30. Mungkinkah?

615 113 12
                                    

Part 30 Mungkinkah?

Eiza tahu Marcuss adalah berengsek yang gila, tapi tak menyangka pria itu akan segila ini hingga menidurinya di pinggir jalan. Setelah sore yang benar-benar memacu adrenalinnya secara fisik dan batin. Eiza tak segan-segan menunjukkan kedongkolannya meski tetap tak bisa melawan kehendak pria itu yang semakin menjadi-jadi padanya.

Hari-harinya dipenuhi kebosanan kembali. Hanya menunggu kedatangan pria itu dari kantor dan lagi-lagi melayani pria itu di ranjang.

“Kepalaku pusing, Marcuss. Tidak bisakah kau membiarkanku malam ini?” Eiza memiringkan wajahnya sebelum bibir Marcuss berhasil menangkap ciuman di bibir.

Kening Marcuss berkerut. “Kau sakit?”

“Hanya tak berselera saja.” Eiza menggelengkan kepala. Mendorong dada Marcuss menjauh. Namun, sebelum ia berhasil menyelinap keluar dari tubuh pria itu yang menghimpitnya ke wastafel. Lengannya kembali ditahan.

“Aku tak mengatakan kau boleh menolakku.”

“Kau juga mengingkari janjimu. Kau bilang akan membawanya menemui baby Ezlin. Dua hari yang lalu.”

“Hanya jika kau bersikap baik.”

“Aku tak melakukan apa pun sepanjang minggu ini, satu-satunya hal yang kulakukan hanya bernapas. Apakah itu terlihat salah di matamu?” Emosi Eiza mulai tersulut.

Marcuss mendengus. “Kau tak menyambutku di bawah. Dan kau malah sibuk merenungi kebimbanganmu.”

“Apakah kau benar-benar butuh disambut? Kenapa kau tidak menyuruh semua pelayanmu berjajar untuk menyambut kedatangannya?” sengit Eiza dipenuhi emosi. 

Wajah Marcuss perlahan dipenuhi ketegangan. Pegangan tangan pria itu di lengan Eiza menguat. Setengah mencengkeram sebelum kemudian menyentakkan tubuh Eiza ke bilik shower.

Eiza nyaris terjungkal saking kuatnya sentakan Marcuss. Wajahnya bahkan hampir membentur dinding kamar mandi. Saat kepalanya berputar, Marcuss sudah melepaskan pakaian pria itu dalam perjalanan menyusulnya. Menyalakan air dingin dan membiarkan tubuh Eiza tersentak kaget dengan air dingin yang menusuk. Eiza baru saja selesai mandi ketika pria itu muncul di kamar dan terlihat kesal. Dan sekarang kepalanya harus diguyur air yang sengaja disetel dingin.

Tangan Marcuss menyentakkan jubah mandi yang belum sepenuhnya terikat. Membiarkan tubuh Eiza kembali telanjang. Eiza berusaha memberontak sekuat tenaga. Kesabarannya sepanjang minggu ini benar-benar sudah habis. Tak lagi peduli jika Marcuss akan memperlakukannya dengan lebih kasar dan menyakitkan dari sebelumnya. Bermain-main dengan tubuh dan hatinya yang remuk redam.

*** 

“Wajahmu terlihat murung, sepupu,” komentar Marco ketika duduk di kursi di depan meja kebesaran Marcuss. Mendorong dua berkas di tangannya ke depan sang sepupu. Yang duduk bersandar di punggung kursi dan kedua kaki dinaikkan ke meja. Dasi Marcuss tampak melonggar dan rambut pria itu tampak kusut. Karena digusur dengan jemari tangan. Marcuss tak pernah terlihat seberantakan ini. Bahkan urusan pekerjaan tak pernah membuat seorang Marcuss sekacau ini. “Istrimu lagi?”

Marcuss melirik tajam ke arah Marco. Yang malah terkekeh menanggapi tusukan kedua mata hitamnya.

“Sepertinya dia tak membuat masalah. Atau …” Marco mengulur suaranya. “Kau lebih suka dia membuat masalah.”

“Diamlah, Marco,” sergah Marcuss kemudian. Menurunkan kaki dan menegakkan punggung. Meraih dua berkas yang disodorkan sang sepupu. “Di mana dia sekarang?”

“Di apartemen Serra Rema.”

“Dashia?”

“Baru saja meninggalkan rumah mamamu. Tapi sepertinya tidak akan langsung pulang.”

Billionaire's LustDonde viven las historias. Descúbrelo ahora