22. Sang Mertua

669 106 9
                                    

Part 22 Sang Mertua

Eiza meringis ketika memperbaiki polesan lipstiknya di bibir, terutama di bagian ujungnya yang semakin lecet setelah lumatan penuh nafsu Marcuss. Bekas tamparan sang mertua masih cukup merah meski tak sepekat sebelumnya. Juga bekas hasrat pria itu yang memenuhi leher dan dadanya yang hanya mengenakan bra. 

Dressnya sudah dibuang ke tempat sampah oleh Marcuss begitu pria itu memisahkan tubuh mereka. Menyuruhnya ke kamar mandi untuk mendapatkan salah satu kemeja cadangan pria itu yang tersimpan di salah satu laci.

Eiza membungkuk, membuka laci teratas yang berisi handuk dan laci kedua yang berisi beberapa kemeja seperti yang Marcuss katakan. Ia meraih tumpukan paling atas dan mengenakannya. Tubuh Marcuss yang besar dan tinggi, membuat kemeja itu menutupi hingga setengah pahanya. Dan butuh beberapa gulungan di lengan.

Warnanya yang putih dan sedikit terawang membuat warna bra dan celana dalamnya yang cukup terang menjiplak di sana. Tetapi ia tak punya pilihan selain mengenakan pakaian ini.

“Bisakah kau meminta salah satu anak buahmu untuk membawakan pakaian ganti untukku?” tanya Eiza dengan hati-hati ketika menghampiri pria itu yang sudah duduk di balik meja. Baru saja meletakkan mac di meja.

Marcuss menoleh ke samping. Kedua matanya yang hitam pekat mengamati penampilan Eiza dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Tidak,” jawabnya tegas. Menarik lengan Eiza dan mendudukkan wanita itu di pangkuannya. “Aku suka melihatmu seperti ini.”

“T-tapi … aku tak mungkin mengenakannya …”

“Aku lebih tertarik membahas pertemuanmu dengan mantanmu daripada ketidaknyamananmu, istriku.

Eiza membeku. Kemarahan di wajah Marcuss sudah tak sepekat sebelumnya, tetapi pria itu jelas tak akan melewatkan pertemuannya dengan Danen begitu saja. “K-kami hanya bicara.”

“Dan pembicaraan macam apa yang masih tersisa di antara kalian?”

Eiza menggeleng.

“Itu bukan jawaban yang kuinginkan, istriku.

Eiza menelan ludahnya. Pembicaraannya dengan Danen tak mungkin ia bahas dengan Marcuss. “D-dia … hanya menyesali perpisahan kami.” Hanya itu bisa ia berikan pada Marcuss, sekaligus bukan suatu kebohongan karena pria itu pasti akan dengan mudah mengendus jawaban tersebut.

Marcuss terdiam, mengamati lebih dalam raut sang istri. Tak sulit untuk menemukan kejujuran di sana. Kemarahan yang masih tersisa di dadanya seketika berubah menjadi kepuasan. “Kalau begitu dia bisa menikmati penyesalannya,” cemoohnya.

Eiza tak mengatakan apa pun.

“Lalu bagaimana denganmu?”

Pertanyaan Marcuss kali ini membuat tubuh Eiza menegang. Ekspresinya yang membeku berubah pucat.

“Apakah kau juga menyesali perpisahan kalian, istriku?”

“Jawaban seperti apa yang kau inginkan, Marcuss?” Setelah cukup lama membisu, Eiza akhirnya berhasil tersadar. Tak yakin jawaban apa yang diinginkan oleh pria itu.

“Kejujuran?” Salah satu alis Marcuss terangkat, melucuti setiap lapisan ekspresi di wajah Eiza.

Eiza tak langsung menjawab. “Kami berkencan selama lebih dari empat tahun dan menikah hampir setahun.”

“Delapan bulan,” koreksi Marcuss.

“Dan kami saling mencintai lebih dari semua waktu itu.”

Marcuss menyeringai, tatapannya tampak mengejek dengan jawaban tersebut. Cinta? Ia tak pernah tahu apa itu cinta selain omong kosong. Baginya, cinta hanyalah kebohongan yang membungkus nafsu dan gairah terhadap lawan jenis. Dan ia tak suka bertele-tele dengan omong kosong cinta selama ia bisa mendapatkan apa yang diinginkan dari lawan jenisnya tanpa bersusah payah.

Billionaire's LustWhere stories live. Discover now