41. Kemarahan Dashia

411 94 4
                                    

Part 41 Kemarahan Dashia

‘Intinya, keputus asaan tak akan membuat semuanya menjadi lebih baik. Yang harus kau lakukan adalah mengembalikan perhatian tuan Marcuss yang sudah kau sia-siakan dengan ketololanmu itu.’ Kata-kata Serra kembali berputar di benaknya. Tubuhnya berbaring miring, mengarah pada jendela kamar yang memperlihatkan hari sudah mulai gelap. Tapi ia enggan beranjak dari kasur untuk menutup gorden kamar.

Kedua lengan Marcuss melilit tubuhnya. Satu sebagai bantal dilehernya dan lengan yang lain memeluk perutnya. Ujung jemari pria itu bermain-main di perutnya. Memberinya rasa geli sekaligus nyaman.

Keduanya masih berbaring di tengah kasur, dan telanjang di balik selimut yang hanya menutupi sebagian tubuh mereka. Eiza sama sekali tak berusaha memecah kesunyian tersebut. Tubuh keduanya yang melengkung seperti sendok terasa lebih membuatnya aman. Untuk sesaat, ia hanya ingin merasa tenang di tengah kemelut permasalahan yang tak kunjung usai. Masih mengintip dan akan kembali jika ia bergerak turun dari ranjang.

Tiba-tiba gerakan tangan Marcuss di perutnya berhenti. Pria itu menarik tubuh Eiza menghadap ke arahnya. “Kau tak menolakku?”

Eiza tak menjawab, hanya menatap kedua bola hitam dan pekat milik Marcuss dalam kebisuan. Pria itu bertanya seolah dirinya punya pilihan untuk menolak saja.

Kedua alis bertaut. “Ataukah ini bayaran untuk kebungkamanmu?”

Eiza tahu apa yang dimaksud oleh Marcuss. Marco tahu bahwa Danenlah tersangka dalam kecelakaan mereka. Hanya kesaksiannyalah yang menahan pria itu dari jeruji besi.

Marcuss mendengus. Menarik kedua lengannya dari tubuh Eiza dan beranjak turun. “Ya, setidaknya kau masih bersedia membayar dengan tubuhmu. Jika kau bersikap baik, aku akan membiarkannya.”

Eiza masih bergeming, menatap Marcuss yang mulai mengenakan celana. Saat itulah pintu kamar mereka diketuk. Dengan bertelanjang dada, Marcuss membukakan pintu.

“Marc …” Sapaan Dashia terhenti melihat tubuh Marcuss yang setengah telanjang.

“Ada apa?” tanya Marcuss datar.

Dashia mengerjap tersadar. Sedikit mengangkat nampan berisi makan malam di kedua tangannya. “Kau tidak bergabung di meja makan, jadi aku membawakan makan malam untuk kalian berdua.”

Pandangan Dashia melewati lengan Marcuss ketika menyelesaikan kalimatnya. Melihat Eiza yang berbaring di tengah ranjang yang berantakan. Wajahnya seketika dipenuhi kecemburuan dengan tubuh Eiza yang telanjang di balik selimut ketika pandangan mereka bersirobok. Eiza beranjak duduk dengan tangan memegang selimut di dada.

Jadi keduanya tidak bergabung di meja makan karena sibuk berbagi keringat? geram Dashia dalam hati. Betapa liciknya Eiza telah membodohinya.

“Ya, terima kasih.” Marcuss mengambil nampan di tangan Dashia dan langsung menutup pintu di depan wanita itu. Yang membuat Dashia semakin berang bukan main.

Kedua tangan Dashia terkepal dan bibirnya menipis keras. Rasa iri dan dengki di hatinya terasa mendidih hingga naik ke ubun-ubun. Apakah sekarang Eiza menunjukkan bendera peperangan?

‘Maka jangan salahkan aku jika kau lebih menderita lagi, Eiza. Kau yang memaksaku.’

*** 

“Makanlah.” Marcuss meletakkan nampan tersebut di nakas sebelum berjalan ke kamar mandi. Meninggalkan Eiza yang tertegun di tepi ranjang akan sikap Marcuss yang kembali dingin.

Tak lama pria itu keluar dari kamar, mengenakan pakaian santai dari ruang ganti dan menyeberangi ruangan.

“A-apa kau akan tidur di ruang kerjamu lagi?”

Billionaire's LustDonde viven las historias. Descúbrelo ahora