BUTTER #9

91 16 0
                                    

Proyek dengan Belle ame semakin serius. Tadi siang akhirnya aku menandatangani kontrak dengan Belle ame. Proyek pertama Buttercream adalah pernikahan Lola yang akan digelar bulan Februari. Itu artinya tiga bulan lagi. Tandanya aku harus segera mempersiapkan food test.

Aku ingat aku belum membahas hal ini dengan bapak. Aku tidak siap dengan respons bapak. Mungkin karena aku terlalu gengsi untuk memberi tahu bahwa pada akhirnya aku menyetujui apa yang beliau inginkan. Lalu besok-besok bapak akan semakin sering memaksaku untuk menuruti kemauannya yang lain lagi. Oh, no!

Sebenarnya aku hanya bingung bagaimana harus memberitahu bapak. Kalau ada skill yang ingin banget kupelajari, maka itu pasti pelajaran bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan orangtua agar tidak awkward. Hmm, atau jangan-jangan itu memang bukan keahlianku saja, karena Mas Faro yang sedarah denganku sangat akrab dengan ibu maupun bapak. Mas Faro tidak canggung untuk memeluk atau mencium mereka dan mengucapkan kalimat-kalimat kangen atau sayang. Jangan-jangan ada yang salah sama makanan yang kumakan sejak bayi sehingga aku sangat berbeda dengan Mas Faro.

"Bapak lagi makan apa?" tanyaku yang langsung menuju ruang keluarga saat baru sampai di rumah.

"Astaghfirullahaladzim! Biasain salam Flo, biar Bapak tahu ada orang pulang," seru bapak yang sedang makan sambil menonton tv. Piringnya hampir saja meloncat dari tangan karena terkejut dengan kedatanganku.

"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," sahutku.

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Nah, gitu. Ini, bapak makan sama bothok simbukan."

"Ha? Apaan tuh?" Aku mendekat untuk melihat apa yang ada di piring bapak.

"Kowe iku. Anaknya orang jawa tapi kok nggak njawani. Bothok simbukan ini makanan enak dari kampung bapak dulu."

"Flo tahu apa itu bothok, Pak. Tapi kan biasanya bothok tempe atau tahu. Bothok simbukan Flo nggak pernah denger. Ini Bapak beli?" tanyaku sambil mencomot sedikit bothok simbukan yang dibungkus daun pisang di piring bapak. "Hmm, enak."

"Mbak Rum yang buat. Sana ambil piring. Makan sama-sama," perintah bapak.

Pada akhirnya aku sibuk melahap nasi putih yang masih mengepul dengan bothok simbukan, sepotong tempe juga sambal terasi. Entah kapan aku merasa makan yang terasa nikmat sekali seperti sekarang ini. Apa aku memang karena aku benar-benar lapar atau memang karena seharian ini perasaanku campur aduk karena Belle ame. Tapi rasanya sangat enak diluapkan dengan makan enak begini. Ini semua beneran enak. Bapak yang sudah selesai makan duluan menatapku takjub.

"Kenapa sih, Pak? Ngeliatinnya gitu amat?"

"Kapan kamu terakhir makan? Kayak nggak makan seminggu," celetuk bapak.

Aku meringis. Sambel dan bothok buatan Mbak Rum ini memang juara banget. Semuanya ludes nggak tersisa di piringku.

Setelah aku selesai mengeluarkan kegundahan perasaanku lewat makanan, aku menghampiri bapak yang masih sibuk menonton tv. Tanpa menggunakan kata pengantar yang memang adalah kelemahanku, aku langsung saja meletakkan dokumen kontrak kerja ke pangkuan bapak.

Bapak langsung mengalihkan perhatiannya dari televisi dan menekuri dokumen yang kuberikan tanpa bertanya. Aku melirik ketika bapak sudah sampai di bagian akhir dokumen, di mana tempat aku membubuhkan tanda tanganku dengan materai.

Bapak menutup dokumen itu kemudian menyerahkan kembali padaku. Aku menatap bapak dengan saksama. Bapak bangkit dari duduknya, ia tersenyum kecil padaku. Suasana tiba-tiba menjadi canggung. Aku pun tidak punya keberanian untuk bertanya. Tidak ada komentar dari bapak. Bukankah ini yang bapak inginkan sejak kemarin-kemarin?

"Bapak ke kamar dulu ya, ngantuk," ucap bapak. Sebelum akhirnya berlalu bapak mengusap-usap kepalaku.

Aku tak beranjak dari ruang keluarga untuk beberapa saat, mencoba untuk berpikir apakah ada kata-kata yang salah kuucapkan pada bapak. Kenapa bapak tiba-tiba berubah? Apa aku melakukan kesalahan?

***

Semalam aku sengaja mematikan alarm karena aku ingin bangun siang. Tapi badanku seperti sudah otomatis terbangun di pukul lima pagi. Setelah sholat shubuh aku berniat untuk kembali tidur, tapi ada sesuatu yang mengusikku. Bapak yang baru pulang dari mushola komplek biasanya akan masuk kembali ke kamarnya dan baru keluar kamar setelah Mbak Rum mengetuk pintu untuk memberi tahu kalau sarapan sudah siap. Tapi kali ini aku menemukan bapak sedang berada di dapur tengah mengobrak-abrik lemari penyimpanan.

"Nyari apa, Pak?" tanyaku yang masih setengah mengantuk.

"Warisan ibumu," kata bapak sambil terus memilah-milah barang-barang di dalam lemari.

"Warisan apa?" Karena penasaran akhirnya aku menghampiri bapak dan ikut melongok ke dalam lemari.

Setengah jam berlalu, aku dan bapak sudah hampir mengeluarkan semua barang-barang yang ada di dalam sana, tetapi apa yang bapak cari belum juga ketemu. Bapak mencari sebuah buku. Katanya buku itu adalah jurnal resep milik ibu.

"Nggak disimpen di sini kali, Pak," ujarku sambil memasukkan kembali barang-barang yang berhasil kami buat berantakan pada tempatnya lagi.

"Bapak lupa ditaruh mana, di kamar bapak juga nggak ada," ucap bapak lesu.

"Sudah tanya Mbak Rum? Siapa tahu Mbak Rum tahu," usulku.

"Nggak ada yang tahu soal buku itu selain bapak."

Setelah rapi, aku mengambil air panas dari dispenser dan membuatkan bapak teh tawar hangat. Karena kami masih berada di dapur, aku berpikir tidak ada salahnya juga sekalian membuat sarapan untuk bapak. Mbak Rum tadi sudah berangkat ke pasar, katanya stok bahan makanan di rumah habis. Kalau harus menunggu mbak Rum pulang sepertinya akan kesiangan karena aku ada janji bertemu dengan teman SMA-ku nanti pukul sembilan.

Aku memutuskan untuk membuatkan nasi goreng untuk sarapan bapak dengan bahan seadanya yang ada di kulkas. Sosis, telur dan nugget, kurasa cukup.

Tidak sampai lima belas menit, nasi gorang buatanku pun jadi.

"Enak nggak, Pak?" tanyaku sambil masih mengunyah.

Sudah hampir setengah piring bapak habiskan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Jadinya aku tergerak untuk memulai obrolan.

"Pak?"

"Enak. Enak," jawab bapak.

"Lagi mikirin apa sih, Pak?" tanyaku akhirnya. Tidak biasanya bapakku jadi pendiam seperti ini. Sejak aku memberikan kontrak kerja semalam, ada yang aneh dengan bapak. Seolah-olah aku habis melakukan kesalahan. Padahal apa yang kulakukan sudah seperti yang bapak mau kan? Malahan aku belum tahu harus bagaimana dengan pekerjaanku di Bandung. Cutiku tinggal beberapa hari lagi, kemarin aku memutuskan untuk memikirkan bagaimana kelanjutan pekerjaanku nanti saja kalau sudah kembali ke Bandung.

"Bapak nggak kenapa-kenapa. Cuma lagi menikmati sarapan buatanmu saja."

Aku meletakkan sendokku dan menatap bapak penuh selidik. "Pak, kalau ada apa-apa ngomong. Apa Flo ada salah lagi?" desakku.

"Nggak ada, Nduk."

Aku masih belum mau melepaskan pandanganku pada bapak, mencoba mencari tahu lewat sisi-sisi wajahnya yang menua.

"Bapak senang, kamu akhirnya mau nurutin permintaan bapak dan ibu. Udah itu aja. Makasih ya Nduk sarapannya."

Hatiku bergetar mendengar ucapan bapak itu. Benar kah bapak senang? Tapi kenapa dia tidak mengekspresikan perasaan senangnya seperti kalau sedang marah atau mengomeliku?

"Nanti kalau jurnal ibu udah ketemu, bapak kasih ke kamu."

Aku mengangguk, sambil memperhatikan bapak yang berjalan pelan-pelan keluar dari dapur.

***

LOVE HATE BUTTERCREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang