BUTTER #2

166 22 0
                                    

Saat aku memasuki pekarangan rumah, Bapak sudah menungguku di teras. Beliau masih mengenakan baju koko putih polos, peci dan sarung bermotif kotak-kotak hijau, pakaian yang mungkin tadi dikenakan beliau untuk jumatan.

Usia bapak sudah enam puluhan. Hatiku mencelos melihat sosok bapak yang berjalan mendekat ke pagar. Bapak tal lagi segagah dulu. Tubuhnya agak membungkuk. Raut wajahnya kusut, aku tahu, pasti karena kesal padaku. Sambil tertatih-tatih Bapak melangkah maju menyambutku. Aku mendekat dan menunduk sembari meraih tangan bapak untuk kucium.

"Katanya sampai Jakarta pagi, kok jam segini baru sampai!"

Tuh kan, belum apa-apa sudah kena tegur. Aku jadi ingat, waktu sekolah dulu pernah menjuluki bapakku 'Bapak rasa Ibu'. Bapak-bapak, tapi bawelnya melebihi ibuku.

"Tadi makan dulu Pak, sama Mas Faro. Terus kena macet jadi sekalian aja nyari masjid di jalan dan nungguin Mas Faro jumatan dulu," jawabku lempeng.

Bapak tidak menyahut lagi tetapi beliau mengamatiku dengan saksama dari atas sampai bawah. Seolah-olah ada yang salah dengan penampilan anaknya yang baru datang ini.

"Kenapa, Pak?" tanyaku bingung.

"Kamu nggak bawa apa-apa?" tanya Bapak ketus.

"Bawa apa maksudnya, Pak?"

"Koper, mana barang-barangmu?"

Aku mencengkeram tali ransel yang bertengger di punggungku. Aku tidak membawa banyak barang karena memang tidak berniat untuk tinggal lama di rumah, kan?

"Flo nggak pindahan sekarang, Pak," jelasku pelan-pelan. Pasti setelah ini Bapak marah.

"Loh gimana to?" Alis tebal Bapak yang menurun padaku bertaut. Ekspresinya berubah.

Kan? Apa kubilang? Mati kau, Flo! Aku sampai menahan napas bersiap untuk semprotan selanjutnya.

"Masuk yuk, Pak! Ini tadi kubungkusin pecel turi langganan, Bapak pasti belum makan siang," sela Mas Faro yang muncul dari belakangku.

Dadaku langsung longgar. Thanks Mas!

Kami bertiga masuk ke rumah. Saat Mas Faro menuntun bapak menuju ruang makan, diam-diam aku beringsut naik ke lantai dua menuju kamarku. Sesampainya di kamar aku meletakkan ranselku begitu saja di lantai dan merebahkan tubuhku yang kaku karena perjalanan tadi. Fiuuuh! Setidaknya beri aku jeda untuk bernapas sebentar saja sebelum menghadapi bapak.

Bapakku adalah pensiunan pegawai negeri. Beliau baru saja pensiun beberapa bulan lalu. Saat ibu meninggal karena penyakit paru-paru yang dideritanya, bapak belum pensiun. Saat itu, untuk mengalihkan kesedihan dan kesepiannya Bapak bekerja sangat keras. Sering lembur atau sekadar menghabiskan waktu di kantor lebih lama. Namun setelah pensiun, barulah bapak merasakan kesepian yang sebenarnya.

Rumah yang hanya dihuni seorang diri dan hanya ditemani oleh Mbak Rum. Mas Faro sudah punya rumah sendiri di kawasan BSD. Paling-paling dia datang ke rumah dua minggu sekali atau sebulan sekali bersama dengan istri dan anak-anaknya untuk menjenguk bapak. Aku nggak bisa menyalahkan Mas Faro yang jarang menengok bapak dengan alasan sibuk, karena aku sendiri juga jarang pulang ke Jakarta. Saat bapak bilang kangen ibu, barulah aku sadar. Bapak berkeras ingin aku pulang karena ia kesepian.

"Flooo! Deeek! Turuuun!"

Terdengar suara Mas Faro memanggilku saat aku hampir saja ketiduran. Aku bangkit dan turun ke ruang makan.

Ternyata Mas Faro sudah mau pamit. Katanya ia harus kembali karena sudah terlalu lama meninggalkan kantor. Aku dan bapak mengantar Mas Faro sampai ke depan rumah. Sekarang tinggal aku berdua dengan bapak. Suasana yang canggung memang sudah biasa kuhadapi di rumah ini.

LOVE HATE BUTTERCREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang