4. ლJangan terlambat Menghargaiლ

6.3K 424 31
                                    

4. Jangan Terlambat Menghargai||ArKhAn

Aku hanya takut mati di tangan aku sendiri

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku hanya takut mati di tangan aku sendiri. Selebihnya aku tidak takut jika dihancurkan oleh orang yang begitu berharga. Meski aku tidak sebegitu berharga untuk mereka.
-MELANCHOLIA-

🛫🛫🛫

“Orang yang kamu anggap berharga belum tentu menganggapmu berharga.”

Dialog Tio Mahardika ketika bolos sekolah hanya untuk menemui Asaura pada sebuah toko pulsa atau konter ponsel yang menjadi tempat Asaura bekerja memenuhi kebutuhan kesehariannya. Sudah lama gadis itu banting tulang sendiri semenjak duduk di bangku SMA.

Di kala ia tidak bisa mengabulkan keinginan sang papah untuk masuk SMA MERPATI SILA LIMA. Dengan seadanya Asaura memilih mendaftar pada sekolahan yang ia rasa ia bisa mencukupi serta membiayai diri sendiri.

“Hidup di sini, harus berani mati. Hidup di sini itu enggak segampang seperti gambaran kita waktu di Surabaya, Ra,” lirih Tio sembari menyodorkan bekal makanan yang membuat Asaura menatap kosong.

Lagi? Bekal itu ditolak Arkhan.

“Kalau bukan karena papah gue, gue enggak akan mau ikut dia ke sini dan sekolah di SMA MERPATI SILA LIMA. Sekolah dengan tidak ada keadilan untuk korban bullying di sana dan hanya sibuk dengan urusan mereka tanpa mereka semua tahu, jika mereka membunuh banyak siswa berprestasi di sana. Kami seperti hewan yang diperas otaknya dan beradu kepintaran untuk di akui.”

Asaura hanya menghela napas pasrah. Membuka perlahan kotak bekal yang masih utuh tidak tersentuh. Ia pun langsung menatap sang keponakannya—Tio Mahardika—dengan sorot sendu.

Tio memahami. Sangat. Sorot Asaura tanpa ia perlu bertanya. “Hal sekecil ini aja dia enggak peduli lagi, apalagi ke depannya? Mau sampai kapan memberi effort sama orang yang enggak bisa menghargai secuil ketulusanmu?”

Laki-laki dengan pipi kanan yang melembung karena permen chupa-chups tersebut, kini mengusap wajah sejenak. “Uang makan kamu aja kadang gak cukup. Masak air sama garam doang buat nutupin bau basi dari nasi. Kalo gak gitu kerak nasi kamu kasih garam biar bisa makan. Atau nggak, kamu selalu minta makanan bekas orang kalo sisa. Tapi kamu berusaha bangun jam 3 shubuh buat cari, jantung pisang, daun pisang, daun singkong. Jam 4 berangkat ke pasar buat dijual.”

“Iya kalo semua ke jual? Terus, kalau semua itu masih ada di kebun, kalo nggak gimana? Andalkan uang dari kerja di sini? Apalagi yang mau kamu jual buat effortin orang yang enggak ada sama sekali buat lihat kamu.”

Asaura yang mendapat dongeng kisahnya sendiri dari birai Tio hanya bisa diam seraya membasahi bibir yang begitu kering. “Berhenti siksa diri kamu dengan menginginkan orang yang enggak sama sekali menginginkanmu, kak.”

Asaura mencoba memainkan bolpoin sembari memandang bekal yang ia buat begitu tulus tidak di sentuh oleh Arkhan.  “Sama dia aku merasa sembuh, Tio.”

MELANCHOLIA Where stories live. Discover now