11. Gurita Kota

1 1 0
                                    

Reginald dan Jese terjebak di ruang bawah tanah bersama penjaga sekolah yang hari ini katanya sudah mati. Keduanya beringsut mundur seraya meraba-raba belakang punggung, tak ada senjata yang akan cukup ampuh menahan pisau yang sudah diacungkan si mayat terbang itu. Jese melihat sekitar dan menemukan beberapa pintu kayu di sekitar mereka, yang entah mengarah ke mana atau pada ruangan apa. Dalam situasi ini kesempatannya bertaruh dengan mencoba membuka salah satu pintunya hanya satu, kalau mereka gagal dan masuk jalan buntu maka tak ada lagi cara untuk menyelamatkan diri.

"Reggie, ada banyak pintu di sini," bisik Jese sambil membanting kotak-kotak kayu dan memgambil pecahannya untuk melindungi diri—meski sepertinya tak akan terlalu berhasil.

Reginald melakukan hal yang sama, ia mengambil papan kayu dan menggunakannya sebagai perisai tatkala mayat terbang itu mulai mendekat dan menghunus pedang ke arahnya.

"Pintu mana?" Tanya Reginald dengan terengah-engah setelah berhasil meloloskan diri dan membuat si mayat terbang itu menusukkan pisaunya ke tembok, ia disibukkan dengan acara mencabutnya dari sana hingga Reginald ada waktu merapat pada Jese.

"Kita cari yang kemungkinan baru saja dibuka," kata Jese mencoba yakin karena mereka tak mungkin memanjat ke atas saat ini sebab jarak dengan pintu tadi terlalu jauh sementara Percival dan Seth tak lagi bersuara.

Jese memicingkan mata melihat sesuatu di dekat pintu. "Sepertinya ada sesorang yang menjatuhkan koin di sana. Mungkin pintu itu yang baru saja dibuka," katanya menunjuk pintu di pojok kiri.

Sayangnya mayat penjaga tadi sudah mendapatkan kembali pisaunya dan bersiap menyerang mereka lagi, tetapi Jese dan Reginald sudah sepakat untuk langsung melompat ke arah yang berbeda agar ia lagi-lagi menubruk tembok. Sayangnya tiba-tiba ada suara ribut di atas, Percival dan Seth berteriak ketakutan dari sana. "Akan ada tsunami! Maaf kami harus menuntup dulu pintu ini agar kalian selamat!"

Lalu pintu itu benar-benar sepenuhnya ditutup, satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah melalui pintu-pintu yang masih belum mereka ketahui apa yang ada di baliknya. Namun, mereka juga harus memastikan mayat itu tak akan mengikuti mereka. Jadi, Reginald dan Jese sepakat menjebaknya dengan cara dijatuhkan ke peti dan kemudian mengikat petinya setelah mereka berhasil merebut pisau.

Beruntungnya rencana itu berhasil dan mereka kompak membuka pintu di pojok kiri yang ternyata tak terkunci itu. Ada anak tangga batu di sana yang entah mengarah ke mana, sebab ujungnya segelap malam. Tak ada waktu untuk berpikir, mau tak mau mereka segera naik karena air mulai merembes dari pintu masuk mereka tadi.

Dengan berbekal keyakinan yang tak terlalu yakin, mereka menaiki anak tangga dengan perasaan kalut memikirkan bagaimana nasib Percival dan Seth di luar.

"Ke mana anak tangga ini?" Reginald menyalakan senter di ponselnya dan menerawang jauh ke atas. "Sepertinya ada ujungnya."

Keduanya berjalan dengan harap-harap cemas semoga kedua teman dekatnya itu tak terseret arus atau semacamnya sebab dalam lorong tangga yang gelap itu mereka masih dapat merasakan hantaman air di luar dinding.

"Ini pintu?" Di ujung anak tangga ada pintu kayu kecil yang lebih cocok dilewati balita atau anjing. Mereka membukanya dengan hati-hati dan mendapati ruangan yang tak asing di mata mereka.

Jese keluar lebih dulu dan membantu Reginald keluar. Itu perpustakaan Institut Pascal yang sudah tak berbentuk, akibat tsunami, tentu saja. Kaca pecah dan air hitam yang menggenangi sebagian perpustakaan, beberapa rak sudah roboh dengan lembaran kertas yang berserakan. Percival akan benci dengan pemandangan ini.

Reginald melongok keluar dan mendapati di luar sekolah kondisinya tak lebih baik, banyak material asing yang dibawa tsunami dan ia tak menemukan satu pun anak sekolahnya. "Kita harus cari Seth dan Percy," kata Jese yang bangkit dari keterkejutannya dan segera keluar perpustakaan.

Reginald mulai memikirkan Ophelia juga, ia segera berlari mengikuti Jese yang terhenti di lorong sebab sebagian atap sekolah berserakan di lantai dengan berbagai kotoran dan darah. Keduanya berjalan dengan hati-hari, mencoba mencari seseorang yang mungkin mereka kenal.

Jese merasa seseorang menepuk pundaknya, ketika ia berbalik ada ketua asrama perempuan di sana, Serena.

"Ke mana saja kalian? Semua orang mencari kalian." Keduanya bingung dan tak melihat orang-orang lainnya. "Mereka semua sudah kembali ke bunker karena sebentar lagi jam makan malam," jelas Serena seolah tahu apa yang keduanya pikirkan.

"Ikuti aku." Serena mulai memimpin jalan, Jese dan Reginald mengikutinya meski agak tidak yakin. "Kalian sudah menghilang selama lima jam, dan kepala sekolah menyuruh kami untuk kembali saja."

"Lima jam?!"

"Lima jam?!"

Serena menatap bingung keduanya yang terlihat sangat terkejut. "Apa ada yang aneh? Kalian hilang sejak tsunami terjadi lima jam yang lalu."

Jese dan Reginald mencoba untuk berusaha percaya meski mustahil memvalidasi ucapan serena sebab mereka sepertinya baru dua puluh menit saja di ruangan itu. Tetapi kenyangkal juga tak mungkin sebab di luar matahari sudah mulai tenggelam dan menyebar kegelapan di sekolah mereka yang kini tak punya listrik yang cukup.

Bunker yang dimaksud Serena ternyata ruangan rahasia di bawah aula. Jese dan Reginald kegirangan sebab akhirnya kembali menemukan Seth dan Percival yang sudah menunggu mereka dengan khawatir. "Gila, kukira kalian sudah mati," kata Percival prihatin.

"Benar, kalian tak bisa ditemukan selama lima jam terakhir ini," sahut Seth semakin menguatkan kebingungan Jese dan Reginald. Keduanya bertatapan seperti sedang memberi kode siapa yang sebaiknya menceritakan apa yang baru saja mereka alami.

Jese menelan ludah dan mulai bercerita dengan menggebu-gebu karena pengalaman ini bukan sesuatu yang biasa dan ia baru ingat kalau mereka berdua tak menutup kembali pintu yang dibuka di atas perpustakaan tadi.

"Artinya ada distorsi waktu di gedung sekolah kita." Jese tahu kalau Seth tak akan merespons ceritanya dengan ketidakpercayaan karena hidup anak itu jauh lebih tidak masuk akal.

"Distorsi waktu?" Tanya Percival makin bingung. "Katamu kau kenal si Waktu? Kau yakin dia tak terlibat?"

Seth menggeleng. "Dia bukan entitas iseng yang suka mempermainkan manusia seperti sang Keputus asaan," jawah Seth yakin.

"Yang harus kita pikirkan sekarang adalah itu."

Seth menunjuk pintu atas bungker yang tiba-tiba dibobol oleh sesuatu. Reginald baru ingat ia meninggalkan pisau yang dipakai penjaga yang terbang tadi di ruang rahasia itu. Ia menyesal tak terpikir untuk membawanya ke atas juga sebab kini mahluk itu menggunakannya untuk mengancam dan menodongkannya pada mereka.

 Ia menyesal tak terpikir untuk membawanya ke atas juga sebab kini mahluk itu menggunakannya untuk mengancam dan menodongkannya pada mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dies Iræ [DWC NPC 2024]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang