38. Tak Sepemurah Itu

514 120 6
                                    

Part 38 Tak Sepemurah Itu

Eiza tersentak kaget ketika mendengar suara pintu kamar yang didorong sedikit kasar. Matanya terbuka dengan rasa pusing yang memberatkan kepalanya. Lampu kamar di nakas masih hidup tapi seluruh ruangan terlihat benderang oleh cahaya matahari yang menerobos masuk dari gorden kamar yang semalam sengaja ia buka.

Jam di nakas juga sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Setidaknya ia tidur lebih dari tiga jam. Terakhir kali ia melihat jam sebelum tidur, jam sudah hampir menyentuh angka lima.

Eiza menoleh ke arah pintu. Melihat Marcuss yang sudah menutup pintu dan berjalan masuk. Ia pun langsung bangun terduduk, kedua matanya mengikuti langkah pria itu menyeberangi ruangan dan masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa menoleh ataupun bicara dengannya.

Eiza tertegun di tepi ranjang. Hanya bisa menggigit bibir dan menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Mendengarkan suara gemericik air dan menunggu dengan perasaan yang masih campur aduk.

Dan seolah belum cukup semua perasaannya yang berantakan sepanjang malam karena memikirkan apa yang sedang Marcuss dan Dashia lakukan di ruangn kerja pria itu. Suara ketukan pintu kamar memecah perhatian Eiza.

Eiza berdiri, membukakan pintu.

Dashia berdiri di depan pintu, memasang senyum terbaik wanita itu. Sebelum kemudian menampilkan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Ah, Eiza. Kau di sini. Kupikir Marcuss.”

Eiza tak tahu harus menjawab apa. Bukankah ini memang kamarnya? Ah, ia pun lupa. Ini kamar Marcuss. Apakah pertanyaan Dashia menyiratkan bahwa tak lama lagi dirinya tak lagi ada di kamar ini. Di rumah ini. Dan Dashialah yang akan tidur di ruangan utama ini.

Cubitan kecil yang terasa menusuk mendadak terasa di dada Eiza. 

“Aku mengantar minuman untuk Marcuss. Saat aku bangun, dia masih tidur di ruang kerja. Jadi aku turun untuk membawakannya sarapan.”

Eiza merasakan gigitan di bibir bagian dalamnya semakin kuat. Pandangannya mengamati penampilan Dashia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wanita itu mengenakan lingerie berwarna ungu, yang tampak familiar di ingatannya. Ah, itu pakaian tidur yang diberikan Marcuss padanya.

Tubuh Dashia tampak membayang di balik kain tipis itu. Dengan beberapa kissmark yang menghiasi leher dan sekitar dada wanita itu. 

Eiza dikejutkan oleh gelombang kecemburuan yang menerjang dadanya. Begitu kuat hingga membuat dadanya terasa sesak. 

“Tapi saat kembali dia sudah tidak ada di sana, jadi kupikir dia sedang mandi. Semalam kami …” Dashia tiba-tiba menghentikan kalimatnya. “Aku tak seharusnya menceritakan detailnya. Bagaimana pun, kau masih istrinya. Maafkan aku. Meski kau tak mencintainya, dia tetap suamimu, kan. Aku tak ingin mengingatkan traumamu pada Danen.”

Eiza menahan rasa panas yang menjalar di kedua kelopak matanya lalu menggeleng. “Kau tak perlu minta maaf,” jawabnya yang terdengar seperti sebuah kebohongan besar. “Dan kau tak perlu merasa bersalah. Selain pernikahan dan baby Ezlin, tak ada apa pun yang kami miliki bersama.”

Dashia mengangguk, kembali memasang wajah semringahnya. Mengulurkan nampan di tangannya pada Eiza. “Berikan pada Danen. Sepertinya aku juga harus membersihkan tubuhku.”

Eiza menangkap nampan tersebut.

“Ah, satu hal lagi.” Dashia melirihkan suara dan sedikit mencondongkan tubuh ke arah Eiza. “Aku sudah bicara dengan Danen. Dia akan segera menemuimu. Hari ini, pergilah ke apartemen Serra.”

“Apartemen Serra?”

“Aku sudah bicara dengan Marcuss, dia tak akan melarangmu pergi.”

Sekali lagi Eiza dibuat tertegun dengan kata-kata Dashia. Yang berhasil menciptakan ombak kecemburuan yang lebih besar dari sebelumnya. Lama wanita itu dibuat terhenyak di ambang pintu kamar yang masih terbuka lebar. Dengan kedua tangan masih memegang nampan berisi makan pagi, menatap ke arah tangga. Tempat Dashia menghilang dari pandangannya.

Suara pintu kamar mandi yang dibuka memecah lamunan Eiza. Wanita itu berbalik, menutup pintu di belakangnya dan meletakkan nampan di meja lalu menghampiri Marcuss yang sudah masuk ke ruang ganti. 

