Nisha

13 0 0
                                    

°°°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°

Malam itu sepi.
Malam itu Nisha.

"Maaf Bu, enggak bisa. Nisha sudah ada janji sama Sandhya, kenapa juga harus mendadak? Ibu harusnya tahu Nisha ini sibuk, Senin sampai Sabtu sudah kerja dua belas jam. Hari libur Nisha mau jalan-jalan." Aku mendengus pelan, aku lihat layar ponsel yang tengah menyala dan menunjukkan wajah wanita paruh baya dengan beberapa kerut di bagian wajahnya; Ibu.

"Ibu paham, Nis. Kamu capek kerja, kamu kerja juga buat Ibu dan keluarga, paham betul. Acaranya enggak mendadak, Ibu sudah kasih tahu kamu dari jauh hari, lupa ya? Kasihan Nadja, dia kangen sama kamu, Ibu sama Bapak juga kangen kamu."

"Alah! Nadja itu bukan kangen sama Nisha, Bu. Dia itu kangen sama duit Nisha, bilang aja dia mau beli sepatu baru, 'kan? Nisha lihat postingan dia di sosial media. Dan lagi Bu, Nisha baru keluar dari rumah itu tiga bulan bukan tiga tahun. Jangan berlebihan Bu."

Aku mencebik kesal karena omongan Ibu, aku tahu betul kalau adik perempuanku satu itu hanya mengharapkan dibelikan barang baru atau uang jajan. Dalam satu bulan, bisa dihitung kapan kami akur dan tidak ribut. Ada saja yang ia jadikan alasan untuk berceloteh lalu mengadukanku pada Bapak. Sementara Bapak selalu lebih percaya pada Nadja cuma karena Nadja selalu juara kelas di sekolah.

Beruntung aku segera dapat kerjaan setelah lulus, jadinya aku bisa buru-buru keluar dari rumah panas itu.

"Jangan bilang begitu, Nis. Tiga bulan itu lama, Ibu sama Bapak kangen sama kamu. Kalau kamu ada waktu, pulang ke rumah meski cuma sebentar." Ibu menatapku dengan tatapan sulit, Ibu tahu betul kalau aku selalu kalah dengan tatapan mengiba dan suara memelasnya. Aku mendengus sekali lagi, aku usap wajah beberapa kali karena merasa gondok tetapi tidak bisa juga membantah lebih jauh.

"Iya, iya. Nanti kalau Nisha ada waktu, Nisha pulang, tapi nanti. Sudah ya, Bu. Nisha masih banyak kerjaan, besok Nisha juga harus masuk pagi. Nisha tutup telfonnya." Aku lambaikan tangan pada layar ponsel yang menyala di hadapanku sebelum tersenyum kecut dan memutus panggilan. Ibu selalu saja begitu, selalu berlebihan dalam situasi apa pun. Maksudku, aku masih punya banyak waktu, bisa saja aku pulang akhir tahun atau malah satu tahun lagi. Sudah susah-susah aku cari tempat kerja yang jauh dari rumah, sudah lama aku susun rencana untuk minggat dari rumah. Kenapa aku harus cepat-cepat pulang?

Di rumah juga ada Nadja. Belum lagi Ayah yang semakin tua semakin sering mengoceh, entah apa yang dibicarakan. Untuk istirahat satu hari saja sudah sulit, bagaimana aku bisa bertahan lebih lama di rumah? Ibu juga sama, setiap hari tidak pernah berhenti ceramah. Aku tahu manusia itu harus berbakti dengan Tuhannya, tidak perlu diingatkan. Dan terakhir, ditambah tetangga yang setiap akhir pekan datang dan mengajak pengajian bersama juga suara berisik anak-anak yang lari-lari di Masjid depan rumah.

Sungguhan. Tidak ada waktu untuk aku sendiri menikmati waktu istirahat, semuanya berisik, bahkan benar-benar berisik. Nantilah aku pikirkan lagi kapan aku akan pulang. Toh, tidak seperti mereka akan segera pindah rumah.

