Bab 2

37 25 4
                                    

Segala hal terjadi tanpa pernah bisa kita pertanyakan begitu pula dengan kehidupan, Cyana tak pernah menduga kebersamaan dengan ayahnya sejak ditinggal mendiang ibunya akhirnya berakhir. Sore itu seperti biasa selesai belajar Mia membereskan rumah.

Ia menyetel lagu favoritnya untuk mengusir sepi, ia jarang berkumpul dengan teman sebayanya di luar rumah, selain Nara dan Tania, Cyana tak memiliki teman dekat lain. Sebuah telepon masuk sore itu. Dengan cepat gadis cantik berambut sebahu itu berlari ke kamarnya. Ia mengangkat telepon itu dan
Duaarrrr ....
Rasanya seakan ia baru saja tersambar oleh petir di sore itu. Ia terduduk lemah dan seketika air matanya pecah.
"Ayah ... tidak mungkin, ayah tidak!!!" Teriaknya hingga beberapa tetangga pun datang untuk melihatnya.
"Ada apa Cyana?" Tanya Bu Wita tetangga yang sering menyapanya setiap kali berangkat ke sekolah. Ia dapat melihat bagaimana seakan Cyana shok dan terduduk meraung. Ia memeluk gadis berusia 17 tahun itu. "Ada apa Cyana? Cerita ke ibu?"
"Ayah ... Huaa ... Ayah kecelakaan dan meninggal dunia Bu Wita ..."
"Innalillahi, ya ampun sayang," ucap Bu Wita memeluk gadis itu sementara tetangga yang lain menghubungi ketua RT.
"Dia tak punya kerabat di Jakarta Pak," ucap salah satu tetangganya.
"Kalau begitu kita yang akan urus. Kata rumah sakit sebentar lagi jenazahnya tiba."

Akhirnya tetangga Cyana pun mengurus proses penerimaan jenazah. Saat suara sirine ambulans tiba Cyana berdiri.
"Ayah ..." Ia berlari menghampiri ayahnya yang kini telah terbujur kaku.
"Mengapa ayah tinggalin aku sendiri ayah ..."
Semua yang melihat merasa iba sebab mereka hanya berdua selama ini.
"Malang sekali nasibnya," komentar para tetangga.

Malam itu Cyana tidur disamping jasad ayahnya. Ia tak ingin beranjak dari sana. Para tetangga sudah mulai pulang kecuali beberapa yang lain.
Keesokan paginya saat  jasad itu dimandikan semua orang terkejut dengan kedatangan beberapa mobil mewah ke rumah itu.
"Mobil siapa?"
"Nggak tahu apa mobil keluarga Pak Derriel?"
"Mungkin."

Tak lama seorang pria berusia 66 tahun keluar dari dalam mobil, diikuti oleh beberapa bodyguardnya. Perlahan ia memasuki rumah itu. Cyana yang sedang menunggu jasad ayahnya dikafani pun tersentak.
"Apa kau putri Derriel?"
Cyana menatap lelaki itu dan mengangguk. Lantas lelaki tua itu duduk di sebelah Cyana. Tak berapa lama jasad Derriel dibawa ke hadapan mereka. Lelaki itu membuka penutup wajah itu dan ia menangis.

"Maafkan papa Nak," ucapnya lirih.
Cyana belum percaya apa yang ia dengar.
"Anda siapa?" Tanyanya.
"Nona muda, beliau adalah Federal Blaire."
"Blaire?"
"Beliau adalah kakek kandung anda, ayah dari Tuan Muda Derriel." Lelaki yang tak lain opa Cyana itu meraih tangan cucunya.
"Kalian urus pemakaman putraku dengan baik, dan kamu Cyana akan ikut dengan opa mulai sekarang Nak."
Cyana hanya diam, ia tak lagi memiliki siapapun dan kini seseorang yang mengaku sebagai opanya datang.

Proses pemakaman berlangsung dengan penuh duka. Saat menabur bunga Federal hampir tumbang, dan anak buahnya memapahnya kembali ke mobil.
"Bawa gadis itu, cucuku kesini."
"Baik Tuan."
Setelah mengucapkan salam pada ayahnya dan berdoa Cyana berjalan dan masuk ke mobil opanya.
"Kau akan tinggal bersama opa dj kediaman keluarga kita, namun opa disana tak sendiri, ada dua orang ommu, dan tantemu, ada tiga sepupumu yang juga tinggal disana. Mulai sekarang kau harus ingat kau keturan Blaire dan tak ada yang bisa memandangmu sebelah mata."
Cyana hanya diam. Ia menuruti kata opanya. Hari itu juga perpindahannya di sekolah diurus.

****

"Kenapa mereka heboh?" Tanya Xenon saat melewati lorong kelas Cyana.
"Mereka bilang rivalmu itu pindah sekolah."
"Apa?"
"Kenapa kau sekarang kecarian ya?" Goda Sammy.
Xenon langsung mendatangi Nara dan Tania.
"Kemana dia?" Tanya Xenon menunjuk bangku Cyana yang kosong.
"Kau mau tau atau mau tahu banget?" Ledek Tiana.
"Ssstt, Tiana, begini ya Xenon mulai sekarang kau tenang saja karena kau tak perlu lagi pusing sebab Cyana sudah pindah. Kau puas!!"
Xenon mengepalkan tangannya kemudian ia pergi dari kelas itu sesampainya diluar ia memukul dinding.

"Hebat sekali, kau kabur seperti pengecut Cyana! Sial ... Kenapa aku bisa kehilangan jejaknya." Umpatnya kesal. Sementara Diana dan Sammy yang melihat saling berpandangan.
"Mungkinkah Xenon?"
"Entahlah, itu bukan urusan kita Sammy. Ayo ajak dia masuk kelas," ucap Diana.

Sementara sore itu Cyana memasuki rumah besar keluarga Blaire. Rumah dwngan pagar tinggi yang menghalangi orang untuk masuk dan membuat minder siapapun yang melihatnya.

"Kenapa berhenti? Ayo masuk Cyana." Cyana berjalan pelan mengikuti opanya. Ia tak merasa pantas tinggal di rumah besar itu.

Saat ia masuk ada tiga orang remaja yang seperti seusianya yang menatapnya heran seakan bertanya siapa dirinya.
"Siapa dia Pa?" Tiba-tiba seorang pria menurini tangga. Ia adalah Daniel Blaire, om tertua Cyana.
Ia memperhatikan gadis itu dari dekat.
"Tak mungkin," ucapnya.

Marry My RivalWhere stories live. Discover now