu sekarang. Ia khawatir, karena terakhir kali ia bersama Alia saat bodyguard sialan itu datang. Aksa takut gadis rapuh itu kembali disakiti.

Seolah mereka ditakdirkan untuk berjodoh, ia dan Alia berpapasan begitu ia berbalik badan. Aksa seketika gugup. "H-hai, Al!" Sapanya canggung. Aneh, padahal ia tidak pernah begini seumur hidup. Dirinya jarang grogi didepan siapapun bahkan wanita sekalipun. Namun Alia, kenapa gadis itu membuat jantungnya berdetak tidak normal? Dan juga, kenapa pipinya terasa panas?

Mungkin Aksa tidak menyadari, bahwa semburat merah terpancar di kedua pipi lelaki ini semakin terlihat jelas.

Alia membalas dengan senyuman manis wanita itu. "Aksa, kamu mau beli bunga?"

Karena bingung mau menjawab apa, Aksa hanya mengangguk gugup. Pikirannya terus berkutat, mencari jawaban dari perasaan yang dirasakannya sekarang.

"Untuk pacar kamu ya." Entah mengapa, hati Alia terasa remuk kala mengucapkan kalimat itu. Ia tertawa hambar berusaha menepis rasa membingungkan dihatinya.

Helaan nafas singkat Aksa keluarkan, "boro-boro pacar Al, saya aja masih bingung mencari tambatan hati." Ucapnya agak sedih. "Aku gak percaya. Kamu kan ganteng, masa gak punya pacar," Alia mencagak sepedanya, lalu pura-pura sibuk melihat-lihat bunga yang dipajang diarea toko. Aksa sedikit salting tatkala Alia menyebut dirinya ganteng. "Saya gak bohong, Al." Balasnya dengan Suara nyaris berbisik. Pandangan matanya terus tertuju pada punggung Alia.

"Astaghfirullah, Laksana." Aksa memejamkan mata sejenak. Sadar sejak tadi matanya tidak henti menatap Alia. Aksa merasa berdosa.

"Kamu jadi beli bunga?"

"Eh, jadi kok. Untuk teman sa–"

"Mau bunga apa?"

Aksa mengedarkan pandangannya, mencari bunga yang cukup menarik untuk dibeli. "Bunga yang ini juga boleh," ucap Aksa sedikit ragu. Ia sebenarnya tidak ingin membeli bunga, namun karena kehadiran Alia, ia jadi sungkan untuk berkata jujur. Entah apa yang ada dipikirannya, Aksa tidak mengerti.

"Oh, bunga Hortensia."

"Namanya hortensia?"

"Hmmm, bunga yang kamu pilih cantik. Pacar kamu pasti suka."

Alia tampak mengemas bunga itu dengan bucket, agar terlihat menarik. Sedangkan Aksa, lelaki itu hanya diam memerhatikan Alia. "Mau sekalian bikin kata-kata juga untuk pacar kamu?"

"Saya gak punya pacar, Al."

"Terus, bunga ini–"

"WOI, SA ... TEGA BENER LO NINGGALIN GUE!" Belum sempat Alia menyelesaikan kalimatnya, suara bariton Chandra sudah lebih dulu memotong. Lelaki itu tampak kelelahan, mencari Aksa–sahabatnya yang tega meninggalkannya sendirian disalon rambut tadi. Ya, Chandra berencana mengubah model rambutnya jadi haircut, dan ia meminta Aksa untuk menemaninya selama disalon. Namun, dipertengahan jalan, Aksa malah tega meninggalkannya dengan alasan hendak ketoilet, tapi tidak balik-balik sampai setengah jam.

Melihat kedatangan Chandra, otak pintar Aksa langsung bereaksi. Ia langsung memberikan bucket bunga itu ke Chandra, dihadapan Alia.

"Nih, bunga buat lo."

Tatapan Chandra berubah horor. Namun tangannya masih bersedia menerima bucket bunga warna pink tersebut. "Ma-maksud lo ngasih gue bunga untuk apa!??"

Tidak, Chandra tidak terharu maupun senang diberi bunga. Justru ia takut. "Lo gak sesat kan, Sa?"

Masa bodoh dengan Chandra, Aksa malah lebih memusatkan pandangannya ke Alia daripada menjawab pertanyaan sahabatnya. "Berapa totalnya, Al?"

"Eeum, aku gatau, kamu bayarnya disana aja dimeja kasir."

"Oke." Aksa langsung beranjak dari sana, ke meja kasir untuk membayar bunga yang ia beli.

____

Entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu pusing. Tapi memaksakan diri untuk tetap update 🤧

AMERTA : Tentang Aksa Yang Tak Pernah RedupWhere stories live. Discover now