°°°

"Kasihan ya, padahal masih muda."

"Iya, baru dua puluh empat. Keluarganya baru sampai tadi pagi, meninggalnya semalam. Enggak tahu penyebabnya apa, yah, mau bagaimana? Umur enggak ada yang tahu."

Aku buka mata. Aku perhatikan sekitar kamar yang tiba-tiba saja ramai. Ada banyak sekali muka asing yang tidak aku kenal, ada juga pemilik rumah tempat aku menyewa.
Aku melirik ke arah tengah, ada Ibu, Bapak dan Nadja. Mereka ada di tengah-tengah, mengerumuni sekujur tubuh yang ditutup kain putih. Itu siapa?
Ramai orang, penuh sesak, tapi tidak juga aku dengar suara, tidak juga aku merasa gerah.

Senyap.

"Itu kamu." Aku menoleh, satu-satunya suara yang bisa aku dengar, suaraku sendiri, diriku sendiri yang kini berdiri di samping. Aku diam tidak menjawab, bukan tidak mau tapi tidak bisa. Tidak ada suara yang keluar dari tenggorokan, lidah juga tidak mau bergerak.

"Semalam, kamu mati," tambah diriku sendiri. "Kamu pasti enggak sadar, 'kan? Sekarang kamu enggak bisa dengar apa-apa lagi, enggak suara ocehan Bapak, enggak ceramah Ibu, enggak juga suara manja Nadja. Apa lagi suara tetangga dan suara anak kecil yang main di Masjid."

Aku masih senyap. Aku gemetaran, aku takut.

"Jangan menangis, bukannya ini yang kamu mau? Kamu selalu ribut dengan suara orang-orang di sekitarmu, kamu selalu risih dengan nasihat-nasihat baik keluargamu. Kamu menganggap mereka hanya mengganggu waktumu yang berharga, kamu selalu merasa mereka hanya memanfaatkanmu, kamu selalu mengeluh dalam bekerja untuk dapat uang, kamu berdoa agar ingin bebas, kamu bahkan sampai mengutuk. Sekarang Tuhan kabulkan keinginanmu, kamu bebas. Tidak perlu bekerja, tidak perlu mendengar, tidak perlu lakukan apa-apa. Kamu tidak butuh uang dan tidak akan ada yang mengganggu kamu." Diriku yang lain menoleh ke arahku, wajahnya datar tanpa ada air muka apa pun, tatapannya dingin seperti balok es.

Aku mematung.

Diriku benar, aku tidak butuh uang, aku tidak perlu bekerja, aku tidak akan punya masalah. Aku hanya perlu duduk diam hingga selesai, tapi kenapa rasanya buruk? Kenapa ada satu perasaan yang menggerogoti dan mengoyak dari dalam? Kenapa ada sesuatu yang mengganjal dan membuatku ingin menyangkal?

Apa ini mimpi?

"Kamu bebas dan kamu sendirian, dalam rumah terakhir yang disiapkan oleh bumi dan keluargamu. Kamu hanya perlu menunggu, hingga waktu berakhir. Bahkan nantinya, kamu enggak akan lagi bisa merasakan jenuh atas kesendirian, karena mulai sekarang kamu cuma sendirian tanpa ada siapa-siapa kecuali ingatan dan hasil perbuatanmu," jelas diriku sembari tersenyum manis dan masih menatap aku yang telah penuh air mata. "Kamu terlalu egois untuk merasakan betapa bahagianya dapat hidup dan menghabiskan waktu dengan keluarga juga orang terkasih. Kamu terlalu apatis untuk merasakan betapa beruntung waktu yang kamu punya. Kamu terlalu angkuh karena menganggap dirimu lebih baik tanpa ada orang lain. Nikmatilah, kesendirianmu yang kamu idam-idamkan ini."

Aku pejamkan mata. Tamat sudah.
Tak ada lagi yang tersisa, kecuali aku dan ingatan.
Aku sudah mati kemarin.

°°°

Time and AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang