Aku juga punya luka. Aku juga punya banyak cerita. Aku juga ingin didengar. Tetapi, aku lebih baik menjadi pendengar. Sebab, tidak semuanya harus aku ceritakan. Mereka cukup tahu aku baik-baik saja.
-Asaura Audida-🛫🛫🛫
Tidak perlu menebak-nebak luka itu akan mengering atau kembali basah. Terpenting, obati terlebih dahulu bisa nanti, terluka lagi tidak menjadi bernanah.
Jalan yang tertatih. Menahan sakitnya telapak kaki yang tak beralas untuk berjalan dengan jarak tempuh 5 km.
Tidak ada yang peduli kepada Asaura pada tiap jalanan yang begitu panjang. Dirinya hanya dipandang sebelah mata, seolah dia adalah kehilangan arah atau berandalan nakal yang tengah kabur dari jeruji besi dirumahnya.
Ingin menjerit? Tentu. Tetapi bungkam jauh lebih baik. Asaura harus menahan tiap langkah yang seolah beralas duri dari bunga mawar tanpa kelopak.
Satu titik membuat sorotan menuju pada satu arah. Bagaimana seseorang menjatuhkan sebungkus makanan dikantong bening yang entah sejak kapan ia berdiri di sana?
Kelopak mata yang cantik dengan bulu mata lentik menjadi ciri khas lelaki yang mulai menatap sendu.
"Arkhan?" lirih Asaura ketika melihat lelaki di depan kosnya.
"Khan?" Sekali lagi. Gadis yang penuh berantakan tersebut memastikan jikalau yang berdiri di depan kosnya ialah Arkhan Dikantara—sang mantan kekasih.
Air mata Asaura terjun tak sengaja. Tak pedulikan rasa sakit di telapak kakinya. Ia berlari penuh bahagia—mendekat dan kemudian mendekap tubuh laki-laki yang langsung ikut menjatuhkan air matanya mengenai puncak kepala Asa.
"Au kangen Arkhan," ungkap Asaura mencengkeram pakaian kemeja putih laki-laki yang didekapnya begitu erat.
"Kangen banget," tekan Asa dalam dua kata tersebut.
"Kenapa harus kembali pulang ke rumah yang memberi luka, Sa?"
Suara laki-laki yang menjadi lawan bicara membuat Asaura mendongak. Menatap sekali lagi wajah indah dari laki-laki yang ia dekap. Bagaimana pipi Asaura yang basah tak sengaja tertetes oleh air mata laki-laki yang tengah menangis.
"Aii?"
Ya. Laki-laki yang di hadapan Asaura bukanlah Arkhan Dikantara melainkan Airlangga Devananta.
Bayang-bayang Arkhan begitu membuat Asaura buta perihal menangkap suatu objek yang berada di depannya saat ini.
Airlangga bisa melihat bagaimana lebam di beberapa wajah Asaura mulai menghias. Tubuh yang bau dari tumpahan sayur. Rambut Asaura lepek seolah seperti hilang lebih dari tiga hari.
"Rumah itu sudah tidak ingin kehadiranmu, jadi jangan pernah kembali. Jika kehadiranmu tidak ada artinya, untuk apa?"
Air mata Airlangga kembali menetes—terjatuh di pipi Asaura. Di sini yang harusnya menangis deras Asaura dan bukanlah Airlangga.
YOU ARE READING
MELANCHOLIA
Teen Fictionpenyakit mental itu memang tidak terlihat. Dan sering disepelekan.Tetapi dia begitu mematikan untuk sang penderita. jangan pulang sendirian, tunggu ada yang jemput. setidaknya bertahanlah untuk sebuah harapan yaitu kebebasan jikalau kebahagiaan suda...