26. Kamar dan kawan-kawan

1 0 0
                                    

Bunyi harmonika dari luar jendela menarik perhatian Seth. Suara yang sangat indah itu saat ini entah di mana tetapi Seth agak bersyukur karena bisa melihat pemandangan langit biru yang cerah. Sesuatu yang cukup langka di inggris pada musim dingin. Ia hanya berharap semoga tak ada dari apa yang jadi tulisan di buku yang ia cari itu dicuri orang yang benar-benar tak paham saja isi bukunya.

"Kau tak mau keluar?!" Seth menoleh dan mendapati seseorang sedang berdiri di depan jendelanya sambil membawa harmonika.

"Ke mana?" Tanya Seth malas. Ini musim dingin dan rasamya ia hanya ingin bermalas-masalan daripada keluar dan berakhir kedinginan. Dia sedang sendirian dan teman-temannya sudah pulang. Tak akan ada yang merawatnya kalau dia sakit nanti.

Serena si ketua asrama perempuan memutar bola matanya beberapa kali, berlagak pusing. "Tentu saja bermain di luar. Kau tak mau ikutan?"

Seth menggeleng lemah dan menutup jendelanya.

Suasana asrama sudah sepi sebab banyak yang sudah pulang, tetapi kantin masih cukup ramai dan Seth tak merasa kesepian. Setidaknya berkeliling kios-kios yang ada di kantin akan cukup bagus untuk kesehatan mentalnya yang rasanya mulai memburuk sejak berpisah dari teman-temannya. Seth pikir libur musim dingin bakal sebentar, tetapi kenyataannya itu akan sangat lama.

Dia jadi bingung harus mengisi waktu dengan kegiatan apa. Seth bukan Jese yang senang berdagang, tidak sebanyak teman Reginald, dan tidak serajin Percival untuk berkeliling di perpustakaan sepanjang hari. Dia hanya dirinya sendiri dengan berbagai rumor buruk tentangnya.

Kadang-kadang ia bingung bagaimana teman-temannya hidup atau memandang kehidupan sementara ia masih diam saja di tempst. Yang pepnting selalu menang. Memang tak ada salahnya jadi orang yamg culup smbisiud. Tetapi Seth tak dipandnag sebagai ancaman bagi siswa lain. Jadi dia lebih memiluh punya jawaban lain. Yaitu dengan membuat imejnya jadi sangat aneh.

Kalau boleh jujur, Seth kadang-kadang cukup percaya diri dengan berbagai keanahan dalam hidupnya. Kalau ada orang yang tiba-tiba bertanya padanya maka ia akan menunjukkan sesuatu lewat kartu tarot.

"Dia pasti akan menembakmu dengan sangat tulus," Seth tersenyum melihat itu dan membuat temannya menangis."kau sebaiknya siap-siap minggu ini."

Sebenarnya, Seth sendiri juga tidak terlalu yakin ramalan asal bunyi itu benar-benar terjadi. Tetapi kadang-kadang itu benar-benar terjadi. Seth hanya memanfaatkan kemampuannya memprediksi sesuatu. Meski tak banyak yang berani bertaruh dengannya, beberapa orang yang melakukannya kebanyakan berterima kasih pada Seth setelahnya. Ia tak terlalu merasa melakukan pekerjaan yang luar biasa jika itu karena tarot, maka ia biasanya akan mengaku apa yang dikatakannya bukan ramalan melainkan prediksi dari analisisnya usai mereka berterima kasih. Tetapi kadang-kadang mereka tak terlalu perduli dengan itu dan hanya mau mengingat hasilnya, seperti kebanyakan manusia pada umumnya.

Pagi itu Reginald yang baru tiba di rumahnya tiba-tiba menelepon Seth dan minta dibacakan peruntungan tarotnya dengan Ophelia. Seth sudah menjelaskan kalau itu hanya prediksi dan Reginald tak masalah dengan itu.

"Napasmu terdengar agak cepat," gumam Seth. "Kau gelisah dengan sesuatu. Apa hubungan kalian baik-baik saja?"

Lama tak ada jawaban dari seberang, tetapi Reginald segera menyahut setelah merasa pernapasannya mulai normal. "Lebih tepatnya, orangtuaku tak suka dengan hubungan kami. Apa kau punya solusi?"

Seth mendecak. "Aku hanya bisa memprediksi, bukan konsultan hubungan percintaan."

Dies Iræ [DWC NPC 2024]Where stories live. Discover now