Tiga

478 59 8
                                    

Velia baru saja duduk di meja makan, tetapi suara papanya membuat tubuhnya menegang. Hal yang paling Velia tak suka dengar kini dia dengar lagi, mungkin setahun ada seratus kali dia mendengar perkataan ini.

"Lia, dua bulan lagi ada acara ulang tahun perusahaan, papa harap kamu bisa diet. Turunin berat badan kamu, kayak kakak kamu," kata papanya seraya memakan udang goreng yang baru saja diambilkan mamanya untuk papanya.

"Iya, contoh dong kakak kamu, kalau udah naik dua kilo berat badannya langsung diet. Hidup sehat, jangan makan mulu," timpal mamanya seraya menggeleng tak habis pikir dengan anaknya yang sangat suka makan.

Tangan Velia yang ada di pahanya mengepal erat, matanya melirik pada kakaknya yang cuma diam seraya menikmati makanannya. Sudah Velia pastikan, kakaknya pasti tersanjung karena selalu dibandingkan dengannya, pasti merasa paling tinggi dan paling di atas daripada Velia.

Dalam hati, gadis itu mengumpat kesal. Kenapa mama papanya terkesan malu memiliki anak dengan bobot tubuh seperti dirinya?

"Velia di rumah aja, gak usah ajak Velia," balas Velia kemudian mengambil piringnya dan mengambil nasi sesuai porsinya.

Gadis itu tak peduli dengan perkataan papanya yang menyuruh dia untuk diet atau apa pun itu, yang paling penting dia bisa kenyang.

"Velia, ini demi kebaikan kamu!" sentak Vero—papa Velia.

"Demi kebaikan apa? Papa sama mama malu, 'kan, ajak aku ke mana-mana? Gak usah diajak, udah biasa, kok."

Vero menggeram kesal, matanya menatapku Velia tajam. "Kamu—"

"Velia juga gak dikenalin sama orang gak masalah," potong Velia. Dia tak ingin mendengar perkataan papanya lebih jauh lagi, hal itu akan berujung dengan dia semakin merasa tak percaya diri.

Velia begitu berharap kedua orang tuanya bisa seperti orang tua yang lain, menerima dia apa adanya, membiarkan dia berekspresi bagaimana pun itu. Dia dikekang, dia selalu dibandingkan, membuat Velia ingin sekali seperti kakaknya.

"Papamu belum selesai ngomong, Velia," tegur mamanya membuat Velia mendengkus kesal.

"Velia lapar, belum makan. Bisa Velia makan?"

Pertanyaan Velia itu sukses membuat semua di meja makan diam. Merasa sudah tak ada lagi balasan dari kedua orang tuanya, Velia pun mulai menyantap makanannya, tak peduli akan berat badannya yang tiap bulan selalu naik.

Namun, mata gadis itu berkaca-kaca kala mengingat bagaimana perkataan papanya tadi, selain itu mengingat bagaimana tadi papa dan mamanya membandingkan dirinya dan kakaknya.

Kurang lebih sepuluh menit Velia pun selesai makan, gadis itu langsung membawa piring bekas makannya untuk dicuci, kemudian meninggalkan keluarganya di ruang makan. Toh, tak ada juga gunanya Velia di sini, dia hanya akan membuat gaduh di sini, hanya akan berdebat dengan mama papanya yang tak akan ada habisnya.

"Mau ke mana?" tanya Sarah—kakak Velia. Dia sejak tadi hanya diam saja, tapi kemudian bersuara saat melihat Velia melangkah meninggalkan mereka di ruang makan tanpa pamit sama sekali.

"Ke kamar, mau tidur," jawab Velia ketus.

"Pantesan kamu malah makin gendut, habis makan selalu tidur," timpal papanya sontak membuat Velia menghela napasnya panjang.

"Mulut Velia, 'kan, fungsinya cuma satu."

"Velia!"

Kali ini, yang membentak Velia adalah Sarah. Dia kadang tak suka dengan adiknya yang sering sekali membantah kedua orang tuanya. Bagi Sarah, orang tua mereka mengatakan hal apa pun pada Velia untuk kebaikan Velia, bukan karena hal apa pun.

I'm (Not) FatWhere stories live. Discover now