Chap 2: Sekolah

402 35 0
                                    

Happy reading















Let's Start

*

*

*

*

*

Suasana tenang mengisi ruang makan. Sedangkan di dapur, suara dentingan alat masak yang Rezfan gunakan untuk membuat nasi goreng sebagai menu sarapan, seakan menjadi alunan yang mengiringi pagi ini. Di meja makan, Mada duduk dengan setelan jasnya. Sebuah kacamata bertengger apik di hidung mancungnya. Netranya menatap lekat diagram yang tertulis pada macbooknya. Keheningan di bawah, berbanding terbalik dengan suasana di lantai atas.

Di kamar si kembar, sedang terjadi perdebatan antara Jena dan Huda. Huda berkacak pinggang dengan tangan yang memegang sebuah sabuk. Seragam putih abu-abu sudah melekat di tubuhnya dengan rapi. Ia menatap tajam pada bocah berseragam merah putih itu yang juga sedang menatapnya sengit.

"Ayo Jena, di pakai dulu bajunya yang bener. Itu kancing kamu salah semua astaga," ucap Huda frustasi. Adiknya ini lelet sekali pagi ini. Seolah tak berniat untuk bersiap.

"Sini biar abang aja," Huda hendak membenarkan kancing Jena, namun sang empu langsung mengelak.

"Biar Jena aja. Jena udah besar," tolak Jena.

"Makanya buruan astaga. Kamu nanti telat lho," jengah Huda.

"Biarin. Ndak usah sekolah aja sekalian," celetuk Jena sebal. Tangannya sibuk membenahi kancing dengan gerakan yang sangat lambat dan terkesan malas.

"Heh, mulutnya. Ayo sini buruan abang bantu biar cepet," sekali lagi Huda hendak membantu, tapi Jena kembali mengelak.

"Jena udah gede abang. Bisa benerin sendiri," tolak Jena.

"Udah gede tapi masih ngompol," cibir Huda.

"Ih! Jena ndak ngompol ya!" Bentah Jena kesal.

"Kalau nggak ngompol terus kenapa itu kasurnya basah heh?" Tanya Huda sambil menunjuk sebuah kasur yang sedang di jemur di balkon.

"Jena ndak ngompol kok. Cuma pipisnya aja yang pengen silaturahmi sama kasur," elak Jena. Huda menatap Jena julid. Selesai dengan masalah baju, kini Huda dan Juna kembali berdebat perkara buku dan kaos kaki. Di tengah perdebatan itu, ada Jadid yang dengan antusias menyiapkan Juna. Juna sudah memakai seragam merah putihnya dengan rapi. Juna duduk di atas kasur menghadap cermin dengan Jadid yang sedang menyisir surai pinknya. Jadid melirik abangnya dan si tuyul biru yang tak kunjung menyelesaikan perdebatan.

"Juna, rambutnya abang kuncir ya," ucap Jadid semangat.

"Jangan. Juna nanti upacara, kalau di kuncir ndak bisa di pakein topi nanti," tolak Juna sambil mendongak menatap Jadid.

"Huh, ya sudah deh. Pulang sekolah aja, ya," ucap Jadid.

"Othe abang," sahut Juna. Beginilah yang mereka suka dari Juna. Juna itu anaknya pendiam, plus selalu pasrah saat di ganggu abang-abangnya. Berbeda dengan Jena yang kelewat aktif. Jena juga sedikit pendendam. Jika salah satu abangnya menganggu, maka ia akan membalasnya. Seperti saat rambut mereka di warnai, Juna hanya pasrah walaupun awalnya menangis keras. Sedangkan Jena, mengetahui Huda dan Jadid yang mewarnai rambutnya saat ia tertidur, paginya Jena langsung melancarkan serangan balasan. Ia mengerjai kedua abangnya dengan mencoret seluruh wajah Jadid dan Huda dengan cat minyak miliknya. Rumah itu pun sudah ramai pagi-pagi buta dengan teriakan Huda dan Jadid yang mendapati wajah mereka penuh cat hitam dan hijau. Bahkan ada gambar pelangi di leher Huda.

Brother and TwinsWhere stories live. Discover now