Lima

485 71 15
                                    

Kalau mengingat perkataan Galen tadi di sekolah, rasanya Velia ingin menangis sekencang mungkin. Dia ditolak mentah-mentah sekali pun tak mengungkapkan perasaannya secara langsung. Galen menyatakan kalau dia tak suka dengan gadis gendut seperti dirinya.

Namun, Velia sama sekali tak ada niatan untuk menjadikan Galen sebagai miliknya tak ada juga niatan untuk mengungkapkan perasaannya. Seandainya Zola tak mengganggunya, sudah pasti tak akan ada yang mengetahui perasaannya.

Gadis itu menarik napasnya panjang, kemudian mengembuskan secara perlahan. Karena perkataan Galen tadi, dia jadi melupakan rasa laparnya, bahkan lupa kalau dia hari ini diet.

Ponsel Velia sejak tadi berdering, gadis itu sama sekali tak memedulikan ponselnya yang berdering, dia tengah meratapi nasibnya yang hidup dengan keadaan seperti ini. Kalau dia cantik, apa orang-orang akan menyukainya?

Kalau dia langsung, apa dia tak akan diganggu Zola lagi? Dan kalau dia cantik dan langsing, apa Galen akan mencintainya?

Sebenarnya siapa yang pertama kali menetapkan bahwa sumber kecantikan itu langsing dan wajah yang bersih? Siapa yang pertama kali menetapkan kalau cantik itu harus putih dulu?

Kemudian suara ketukan pintu serta suara mamanya yang memanggil dari luar membuat Velia tersadar, ponselnya juga masih berdering.

"Velia, udah tidur? Ini Mama bawain cemilan sama buah buat kamu."

Gadis itu dengan cepat bangkit dari duduknya, membukakan pintu untuk mamanya. Ketika pintu terbuka, mamanya langsung tersenyum manis padanya.

"Mama mau ngomong sama kamu, boleh?" tanya Yona dijawab dengan anggukan kepala dari Velia.

Velia membuka pintu kamarnya lebar-lebar, sebagai tanda kalau dia mengizinkan Yona untuk masuk ke kamar. Ketika Yona sudah masuk, Velia langsung menutup pintu dan menyusul mamanya yang sudah duduk di kursi, tempat biasa mamanya duduk kalau ke kamarnya.

"Mama mau ngomong apa?"

Gadis itu memilih untuk to the poin daripada harus mendengar mamanya basa-basi, hal itu hanya akan membuat Velia malas meladeni setiap perkataan mamanya. Dia tak begitu dekat dengan orang tuanya, tak seperti kakaknya yang sering bercanda dengan orang tuanya, mengobrol saja paling lama sepuluh menit, tak seperti kakaknya yang kadang bisa sampai sejam dua jam.

"Mama gak nyangka diet hari pertama kamu lancar. Kalau seterusnya kayak gini, Mama yakin, kamu pasti bisa langsing kayak kakak kamu."

Mata Yona berbinar membayangkan tubuh Velia yang akan langsing seperti kakaknya. Namun hal itu malah membuat Velia tersenyum kecut, sadar bahwa keluarganya malu jika dia ada di antara mereka, apalagi di antara keluarganya, dia yang paling jelek. Keluarganya saja tak suka dia gendut.

Velia merasa bahwa keluarganya tak bisa menerima dia dengan keadaan seperti ini, keluarganya ingin dia cantik seperti kakaknya.

"Saking aku jelek dan gendut, Mama sama papa malu banget, ya, jalan sama aku."

"Enggak, Mama gak malu, Dek," elak Yona.

"Kalau gak mau terus apa, hah?" sentak Velia tiba-tiba, membuat Yona terkejut mendengar suara anaknya.

Velia memang sering membantah, tapi baru kali ini dia melihat Velia mengeraskan suaranya.

"Kenapa gak gak dari di kandungan Velia dibunuh? Kenapa harus mental Velia yang kalian bunuh secara perlahan?"

"Dek, ngomong apa, sih? Mama gak ngerti," ucap Yona membuat Velia mendengkus kesal.

"Gak ngomong apa-apa, Velia mau tidur. Buah sama cemilannya Mama makan aja, atau kasih ke kakak. Velia gak lapar," usir Velia pada Yona, membuat Yona tak menyangka.

Namun, wanita paruh baya itu tetap mengikuti perkataan Velia, dia keluar kamar anaknya karena tak ingin membuat anaknya marah. Yona rasa, dia sama sekali tak memiliki salah apa pun, dia hanya ingin anaknya bisa seperti kakaknya. Pasalnya, di luar sana, sangat banyak orang yang membicarakan Velia, mengatakan kalau Velia tak cocok di keluarga mereka. Yona ingin membuktikan bahwa Velia anaknya cocok berada di antara mereka.

Setelah mamanya keluar dari kamar, Velia tersadar akan satu hal, dia baru saja membentak mamanya. Ya Tuhan, kenapa malah jadi seperti ini?

Gadis itu mengusap wajahnya kasar, frustrasi lantaran mengingat perkataan Galen di sekolah tadi, kemudian frustrasi dengan mamanya yang lagi-lagi membandingkan dia dengan kakaknya.

***

Setelah apa yang terjadi semalam, Velia tak menegur mamanya, bukan karena masih marah, tapi karena dia gengsi.  Sementara mamanya juga cuma diam saja, bahkan saat Velia ingin mengambil roti gandum yang ada di depan mamanya, mamanya cuma diam saja.

"Gimana sama diet kamu?"

Kali ini, yang mengeluarkan suara adalah papanya, membuat Velia yang sejak tadi diam saja pun langsung mendongak.

"Baru sehari, Pa. Aku rasa gak perlu ditanya, belum tahu juga sukses atau enggak," jawab Velia. Gadis itu langsung mengambil botol minum yang dia siapkan, kemudian bangkit dari duduknya.

Niatnya tadi mau menyantap rotinya di sini, tapi mendengar papanya bertanya, membuat Velia malas harus berdebar. Tiap hari berdebat, yang akan dibahas hanya soal berat badannya tanpa henti, kemudian berujung dengan membandingkan dia dan kakaknya. Jelas saja Velia tak mampu menandingi kakaknya, semua orang melihat kakaknya akan mengatakan bahwa kakaknya adalah bidadari turun dari langit.

"Papa ngomong sama kamu, Velia," kata Vero.

"Aku udah jawab, Pa," balas Velia seraya menghela napasnya lelah.

"Jawab apa?"

"Belum ada yang berubah, aku tetap gendut," jawab Velia malas.

Hal itu membuat Vero kesal dengan jawaban anaknya, maksud pertanyaannya itu bukan perihal berat badan Velia, tapi perihal kelancaran proses diet Velia.

"Lancar?" tanya Vero lagi. Dia tak putus asa menanyakan perihal proses diet anaknya, walau sebenarnya amarah sudah ada di ubun-ubun saat ini.

"Lancar bikin lapar seharian," jawab Velia.

"Kamu kenapa banyak ngebantah sih? Hah?"

Suara papanya kini meninggi, dia sudah tak bisa menahan amarahnya lantara mendengar jawaban anaknya yang terdengar ketus padanya.

"Ngebantah gimana, Pa? Aku cuma jawab seadanya aja, sesuai dengan pertanyaan Papa."

Vero menggeram kesal, rasanya dia ingin memarahi Velia saat ini, tetapi ditahan oleh istrinya yang sudah menggenggam tangannya di bawah meja. Namun, kalau Velia dibiarkan seperti ini, Velia akan terus seperti ini. Banyak membantah.

"Papa tahu kamu gak suka dibandingkan dengan kakakmu, tapi kamu sama sekali gak mau berubah seperti kakakmu. Coba kalau seandainya kamu seperti kakakmu, gak akan ada orang yang ngomongin kita."

Velia memejamkan matanya, dia tahu akan hal ini, banyak yang membicarakan mereka. Ralat, membicarakan dirinya lebih tepat, selalu berpikir bahwa Velia tak pantas berada di keluarga sempurna ini.

"Gampang aja, Pa. Jangan bawa Velia atau jangan ajak Velia, Velia juga gak masalah. Kalian bertiga sempurna, gak cocok sama Velia yang banyak kurangnya," pungkas Velia kemudian meninggalkan ruang makan.

Kalau dia terus bertahan di sini dan berdebat dengan papanya, dapat dipastikan kalau dia akan datang terlambat di sekolah.

***

Holaaa

Akhirnyaaaaaa aku update lagi

Emang gak serajin dulu, karena akhir-akhir ini sibuk banget.

Ditunggu update selanjutnya.

Jangan lupa tinggalkan jejak yah

Bye bye

I'm (Not) FatDove le storie prendono vita. Scoprilo ora