“Kalau kau menikah dengan Dashia, bisakah kau memberikan baby Ezlin padaku?” Eiza memberanikan diri mengajukan pertanyaan tersebut meski harus menggadaikan rasa malu dan tak tahu dirinya.

Marcuss yang baru saja mengenakan kaos polosnya melewati kepala, menoleh ke arah Eiza. Menatap wajah Eiza dengan senyum mengejek. “Kenapa aku harus melakukannya untukmu?”

“Jika Dashia memberimu anak laki-laki. Kau tak membutuhkan Ezlin, kan?”

Marcuss mendengus. “Saat aku menikah dengan Dashia, kaulah satu-satunya orang yang akan disingkirkan oleh mamaku, Eiza. Ezlin memiliki darah Rodrigo, tes DNA yang kami lakukan sangat valid. Dan kami melakukannya dua kali. Tak ada keraguan di sana. Meski mamaku tak punya hati, mamaku tak mungkin membuang keturunannya ke jalanan.”

Jawaban telak Marcuss membuat Eiza tersentak ke belakang. Hatinya mencelos. “Selain dia, tak ada siapa pun yang kumiliki, Marcuss. Tidak bisakah kau sedikit berbaik hati padaku? Semua kepelikan di hidupku berawal darimu.”

“Tak ada siapa pun?” dengus Marcuss lebih keras. “Kau masih memiliki mantan suamimu yang pengecut itu, kan?”

Eiza serasa ditampar dengan keras oleh jawaban tersebut.

“Semua keributan, kebencian, kemarahan, dan penolakanmu ini. Karena kau masih mencintainya, kan? Kau membuang anak kandungmu sendiri demi kembali padanya, kan? Kenapa rengekanmu sekarang terdengar seperti kau menginginkan anakku?” Marcuss mengakhiri pembicaraan tersebut sembari menarik celana panjangnya di lemari. Mengenakannya dan langsung berjalan keluar.

Kedua kaki Eiza melemah, jatuh terduduk di lantai dengan kedua pundak yang melengkung ke bawah. Air matanya jatuh. Tanpa mampu ia bendung bersamaan luapan emosi yang memenuhi dadanya. Ia terisak, semakin keras.

*** 

“Apakah istrimu masih tak mau bicara?” Marco meletakkan dua berkas di hadapan Marcuss yang langsung membukanya. 

Marcuss mengernyit, tak langsung menjawab karena lembaran di hadapannya lebih menarik untuk diperbincangkan daripada membicarakan Eiza yang membuat emosinya semakin tak baik.

“Semua itu hanya bukti tak langsung. Pengacaramu mengatakan, kita tak bisa menetapkan tersangka hanya dengan sebuah tuduhan.”

“Aku sudah mengatakan padamu untuk menghentikan penyelidikan ini, kan?” Kali ini wajah Marcuss terangkat, dengan salah satu alis yang terangkat karena sang sepupu tak menuruti perintahnya. Dan memberikan informasi tak penting ini.

Marco mendesah pendek. “Ini percobaan pembunuhan, Marcuss. Siapa yang tahu selanjutnya tidak akan menjadi lebih serius dari ini.”

“Kupikir kau mendengar dengan jelas bahwa kita tak bisa memenjarakannya hanya karena sebuah prasangka.”

“Kau bisa membujuk Eiza untuk buka mulut. Membuka matanya untuk melihat semuanya dengan lebih jelas.”

“Cinta butanya sudah membuat pandangannya keruh, Marco. Dan dia memang sengaja membuta. Aku tak akan membuang waktu untuk hal sia-sia itu.”

“Lalu kenapa kau masih mempertahankannya di rumah ini?”

Kedua tangan Marcuss mengepal, melemparkan tatapan tajamnya pada sang sepupu. 

“Jika memang kau ingin menyingkirkannya, kau hanya perlu menceraikannya seperti yang diinginkan mamamu dan menikahi Dashia. Jika kau menginginkannya, kau tak perlu membiarkan Dashia menuai harapan dengan ada di rumah ini. Membuat kedua wanita itu berada dalam kecanggungan.”

“Mereka tidak. Eiza dengan sukarela menyerahkanku pada sahabatnya yang licik itu. Aku hanya memastikannya melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa keinginannya mulai terkabul satu persatu.”

Kedua alis Marco saling bertaut. Menangkap seringai licik di salah satu ujung bibir Marcuss.

“Kau pikir aku akan membiarkannya melenggang pergi dari hidupku tanpa hukuman?” dengus Marcuss. “Dia harus membayar semua perbuatan dengan sangat mahal, Marco. Kau tahu aku tak sepemurah itu.”

Billionaire's LustWhere stories live. Discover now