BUTTER #5

117 17 0
                                    

"Bapak maksudnya apa?" protesku begitu sampai di rumah.

Bapak yang sedang bersantai di ruang keluarga sambil menonton berita di televisi langsung menoleh.

"Pulang pulang bukannya assalamualaikum malah ngomel-ngomel," tanggapnya.

Aku mengempaskan badanku di kursi kayu dekat bapak. Bapak melirikku begitu mendengar aku menghela napas panjang. "Muka ditekuk begitu, emangnya cakep apa?" ledek bapak.

"Nggak lucu, Pak! Bapak kenapa sih bikin kesepakatan sama Bu Sandra nggak bilang-bilang Flo dulu?" seruku kesal.

"Lho, kemarin kan Bapak udah bilang sama kamu, sana ke Belle ame buat ketemu Bu Sandra."

"Iya, tapi Bapak nggak bilang kalau Flo disuruh ke sana buat meeting langsung sama klien. Emangnya kapan Flo bilang setuju sama Bapak buat urusin katering lagi?"

"Kalau Bapak kasih tahu kayak gitu, udah jelas kamu nggak akan mau ke sana." Jawaban bapak memang sudah sesuai dengan yang kuperkirakan. Niatnya memang untuk menjebakku.

"Ya iyalah aku nggak mau."

Ini nih! Sifat Bapak dari dulu yang nggak pernah berubah. Manipulatif. Aquarius sejati! Dari aku kecil bapak selalu melakukan trik-trik atau bujukan apa pun agar aku memenuhi kemauannya.

"Jadi gimana tadi?" tanya Bapak dengan nada datar, seolah-olah muka kesal yang sejak tadi kuperlihatkan tidak cukup untuk menunjukkan bahwa aku tidak setuju dengan keputusan sepihaknya.

"Aku tolak."

"Loh ditolak piye toh? Kamu jangan malu-maluin Bapak di depan Bu Sandra loh Nduk!" Nada bicara bapak mulai meninggi.

"Pak, minggu depan Flo harus balik ke Bandung. Flo kan udah bilang sama Bapak. Flo belum bisa resign dari kantor. Flo masih banyak kerjaan!"

"Memang klien Bu Sandra nikahannya kapan to? Nggak besok juga kan? Ya udah, kamu bisa beresin kerjaan kamu dulu di Bandung terus resign."

"Paaak. Bapak kok nggak mau ngerti sih!"

Aku memegang kepalaku yang berdenyut. Kepalaku bakalan pecah betulan kalau terus-terusan berdebat sama Bapak. Akhirnya eku memutuskan untuk kembali ke kamarku saja dan istirahat. Meski kedengarannya kekanakan, tapi aku sengaja membanting pintu kamar saat menutupnya. Samar-samar dari dalam kamar aku bisa mendengar teriakan Bapak yang ngomel-ngomel dari lantai bawah.

"Hei, Flo! Oooh piye to, orang tua ngomong belum selesai kok ditinggal!"

***

"Flo, jangan lupa posternya ya. Besok pagi-pagi kalau bisa. Karena siang harus diunggah."

Sebuah pesan Whatsapp masuk dari Rana, chief editorku. Aku membacanya dari notifikasi yang muncul di layar laptop. Tidak perlu membalasnya sekarang, yang penting sudah aku kerjakan dan aku akan mengirimnya besok pagi.

Pemutar musik di ponselku yang sengaja kupasang acak tiba-tiba memainkan lagu Hanya Rindu-nya Andmesh. Buru-buru aku menekan next. Lagu yang berputar adalah 2002 milik Anne-Marie. Cool. Karena saat ini moodku sedang tidak ingin bersedih. Lagu Andmesh yang itu kalau nekat didengar bisa bahaya buatku. Lirik dan tema lagunya itu lho, membuatku teringat ibuk.

Fokusku kualihkan lagi ke desain poster untuk acara book talk yang akan diadakan penerbitku dua minggu lagi. Seperti yang tadi Rana bilang di Whatsapp tadi, besok sudah harus kukirimkan ke kantor. Tinggal sedikit lagi dan pekerjaanku ini akan selesai. Tapi meski sudah mencoba untuk konsentrasi penuh pada desainku, pikiranku masih saja berada di kantor Belle ame siang tadi.

Tadi siang setelah berikrar bahwa aku setuju untuk mengurus katering pernikahan Lola, Bu Sandra memintaku untuk datang ke kantor Belle ame lagi besok pagi. Aku sengaja bilang sama Bapak kalau aku menolak tawaran Bu Sandra biar Bapak nggak besar kepala. Kalau bapak tahu aku mengambil keputusan seimpulsif itu, maka selanjutnya bapak akan lebih semena-mena lagi mengatur hidupku. Lagi pula bapak nggak perlu tahu kalau aku bersedia menjadi vendor pernikahan Lola karena pria sengak itu.

Huh! Kesal sekali. Sampai sekarang aku masih bisa merasakan aroma musk yang menguar dari badan Kael saat dia mendekatkan wajahnya padaku tadi. Meski cuma sebentar, tapi aku jadi tahu bola mata Kael warnanya coklat gelap. Seandainya saja dia bersikap ramah dan bisa tersenyum dengan normal, pasti dia kelihatan tampan. Tapi kesongongannya itu membuat dia mengerikan di mataku. Lalu, lalu kenapa aku jadi mikirin Kael?!

Jangan Flo, jangan. Selain monster, dia itu calon suami orang. Jadi ngapain kamu capek-capek menggubris orang itu. Pakai acara menantang diri sendiri segala. Memang benar kata orang zaman dulu kalau lagi emosi, sebaiknya jangan mengambil keputusan. Karena pasti akan menyesal.

Aku melirik jam di laptop, sudah hampir pukul sepuluh malam. Besok aku harus berangkat ke kantor Belle ame pukul delapan pagi. Setelah kurasa hasil akhir desain posterku sudah final, aku mematikan laptop dan bergegas beranjak ke kasur. Hari ini terasa panjang sekali dan aku ingin tidur nyenyak malam ini.

Baru saja aku akan menarik selimut, samar-samar terdengar suara benda pecah dari lantai bawah. Aku langsung berjingkat. Cuma satu yang ada di pikiranku. Bapak! Tanpa berpikir panjang aku segera meloncat dari kasur dan keluar dari kamar.

"Bapak?! Bapak?!" aku berteriak-teriak memanggil bapak sambil tergopoh-gopoh menuruni tangga.

"Paaak!" seruku sekali lagi karena belum ada sahutan. Lantai bawah gelap. Aku tadi mematikan semua lampu saat bapak sudah masuk ke kamarnya. Saat aku sampai di bawah, ada sedikit pantulan cahaya dari arah dapur. Berarti ada seseorang di dapur.

"Bapak?" panggilku pelan sambil berjalan mengendap memasuki dapur.

"Apa?"

Akhirnya ada jawaban. Suara bapak. Fiuuuh. Aku langsung bernapas lega.

"Bapak ngapain? Apa yang pecah?" tanyaku menghampiri bapak yang sedang berdiri di sebelah dispenser. Di tangannya bapak memegang segelas air yang tinggal separuh. Tetapi di lantai di dekat kaki bapak ada pecahan kaca yang berserakan.

"Bapak nggak sengaja nyenggol gelas. Pecah."

"Jangan gerak, nanti kena pecahan kaca. Tunggu di situ," perintahku.

"Ada apa, Mbak Flo? Saya dengar suara barang pecah!" seru Mbak Rum yang muncul tiba-tiba di belakangku. Rambutnya awut-awutan karena baru bangun tidur.

"Nggak apa-apa Mbak Rum, ini Bapak mecahin gelas," jawabku sambil meraih sapu yang ada di pojok dapur.

"Sini Mbak, biar saya yang bersihin. Mbak Flo antar Bapak aja ke kamar," ujar Mbak Rum merebut sapu dari tanganku.

Aku menurut. Aku menghampiri bapak dan menggandeng tangannya. "Awas Pak, pelan-pelan, nanti kena kaca," kataku. "Bapak ngapain sih ambil minum sendiri malam-malam?"

"Ya namanya juga haus, Nduk. Masa nggak boleh minum."

"Ya kenapa nggak bawa air ke kamar aja, daripada malem-malem ke dapur?"

"Lupa," jawab bapak singkat.

Aku menggandeng tangan bapak sampai ke kamarnya. Selama itu, aku bisa merasakan tangan bapak gemetaran. Setelah sampai di kamar bapak, aku menemani sampai bapak benar-benar sudah tertidur kembali. Setelah itu aku kembali ke kamarku.

Sebelum benar-benar tertidur, aku sempat merasakan ada perasaan nyeri di di dadaku gara-gara kejadian tadi. Apa bapak selalu seperti ini setiap hari kalau aku nggak ada di rumah? Kalau bapak kenapa-kenapa, bagaimana?

***

LOVE HATE BUTTERCREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang