9. Mango its mango day

3 1 0
                                    

Reginald bisa saja membakar sekolahnya sekarang juga kalau saja tak ada pohon mangga yang tumbuh di halaman sekolah. Mangga yang ditanam tukang kebun sekolah mereka sangat enak dan segar sampai-sampai empat sekawan itu rela menyelinap malam-malam demi sebuah mangga. Sebentar lagi musim dingin, dan ini mungkin akan jadi panen buah mangga terakhir mereka sebelum salju turun.

Sudah seminggu sejak peristiwa penangkapan sepupu Seth, Cathal, yang ditangkap polisi karena menyeberang ke inggris dengan catatan larangan penerbangan ke negara itu. Seth ingat betul Cathal diboikot dari perjalanan luar negeri karena masalah yang pernah ia timbulkan saat kecil. Untungnya Percival kepikiran memanggil polisi.

"Kau tak benar-benar memotong lidah mereka kan?" Percival menatap Reginald tak percaya.

Reginald masih sibuk memetik mangga di atas pohon bersama Seth. Ia kemudian melempar buah ke bawah tanpa melihat tempat pendaratannya, membuat Percival dan Jese harus bekerja keras mengira-ngira di mana buahnya bakal jatuh sambil berlari memegang keranjang rotan yang mulai penuh. Sesekali mengenai muka tampan Jese yang mencoba melirik ke atas.

"Tentu saja tidak, Percy," jawab Reginald akhirnya setelah puas membuat Percival ngos-ngosan. "Aku hanya menggertak."

Percival menurunkan keranjangnya dan berkacak pinggang, tak percaya. Terakhir kali Reginald mengatakan itu, seseorang mundur dari Institut Pascal dengan vonis PTSD. "Jawab yang benar. Gertakanmu tak mungkin hanya memarahi mereka."

Reginald menghela napas dan menatap Percival di bawah pohon. "Aku menyayat tanganku sendiri di depan mereka." Ia menunjukkan luka sayatan di balik lengan almamaternya yang terbalut perban tipis.

Percival memijat pelipisnya sendiri. Jika Jese pelanggar aturan, maka Reginald pelanggar norma. Ia tahu betul begitulah cara anak itu menakut-nakuti orang yang mencoba melukai Ophelia, dengan melukai dirinya sendiri tentunya. Reginald berpikir ingin menciptakan semacam sugesti dalam otak mereka; jika ia saja tak takut melukai diri sendiri, maka ia juga bisa dengan mudah melukai orang lain. Tak banyak yang tahu soal itu sebab Reginald terlihat terlalu cerah di mata orang lain sehingga desas-desus buruk tentang dirinya juga hanya dianggap sebatas omong kosong belaka, lebih banyak yang tutup mata dengan skandalnya.

"Aku penasaran dengan sesuatu," Jese mulai masuk dalam pembicaraan setelah menghitung mangga di masing-masing keranjang-otak bisnisnya sedang bekerja. "Apa yang membuatmu sangat mencintai Ophelia?" Seth berhenti memetik mangga dan ikut mendengarkan. "Tidak mungkin hanya karena perhatian darinya," lanjut Jese.

Reginald terkekeh dan menggeleng jahil. "Karena dia tidak takut denganku." Jawaban Reginald membuat Jese semakin mengerutkan keningnya. "Kau ingat tahun pertama kita di sini saat aku memarahinya habis-habisan karena dia buruk dalam tenis dan membuat kelas kita kalah turnamen?"

Jese mengangguk. Reginald mengelus dahan pohon sebelum melanjutkan. "Lalu dia berusaha keras beberapa hari setelahnya dan memintaku bermain melawan dia di malam hari, aku terkejut karena dia mengalami perkembangan yang sangat luar biasa dan tidak takut padaku meski aku sudah memarahinya habis-habisan."

Seth melanjutkan kegiatannya memetik mangga dan melemparnya ke bawah dengan asal. "Lalu? Tak mungkin hanya itu saja," katanya serius. Reginald mengangkat alisnya heran, ini pertama kalinya dalam sejarah pertemanan mereka Seth tertarik dengan pembahasan tentang cewek.

Sementara itu Jese yang berada tepat di bawah Seth kena lemparan mangga di wajahnya. "Auh, hati-hati hei."

Seth tak memedulikannya dan menunggu Reginald menjawab. "Dia melihatku berkelahi dengan sepuluh senior beberapa hari setelahnya, saat aku dikeroyok. Aku mengalahkan mereka semua karena aku membawa tongkat bisbol sebagai senjataku, dia tak takut setelah melihatku membuat anak orang nyaris mati." Reginald menjeda kalimatnya dan menatap ke depan dengan percaya diri. "Setelahnya kami jadi sering bertemu, kemudian aku baru tahu kalau senior waktu itu pernah hampir memerkosanya."

Percival sudah tahu soal itu sebab orang pertama yang Reginald datangi untuk bercerita adalah dirinya. Saat itu Reginald masih tidak paham kenapa ia punya keinginan melindungi gadis bisu itu. Mereka semakin dekat sampai akhirnya berpacaran. Reginald bilang berpacaran dengan Ophelia itu menyenangkan, dan gadis itu mulai menjadi salah satu alasan besar mengapa ia tak jadi membakar sekolahnya.

Ah, mengenai cita-cita gila itu, Reginald serius. Menurut Reginald sekolah mereka hanyalah bangunan penuh kemunafikan. Guru-guru lebih memilih menjaga martabat sekolah daripada mengusut kasus-kasus yang terjadi pada murid-muridnya. Dikeluarkan menjadi ancaman jika mereka berani buka mulut ke media atau orangtua mereka. Biaya masuk Institut Pascal juga tidak kecil, setelah dikeluarkan dengan tidak hormat bisa saja mereka dibunuh orangtuanya sendiri. Institut Pascal adalah lambang etika dan tata krama dalam dunia pendidikan, ketika seorang anak dikeluarkan secara tidak hormat artinya tempat paling hormat sekalipun tak bisa menghentikan ketidaketisan yang mengalir dalam darahnya.

Masalahnya, bahkan dalam Institut Pascal sendiri tak ada yang benar-benar pantas menyandang titel terhormat sekalipun guru Etika dan Tata Krama. Lembaga mereka sebagai indikator kualitas di masyarakat telah usang, tetapi masih melekat sangat dalam di pikiran hingga jadi budaya.

"Kemarin ada seorang gadis yang memukul kepalaku dengan buku di perpustakaan, dia cukup menarik tetapi aku jadi agak takut dipukul lagi."

Jese, Reginald, dan Percival menganga dengan apa yang diucapakan Seth barusan. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun akhirnya Seth mulai merasa tertarik dengan perempuan. Empat sekawan itu sudah berpikir jika sewaktu-waktu Seth akan memutuskan hidup selibat dan jadi pastor karena ia tak menunjukkan tanda-tanda menyukai perempuan. Rupanya ia hanya belum menemukan yang menarik.

"Mudah saja, kau tinggal tanya namanya dan ajak berkencan," jawab Reginald santai.

Sementara Percival di bawah menyipitkan mata. "Kata orang yang memarahi Ophelia di awal pertemuannya," cibirnya pada Reginald.

"Hei! Sedang apa kalian anak-anak nakal?!"

Pembicaraan mereka seharusnya dapat berlanjut lebih lama kalau saja seorang penjaga asrama tak tiba-tiba muncul dari depan gerbang dan menemukan empat sekawan itu dengan keranjang penuh mangga. Mereka berempat lantas berlari dan kembali ke asrama melalui jalan pintas yang kerap mereka lalui-yang tentunya tak diketahui penjaga. Ini sudah jam tidur dan kelayapan selarut ini bukan sesuatu yang wajar.

"Akan kita apakan mangganya? Ini cukup banyak," kata Seth sambil menggoyangkan keranjang rotannya.

"Setengahnya kita makan, setengahnya lagi kujual."

Ketiga teman Jese langsung mendelik padanya sebab anak itu tak ikut memanjat dan malah mau mengambil keuntungan. "Kita bagi hasil, tenang saja," katanya mencoba menenangkan."

Malam itu mungkin akan jadi hari terakhir mereka memakan mangga hasil panen di sekolah sebab beberapa hari lagi badai salju bakal mengantam Westminster dan Institut Pascal mungkin bakal menebang pohonnya sebagai bahan pembakaran di tungku perapian ruang kepala sekolah.

Setidiaknya itu yang mereka bayangkan. Kita tak pernah tahu kapan sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan terjadi dan justru hal-hal yang sudah kita rencanakan malah keluar dari ekspektasi kita. Pagi itu Seth rasanya tak mau bangun tidur sebab udara terasa semakin dingin, tetapi Jese menendang kakinya supaya cepat bangun. Ia duduk dengan malas menatap wajah Jese yang gelisah.

"Ada apa?"

"Penjaga yang memergoki kita memetik mangga tadi malam ... dia ditemukan mati di bawah pohon itu. Dan sidik jari kita masih tertinggal di pohonnya."



Dies Iræ [DWC NPC 2024]Where stories live. Discover now