Escape

18 2 0
                                    

°°°

Hari sudah menunjukkan pukul sebelas malam ketika kau memutuskan untuk segera pulang setelah mengobrol seharian dengan teman-teman kantormu.



"Ayolah, jangan buru-buru pulang. Memangnya apa yang menunggumu? Kau bahkan tak punya kekasih!" ejek salah satu temanmu yang sejak tadi memaksa agar kau tetap di sana. Kau tertawa menanggapinya sebelum salah satu temanmu yang lain menepuk pundakmu cukup keras.



"Jangan dengarkan Abighail. Dia tidak akan biarkan kita pulang sampai mulutnya tak bisa lagi bicara! Kau pulang saja, ini memang sudah larut. Lagi pula, berita tentang penculikan yang terjadi akhir-akhir ini sungguh mengerikan. Korban mereka adalah perempuan semuanya, dan kau bisa saja jadi korbannya. Jadi pulanglah, apa kau mau aku antar?" tanya pria dengan kacamata bulatnya yang tampak berembun karena cuaca dingin. Kau menggeleng, kau merasa tak enak hati jika harus merepotkan teman-temanmu sejauh ini. Benar adanya jika berita tentang penculikan para perempuan muda sedang ramai diperbincangkan dan itu membuatmu sedikit waswas.



Kau mulai berpamitan pada semua teman-temanmu yang ada di sana sebelum kau mulai berjalan dengan sedikit terburu-buru di tengah hujan salju yang cukup lebat sendirian. Kau merapatkan mantel yang kau pakai, berharap cuaca dingin tak akan menyerangmu habis-habisan. Sebelumnya kau sudah menduga hal ini akan terjadi: suasana sekitar menjadi sangat sepi karena jalan yang licin dan cuaca tak bersahabat. Kau kembali teringat pada kabar tentang penculikan para perempuan, hal itu mulai membuatmu merasa resah lagi untuk ke sekian kalinya. Kau mencoba mengalihkan pikiran dengan memutuskan menatap ke arah sekitar, dan yang kau dapat hanya gelap dan begitu mencekam.



Kau berpikir harusnya kau pulang lebih awal dan mengabaikan ucapan teman-temanmu untuk menetap. Beruntung jarak antara kafe tempat kalian bertemu cukup dekat dengan rumah, sehingga tak butuh waktu banyak bagimu untuk segera sampai hanya dengan berjalan kaki. Kau terus saja melangkah dan terus berusaha tak menggubris bayangan tentang para Polisi yang tengah mencari Si pelaku.



Begitu berada di teras depan, kau melihat jejak kaki yang tercetak di antara tumpukan salju. Jantungmu mulai berdegup kencang, terutama ketika kau melihat pintu depan setengah terbuka. Masih segar dalam ingatanmu bahwa kau telah mengikatnya dengan benar sebelum meninggalkan rumah.



Kau merasa gugup, seolah seluruh darah turun dari kepala. Tak perlu pikir panjang, kau segera berlari masuk ke dalam rumah, menuruni tangga dan memeriksa ruang bawah tanah. Kau tatap sekitar, ruangan gelap yang hanya diberikan satu lampu sebagai sumber penerangan. Kau menatap lekat pada lantai yang penuh debu dan basah. Kau mematung ketika hanya ada tali di sana, tak ada perempuan yang baru kau tangkap kemarin malam. Kau mendengus kesal karena ia sudah lari dan kini kau harus mencari korban baru sebagai pengganti hiburanmu di akhir pekan.


°°°

Time and AgainWhere stories live. Discover now