BUTTER #1

210 26 2
                                    

Aku sengaja mengulur waktu pulang hingga satu bulan sejak kesepakatan yang kubuat dengan bapak tempo hari. Bulan ini, kantorku, Nanomedia Publishing, sedang sibuk-sibuknya. Ada pameran buku yang harus digelar dua bulan lagi, book talk dan deadline desain untuk media sosial yang harus segera kuselesaikan. Sebagai desainer grafis merangkap marketing communication, content creator, dan admin medsos penerbit , tumpukan pekerjaan di depan mata seolah nggak ada habisnya. Aku tidak bisa mengajukan pengunduran diri begitu saja. Aku sudah sangat beruntung karena setelah setengah mati membujuk atasanku untuk memundurkan deadline desain cover salah satu buku, akhirnya aku bisa mengambil cuti meski hanya seminggu. Kurasa itu waktu yang cukup untuk pulang ke Jakarta dan bicara dengan bapak. Siapa tahu aku masih bisa membuat bapak berubah pikiran.

Aku menaiki kereta paling pagi dari Bandung agar tiba di Jakarta tidak terlalu siang dan bisa bertemu bapak sebelum jumatan. Pukul 9.10 keretaku sampai di Stasiun Gambir. Aku meminta Mas Faro, kakakku, menjemput karena nggak berani pulang dan bertemu bapak sendirian. Bapak pasti akan memarahiku, aku sudah tahu itu.

Jalanan di Jakarta pagi ini tidak terlalu padat. Pajero milik Mas Faro meluncur lancar hingga tidak terasa sudah sampai di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Sepanjang perjalanan kepalaku sibuk menyusun alasan-alasan yang akan kuberikan pada bapak seandainya beliau betulan akan memarahiku. Kadang-kadang aku bingung, kenapa bapak masih menganggapku anak kecil sehingga selalu diatur dan dimarahi kalau melakukan hal yang tidak sesuai dengan maunya.

Contohnya soal katering keluarga. Buttercream, nama usaha katering kami. Nggak bisa kubayangkan kalau Bapak benar-benar serius memintaku mengurus Buttercream. Sambil mendengarkan keluhan Mas Faro tentang pekerjaannya, aku berinisiatif untuk membuka instagram Buttercream. Di bio media sosial itu tertulis, "Buttercream Catering since 2005. Menerima pesanan roti dan kue, wedding cake, katering untuk pernikahan, prasmanan dan box." Kemudian tertera jelas alamat rumah dan kontak yang bisa dihubungi. Foto terakhir yang diunggah adalah foto tumpukan cupcake cokelat untuk perayaan ulang tahun ke-6 seorang anak bernama Amara di bulan Mei tahun 2017. Aku mendesah. Itu dua bulan sebelum ibu meninggal dunia. Aku mengenyahkan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba menyengat hatiku dengan menggulirkan layar ponsel semakin ke bawah untuk melihat foto-foto lainnya.

Dari ekor mataku, aku bisa melihat Mas Faro memperhatikanku sesekali. "Udah nggak keurus semua itu. IG, Facebook," ujarnya. "Kamu harusnya senang, Bapak percayain Buttercream sama kamu. Itu aset lho, Flo. Bisnis yang bagus buat masa depan kamu."

"Ya kenapa harus aku sih, Mas?"

"Terus siapa lagi? Udah pernah dipercayain sama orang lain tapi malah nggak beres, kan?"

Aku diam saja. Iya, siapa lagi kalau bukan aku. Kami hanya dua bersaudara. Mas Faro sudah punya pekerjaan yang mapan di sebuah bank swasta bergengsi di negeri ini. Aku memutuskan untuk berhenti melihat Instagram Buttercream. Memang sayang, usaha kami yang sudah berjalan belasan tahun itu terpaksa harus selesai begitu saja tidak lama setelah ibu meninggal.

Tante Ratih—adik ibu, orang yang dipercaya Bapak untuk melanjutkan usaha ini ternyata tidak becus dan malah menghabiskan sejumlah uang untuk keperluan pribadinya. Bapak nggak tega buat menagih atau menuntut pertanggungjawaban pada Tante Ratih karena sudah dianggap adiknya sendiri.

"Aku nggak bisa ninggalin Bandung dan kerjaanku gitu aja, Mas," kataku pada Mas Faro. Sebagai sesama karyawan di perusahaan orang, aku berharap kakakku itu bisa memahami perasaanku.

"Ya nggak harus sekarang kok, Dek. Pelan-pelan," sahut Mas Faro menghiburku. Meski kami berdua sama-sama tahu, apa yang jadi keinginan Bapak tidak bisa diberikan pelan-pelan. Kalau bahasa jawanya, sakdek saknyek. Maunya sekarang, ya harus sekarang!

Mobil berhenti di perempatan karena lampu merah menyala. Mas Faro mengulurkan tangannya untuk mengacak-acak rambutku, tapi aku menghindar. Agak risih, aku ini bukan anak kecil lagi, usiaku sudah seperempat abad. Meski aku paham itu tandanya Mas Faro masih menganggapku sebagai adik kecilnya, tapi tetap saja aku tidak mau dianggap bocah lagi.

"Di Jakarta banyak peluang yang lebih besar, Dek. Portfolio kamu udah cukup lah. Kalau Buttercream udah bisa dilepas, kamu kan bisa sambil cari kerja lagi di bidang kamu. Sambil nemenin bapak di sini, Dek."

"Mas, aku nggak butuh jenjang karir dan lain-lain. Aku butuh kenyamanan. Dan di Bandung lingkungan kerja dan tempat tinggalku sudah nyaman."

"Jadi kamu lebih nyaman tinggal di Bandung sendirian gitu, jauh dari keluarga?" tanyanya pelan.

Aku melirik sinis ke kakakku. Nada bicaranya itu, kalem tapi dalem. Sukses membuat aku bungkam. Karena aku tak segera memberi tanggapan, Mas Faro malah menanyakan hal konyol lainnya. "Jangan-jangan karena kamu punya pacar ya di Bandung? Ciyeee buciiin!"

"Apaan sih. Nggak ada!" seruku.

Aku merengut sementara Mas Faro tertawa senang karena berhasil menggodaku. Dia tahu aku pernah bucin setengah mati dengan seseorang di kampus dulu tapi please, nggak perlu dibahas sekarang dan tentu saja itu bukan alasan mengapa aku nggak mau pergi dari Bandung. Pengalaman hubunganku dengan makhluk yang dinamakan pria kayaknya nggak ada yang menarik untuk dibahas. Lebih tepatnya aku malas mengingat-ingat luka lama.

"Lagian kamu keras kepala banget sih, Flo. Dulu udah diturutin kuliah di Bandung sampai berantem-berantem sama ibu-bapak. Lulus kuliah, ibu minta kamu pulang dan kerja di Jakarta aja, tapi kamu masih juga kekeuh pengin kerja di Bandung."

"Mas Faro nggak usah ikut-ikut ceramah, deh. Mas Faro sih enak, nggak pernah disuruh buat jadi apa yang bapak sama ibu mau. Nah aku, dari dulu selalu diatur-atur?"

Mas Faro tertawa kecil. Jarak umurku dengan Mas Faro memang terpaut lumayan jauh, 6 tahun. Dan aku merasa sejak kecil perlakuan orangtua pada kami berdua berbeda. Mas Faro selalu mendapatkan apa yang dia mau sedangkan aku harus ngotot-ngototan dulu baru dituruti.

"Jangan merasa dibedakan gitu. Jadi anak pertama juga nggak gampang. Sebenarnya bapak sama ibu itu pengin yang terbaik buat kamu, tapi kamunya aja berontak terus."

"Nggak gitu, Mas!"

"Buat kebaikan kamu, Flo."

Aku berdecak. "Tahu gini tadi mending aku naik ojek aja deh, nggak usah dijemput. Udahlah diomelin bapak, diomelin Mas Faro juga. Nasibku!"

"Hahaha. Ngambekan, ih. Sarapan dulu yuk! Laper nih," ajak Mas Faro.

Aku mengangguk. Setelah lampu merah berganti hijau, Mas Faro membelokkan mobilnya ke arah Jalan H. Juanda. Di sekitar sini ada warung pecel turi enak langganan keluarga kami. Rasanya perutku butuh diganjal biar nggak makin emosi nanti saat menghadapi bapak. 

***

Author Note: 

Hai semua, terima kasih udah mampir.

LHB adalah project selow dan project pelarian di sela-sela aku lagi merombak besar naskah lain yang urgent dan pusing huhu. Jadi dimohon untuk tidak berekspekstasi tinggi dengan cerita ini secara teknis karena aku ingin menulis dan melanjutkan naskah ini dengan fun di sini hehe. Jadi yuk kita lucu-lucuan dan seru-seruan bareng Flo dan Kael di sini.

Tapi, aku tetap senang jika kalian meninggalkan komentar atau masukan di cerita ini. Jadi jangan ragu untuk komen yaa. 

Sampai ketemu di bab berikutnya ^^

Wopyu,
Lia Nurida


LOVE HATE BUTTERCREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang