Prolog

12.5K 1.5K 128
                                    

Sekali lagi, Mili menghela napasnya yang ia coba keluarkan sepelan mungkin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekali lagi, Mili menghela napasnya yang ia coba keluarkan sepelan mungkin. Berdiri berpegangan pada hand strap di dalam gerbong kereta yang tengah melaju. Banyak sekali penumpang di dalam sana yang juga berdiri bersamanya, serta duduk di bangku biru di depannya. Salah satu penumpang-penumpang itu ada seorang lelaki yang berdiri di samping kirinya, berpegangan pada hand strap seperti yang Mili lakukan.

Dengan tubuh yang tidak seberapa tinggi itu, Mili menoleh ke kiri, tepat pada si lelaki. Menatap bagaimana tubuh lelaki itu yang jauh lebih tinggi dari pada dirinya berdiri menjulang. Dengan tatapan tajamnya seperti biasa, menatap lurus ke luar jendela tempat di mana bangunan-bangunan besar menjadi pemandangan.

"Diingat-ingat nama stasiunnya."

Mili terkejut saat tiba-tiba lelaki yang tengah ditatapnya itu bersuara, menoleh padanya. Saking terkejutnya, Mili tidak bisa dengan sigap mengendalikan ekspresi sehingga dia langsung membuang wajah. Beberapa detik, baru kembali diberanikannya diri menoleh pada si lelaki.

Arsenal-nama lelaki itu-menatapnya dengan sorot tajamnya yang membuat Mili cepat-cepat mengalihkan pandangan. Seram sekali.

"Dengar enggak apa yang saya bilang tadi?" Suara Arsenal kembali didengarnya.

Pelan, Mili pun mengangguk. Mencoba menatap lelaki itu, sesopan mungkin.

"Saya bilang apa?"

Bola mata gadis itu bergerak gelisah. Sejujurnya, dia tidak ingat apa yang lelaki itu katakan sebelum ini saking terkejutnya.

"Diingat-ingat nama stasiunnya." Arsenal mengulangi perkataannya.

Mili pun sigap mengangguk berulang-ulang. Seolah-olah meyakinkan Arsenal bahwa dia memahami perkataan lelaki itu.

"Di tempat umum begini jangan bengong," kata Arsenal lagi.

Mili mengangguk lagi.

"Ingat, kamu turun di stasiun mana. Jangan sampai kelewat."

Satu lagi anggukan gadis itu untuk Arsenal.

Lelaki itu pun tidak lagi bicara. Berikut juga Mili yang kali ini tidak mau bertingkah bodoh dengan sembunyi-sembunyi menatap si lelaki. Hingga kemudian stasiun tujuan mereka tiba, Mili langsung mengekor di belakang Arsenal yang turun dari kereta lebih dulu.

Langkah Arsenal besar-besar. Dengan kaki lelaki itu yang panjang, Mili berjalan setengah berlari mengikutinya di belakang. Tentu saja demikian. Tinggi badan Mili tidak sampai melewati 160 cm. Sedang Arsenal, mungkin tingginya di sekitar 180-an. Tinggi sekali, kan?

Kaki gadis itu berhenti tiba-tiba saat orang yang berjalan di depannya itu juga berhenti dan berbalik. Hampir saja Mili menabraknya kalau dia tidak buru-buru mengendalikan diri.

"Kartu kamu di mana?" tanya Arsenal padanya.

Buru-buru, Mili membuka tas hitamnya, mengambil kartu transportasinya di dalam dompet dan menunjukkannya pada si lelaki. Balasan yang Mili dapat dari hasil menunjukkan kartunya pada Arsenal adalah helaan napas lelaki itu yang membuat Mili tidak mengerti.

Apa yang salah? Kenapa Arsenal menghela napas kepadanya?

"Kan, saya udah bilang, kartunya disiapkan untuk tap keluar nanti. Kalau ditaruh di dalam dompet begitu kasihan yang antre di belakang kamu," ucap Arsenal.

Ah, benar. Arsenal, bahkan Ibu Adis-Mama lelaki itu sudah mengingatkan Mili di rumah tadi soal cara menaiki transportasi umum di Jakarta.

"Ambil lanyard kamu, masukin kartu itu ke lanyard, kalungin lanyard-nya ke leher," perintah Arsenal yang langsung Mili turuti segera mungkin. "Jalannya yang benar, jangan lelet. Ke dorong-dorong orang kamu lelet di sini," kata Arsenal lagi.

Meski ingin cemberut, tetapi Mili tahan keinginan itu. Alih-alih demikian, gadis itu justru mengangguk. Meski dia ingin menyalahkan langkah Arsenal yang panjang karena kakinya juga panjang, Mili memang patut disalahkan karena pada dasarnya, gadis itu juga cukup lamban.

"Maaf, A'," cicit Mili pelan. Merasa bersalah sudah banyak merepotkan si lelaki.

Permintaan maaf Mili itu dibalas tatapan tajam oleh Arsenal yang membuat Mili mengalihkan pandangannya tidak beraturan. Dia salah apa lagi kali ini, sih?

"Di kantor, jangan semua orang kamu panggil Aa' atau Teteh. Panggil Mbak, Ibu atau Mas, Bapak."

Mili langsung buru-buru mengangguk. "Iya, Ibu atau Bapak."

"Kalau ketemu saya di gedung kantor juga jangan panggil Aa'. Panggil Bapak atau Mas."

Mili mengangguk lagi. "Iya, Bapak atau Mas."

"Satu aja, Mili."

"Iya, Mas."

Arsenal pun kembali berjalan dengan Mili yang kembali mengekor. Kali ini dia tidak terlalu tergesa seperti tadi mengikuti si lelaki sebab Arsenal memelankan langkahnya, membuat Mili sedikit santai. Bahkan, matanya bisa ikut jelalatan ke sana ke mari melihat orang-orang yang juga tengah berlalu lalang.

Mili sedang memanfaatkan kesempatan yang ada. Tentu saja, dia tidak akan mau membuang-buang waktu. Tujuan utamanya datang ke Ibu Kota sudah amat jelas. Bukan sekedar mencari pekerjaan, utamanya Mili datang kemari adalah untuk mengejar jodohnya.

Jodoh harus dicari!

              Jodoh harus dicari!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yuhuuuuuuu

Akhirnya prolognya muncul!!

Gimana nih, perkenalannya dengan Arsenal dan Kamiliea??

Semakin gak sabar gak kira2 buat next part???

Kalau begitu sampai ketemu hari Minggu yaaa!

Bonus pict :

Iyakah Arsenal seseram itu??? 🤭🤭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Iyakah Arsenal seseram itu??? 🤭🤭

Dikejar JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang