BUTTER #6

100 14 0
                                    

Keputusan impulsif yang kubuat kemarin memang belum sepenuhnya kuyakini sendiri. Entah harus bagaimana aku memulai sebuah proyek baru sementara pekerjaan utamaku juga masih berjalan. Usulan bapak untuk resign hingga detik ini juga masih kupertimbangkan.

Ya ampun, ini bukan perkara gampang. Sampai-sampai pikiran ruwet yang memenuhi otakku sejak bangun tidur tadi masih terbawa hingga aku tiba di kantor Belle ame untuk memenuhi janjiku pada Bu Sandra pagi ini.

"Oh, sudah datang. Duduk, duduk," ucap Bu Sandra padaku sambil menunjuk kursi yang ada di depannya ketika aku baru saja masuk ke ruang kerjanya.

"Maaf ya, Flo. Ada hal yang harus dibereskan," lanjut wanita itu tanpa memindahkan tatapannya dari layar ponsel.

"Silakan," jawabku singkat.

Setidaknya ruangan Bu Sandra terasa nyaman. Moodku lumayan membaik begitu masuk ke sini. Nuansa rustic yang mendominasi desain interior ruangan ini ditambah dengan tanaman-tanaman hijau dalam pot yang diletakkan di salah satu pojokan membuat suasana jadi segar. Hmm, coba saja kantorku yang di Bandung punya suasana seperti ini juga.

"Suka?" tanya Bu Sandra yang memergokiku sedang memperhatikan sekeliling ruangannya.

Aku mengangguk dalam-dalam. "Nyaman ya, Bu."

"Banget!" serunya.

Bu Sandra meletakkan ponselnya di meja kemudian beralih padaku. Wanita itu menatapku dalam-dalam cukup lama. Dahinya mengernyit. Seolah-olah ia sedang melakukan sebuah penilaian terhadapku. Apa ada yang salah dengan wajahku.

"Kenapa, Bu?" tanyaku sambil meraba-raba pipi.

"Kamu, dandan?" tanyanya.

"Ha? Ah, sedikit," jawabku singkat.

Memang kelihatan banget ya? Iya sih, aku memang sengaja dandan. Gara-gara kemarin aku merasakan culture shock saat bertemu perempuan-perempuan yang ada di kantor Belle ame karena penampilanku yang seperti gembel, hari ini aku memutuskan untuk datang ke sini dengan look yang lebih pantas. Meskipun mungkin tidak bisa menyamai glowing-nya perempuan-perempuan di sini, tapi setidaknya aku tidak mempermalukan diri sendiri lagi seperti kemarin.

"Nice! Saya senang sekali." Bu Sandra tersenyum lebar. Dan aku, tersenyum canggung.

"Flo, tahu tidak, saya berterima kasih sekali kamu mau bergabung dengan proyek ini," ucap Bu Sandra sambil membolak-balik tumpukan dokumen di mejanya, kemudian mengambil sebundel dokumen yang kemudian ia berikan padaku.

Setelah kuperiksa, bundelan itu adalah kontrak kerja sama dengan Belle ame. Belum apa-apa perutku langsung mulas. Belum apa-apa aku langsung khawatir dengan apa yang sudah kuputuskan sendiri.

"Jangan khawatir." Seolah bisa menebak dari raut wajahku yang berubah pucat, Bu Sandra mencoba membuatku tenang. "Kamu bisa bawa pulang dan baca-baca dulu di rumah."

Ya, itu membuatku sedikit lega.

"Saya perlu ngomong sesuatu sama Bu Sandra," kataku akhirnya. "Saya masih punya pekerjaan tetap di Bandung," lanjutku cepat.

"Saya tahu kok. Bapakmu sudah bilang."

Oh, ya tentu saja, Bapak. Kira-kira pada siapa lagi bapak menyebarkan cerita tentangku selain Bu Sandra. Astaga, Paaak!

Bu Sandra mencondongkan badannya ke depan, mendekat ke arahku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. "Saya sangat menghormati orangtua kamu, sebagai partner bisnis dan sahabat. Ibu kamu bekerja sangat keras membangun Buttercream dari nol. Ibu kamu sangat mencintai pekerjaan ini, Flo," lanjutnya.

LOVE HATE BUTTERCREAMWhere stories live. Discover now