BUTTER #14

106 16 0
                                    

Kael mengajakku menunggu Erin di Family Mart seberang kantor Erin. Kantor Erin adalah kantor pemasaran salah satu cluster yang berada di kawasan Bintaro. Perjalanan kami tadi memakan waktu sekitar tiga puluh menit dari warteg Bu Marno. Tiga puluh menit yang menyiksa jiwa dan ragaku.

Pertama, tentu saja pinggangku nyeri karena harus bertahan agar tidak melorot duduk di boncengan motor Kael yang supermiring. Kedua, aku juga harus mati-matian menahan jantungku yang tidak berhenti berdegup kencang ketika secara tidak sengaja tubuhku harus menyentuh punggung Kael saat ia mengerem mendadak. Sungguh melelahkan sekali. Untungnya Family Mart di sini menyediakan tempat untuk pengunjung yang ingin makan atau minum di tempat. Jadi aku bisa beristirahat untuk meredakan nyeri pinggangku.

Dari yang kucuri dengar ketika Kael menelepon, Erin masih ada meeting dan akan menemui kami sepuluh menit lagi. Sungguh menyebalkan harus terjebak selama sepuluh menit lagi bersama pria sengak ini. Aku masih bingung, untuk apa keberadaanku sekarang di sini. Apa yang harus kulakukan kalau Erin datang nanti? Meminta maaf karena telah salah mengira dia selingkuhan Kael? Kekanakan banget! Masa begini saja Kael tidak bisa menyelesaikannya sendiri.

"Mau latte atau americano?" tawar Kael.

"Nggak usah," jawabku singkat.

Kael tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia langsung ngeloyor pergi menuju kasir untuk mengantre minuman. Aku menggerutu dalam hati. Penawaran basa-basi. Kalau dia peka seharusnya langsung saja pesankan aku minuman. Bukankah dia yang mengajakku ke sini.

"Nih, latte." Kael muncul dan menyodorkan minuman buatku beberapa menit kemudian.

Aku yang sedang sibuk membalas pesan di obrolan grup pun mendongak.

Eh, dibeliin beneran dong.

"Ehm, kan gue bilang nggak usah. Nggak usah sok baik pakai beliin segala," kataku gengsi.

Karena aku tak kunjung menerima cup darinya, Kael meletakkan minuman untukku di meja dengan serampangan. Kemudian dia mengambil kursi di sebelahku dan mulai menyalakan rokok. Selama beberapa menit, tidak ada percakapan di antara kami. Aku memilih sibuk dengan ponselku, melihat-lihat media sosial secara random.

Tapi lama-lama aku bosan juga. Dan haus. Akhirnya kuminum latte yang dibelikan Kael. Meski tidak menatapnya langsung, aku tahu ada senyuman licik yang tersungging di bibirnya. Pasti dia merasa senang karena pada akhirnya aku termakan gengsiku sendiri. Bodo amat lah!

"Terus gue mesti ngapain nanti kalau Erin datang?" tanyaku membuka percakapan. Sepertinya ini sudah lebih dari lima belas menit seperti yang dijanjikan, tapi sosok Erin belum juga kelihatan.

"Minta maaf," jawab Kael.

Aku mendesah. Memangnya masalahnya seserius itu? Memang sih, kalau diingat-ingat, saat itu mungkin kata-kataku terlalu berlebihan. Kalau aku di posisi Erin, sudah pasti aku juga akan merasa kesal.

"Minta maaf karena sudah menuduh dia yang tidak-tidak?" tanyaku memperjelas.

"Dia merasa dipermalukan. Memangnya lo nggak sadar sekenceng apa suara lo waktu itu?" Kael melirikku.

"Tapi cafenya sepi."

"Sepi tapi nggak kosong. Karyawan di sana punya kuping juga kali," ujar Kael ketus.

Benar juga. Jujur saja, tiba-tiba aku menyesali kebodohanku saat itu. Hanya karena terlalu kesal dengan Kael lalu secara impulsif membuat kekacauan yang seharusnya tidak perlu.

Aku dengar Kael mengembuskan napas berat. "Itu kafe langganan kami," ujarnya. "Kami sering ke sana. Dia jadi nggak mau ke sana lagi karena malu."

"Gara-gara gue?" sahutku.

LOVE HATE BUTTERCREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang