21. Amarah Sang Suami

617 107 6
                                    

Part 21 Amarah Sang Suami

Rasa panas merebak di seluruh permukaan wajah Eiza. Rasa nyeri menusuk di sudut bibirnya yang pasti lecet karena saking kerasnya tamparan dari sang mertua. Setelah melemparkan cacian yang menyakitkan, Loorena berjalan pergi. Meninggalkannya yang masih tertunduk dalam karena tamparan tersebut.

“Kau baik-baik saja?” Danen merangkum kedua sisi wajahnya. Mengangkat kepala Eiza ke arahnya. Mengamati lecet di ujung bibir Eiza dan bekas tamparan yang memenuhi pipi kanan wanita itu.

“Lepaskan dia, Lee.” Tangan Danen mendadak dihentakkan dari wajah Eiza. Marco memisahkan tubuh Danen dan Eiza yang saling berdekatan. Menghadap Danen. “Apa kau masih belum memberinya masalah?”

Danen menggeram tak terima. “Siapa kau?”

Marco hanya mendengus mengejek. “Kau hanya perlu tahu, apa pun urusan Eiza sama sekali bukan urusanmu.”

Danen mendorong tubuhnya maju, tetapi Marco mendorong dada Danen lebih dulu hingga pria itu terhuyung ke belakang.

Eiza lekas menahan lengan Marco. “Lepaskan dia, aku akan ikut denganmu.”

Marco mencegah langkahnya yang hendak mendekati Danen. Keseimbangan pria itu baru saja kembali ketika melihat Eiza yang memberinya satu gelengan pasrah dan ikut pergi dengan Marco.

Keduanya berpapasan dengan Jessi, yang melemparkan tatapan sengit pada Eiza sebelum melewati mereka. Begitu memasuki ruangan luas restoran, Eiza melihat Loorena yang berdiri di samping mejanya dan kedua temannya. Dan pemandangan yang lebih mengejutkannya adalah senyum yang memenuhi wajah Loorena ketika sedang berbincang Dashia. Serra masih duduk di kursi, juga mengamati interaksi antara Loorena dan Dashia yang tampak begitu akrab. Sikap Loorena kepadanya jelas berbanding terbalik dengan sikap wanita itu padanya.

“Kupikir Marcuss memberimu ijin untuk bertemu teman-temanmu bukan untuk membuat mamanya memergoki perselingkuhanmu, Eiza.” Marco mengalihkan perhatian Eiza yang masih terpaku pada Loorena dan Dashia.

Tangan Loorena terulur, menyentuh pipi Dashia dan mengusap dengan lembut sembari mengatakan kata-kata dengan penuh senyum. Eiza tak tahu apa yang diucapkan wanita paruh tersebut, ia hanya tahu bahwa Loorena tampak begitu menyukai Dashia.

Saat pembicaraan keduanya mulai berakhir, Dashia bahkan mengantar kepergian Loorena menuju pintu restoran. 

“Kau mendengarku?” tanya Marco, berusaha mendapatkan perhatian Eiza. 

Eiza mengerjap, menatap Marco dan menjawab, “Aku tak tahu akan bertemu mereka di sini. Dan lagi, akulah yang berada dalam masalah. Bukan kau.”

Marco terdiam, menatap wajah dingin Eiza yang kemudian berjalan lebih dulu. Marco pun menyusul wanita itu.

“Kenapa dengan wajahmu?” Serra membelalak tak percaya melihat bekas tamparan yang begitu jelas di wajah Eiza, juga luka di ujung bibir wanita itu. Serra lekas beranjak dari duduknya, mendekati sang sahabat dengan kecemasan yang begitu pekat.

Eiza menurunkan kedua tangan Serra dari wajahnya. Mengambil blazernya yang digantungkan di punggung kursi dan berkata, “Aku harus pergi.”

Serra menatap keberadaan Marco yang berdiri di samping belakang Eiza. Terpaksa memberikan satu anggukan. “Apakah ini perbuatan …” Serra mencondongkan wajahnya lebih dekat ke arah Eiza. “… mertuamu?”

Eiza tak menjawab.

“Ck, tadi Dashia yang memberitahu mertuamu kalau kau sedang ada di toilet. Padahal kami melihat Danen keluar dan menuju ke tempat yang sama denganmu. Seharusnya dia memperkirakan hal semacam ini.”

Eiza hanya mengangguk singkat. Melebarkan senyum untuk Serra demi meredakan kecemasan sang sahabat. Berbanding terbalik dengan tatapan kecurigaan wanita itu, Eiza hanya menganggap bahwa itu hanya kebetulan yang tak disengaja oleh Dashia. Dashia tak mungkin memiliki niat seburuk itu kepadanya.

“Aku pergi sekarang,” ucapnya kemudian memberikan pelukan sampai jumpa dan berjalan meninggalkan Serra. Diikuti Marco yang mengekorinya.

*** 

Rodrigo’s Building adalah gedung pencakar langit yang dibungkus dinding kaca hitam. Tampak begitu megah dan mewah bahkan dengan satu warna hitam pekat yang melingkupi bangunan tersebut.

Marco membukakan pintu untuk Eiza ketika mobil pria itu berhenti di depan teras gedung. Membawanya masuk menyeberangi lobi yang luas menuju sisi ruangan.

“Marcuss sudah menunggumu di atas.” Marco mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam yang ditempelkan di samping pintu lift sebelum melangkah keluar. Pintu lift bergeser tertutup dan membawa Eiza naik ke lantai gedung tertinggi.

Seperti yang dikatakan oleh Marco, Marcuss muncul dari ujung lorong begitu pintu lift terbuka dan Eiza melangkah keluar. Semakin jarak keduanya terpangkas, ia bisa melihat senyum pria itu menyambutnya semakin lebar. Sampai pria itu menyadari ada yang janggal dengan wajahnya.

Eiza menggigit bibir bagian bawahnya. Bekas tamparan mertuanya tentu saja masih memerah di pipinya meski tidak semerah beberapa saat yang lalu. Begitu pun lecet di ujung bibirnya yang masih terasa perih.

Senyum pria itu membeku, dengan ujung bibir yang berkedut akan luka lecet dan pipi Eiza. Begitu keduanya saling berhadapan, tangannya terulur, menangkap ujung dagu Eiza dan mendongakkan wajah wanita itu untuk mengamati lebih dalam. “Siapa yang melakukannya?” desisnya tajam. Kemarahan berkilat di kedua matanya pada siapa pun yang telah berani menyentuhkan tangan di wajah sang istri. Menyentuhkan tangan pada miliknya.

“Bukan apa-apa,” jawab Eiza menarik wajahnya, tetapi hanya sesaat berhasil terlepas. Marcuss kembali menangkap rahangnya, dengan cekalan yang lebih kuat. Tentu saja pria itu tak menyukai jawaban yang Eiza berikan.

“Siapa?” ulang Marcuss. Bibirnya menipis tajam. Setajam tatapannya.

“A-aku a … akan menjelaskannya.” Suara Eiza terbata.

“Sebaiknya penjelasan yang bagus, Eiza.” Tangan Marcuss yang lain bergerak menangkap pinggang sang istri. Membawa masuk Eiza ke dalam ruangannya setelah memerintah sekretarisnya untuk membawakan kotak p3k. Kemudian mendudukkan Eiza di set sofa terdekat dari pintu.

Eiza menjilat bibirnya yang mendadak kering. Merasakan ketidak sabaran dalam napas Marcuss yang begitu dekat dengan posisinya. “Mamamu melihatku menemui Danen.”

Kebekuan di wajah Marcuss seketika berubah menjadi ketegangan. Dan kegelapan mulai merambati permukaan wajah pria itu mendengar nama yang sudah menjadi hal tabu untuk disebutkan setelah ia berhasil menikahi Eiza.

“Aku memberimu ijin untuk bertemu teman-temanmu bukan untuk membuat mamaku memergoki perselingkuhanmu, Eiza.”

“Aku tak sengaja bertemu dengannya ketika makan bersama teman-temanku, Marcuss. Sungguh.” Eiza lekas menjelaskan. Berharap kejujurannya bisa dipercaya oleh pria itu meski dengan kemungkinan yang sangat tipis. “K-kami … dia …”

Mata Marcuss menyipit tajam. Geraman terdengar dari dalam dadanya. Pengakuan Eiza membuat kecemburuan di dadanya semakin bergemuruh. Tangannya yang diletakkan di punggung kursi, tepat di belakang punggung Eiza bergerak menyentuh tengkuk wanita itu. Mendorong tubuh Eiza ke arahnya. 

Eiza tersentak pelan ketika wajah Marcuss mendarat di cekungan lehernya. Mengendus sesaat sebelum kemudian menggeram lebih dalam. Tangannya menyentakkan resleting dress Eiza dan tangannya yang lain melepas turun bagian depandress wanita itu hingga tubuh sang istri setengah telanjang.

“Dia memelukmu?” desis Marcuss bertanya. Yang tak membutuhkan jawaban.

Mata Eiza terpejam. Tak hanya Danen yang memeluknya, tapi entah kenapa hanya aroma parfum Danen yang berhasil ditangkap oleh hidung pria itu. Satu gerakan ringan, tangan Marcuss melepaskan pengait branya, mendorong tubuhnya berbaring di sofa yang sebelum kemudian tubuh pria itu menindihnya. Menangkap bibirnya.

Eiza sempat merintih dengan lumatan pria itu yang menyakiti lecet di ujung bibir. Tapi seperti biasa, Marcuss tak pernah peduli saat sedang marah seperti ini. Menjadikan tubuhnya sebagai pelampiasan nafsu pria itu dan Eiza tak pernah berdaya menerima semua serangan cumbuan dan pagutan sang suami. Juga hujaman gairah pria itu yang membuatnya kewalahan.

Billionaire's LustOnde histórias criam vida. Descubra agora