1. Hujan Pertama

38 16 37
                                    

Pukul 11.10

Detak jam yang berada di depan kelas itu membuyarkan lamunannya. Gadis itu menguap dan mengacak rambutnya sebentar sebelum kembali membaca soal.

Matanya menatap sayu ke arah jam yang tergantung di dinding kelas itu. Raut mukanya kusut. Rambutnya acak-acakan, berantakan seperti kertas yang berada di hadapannya sekarang.

Riri Ganisha namanya. Diambil dari nama Dewa Ganesha, salah satu dewa yang melambangkan kecerdasan dengan harapan dia akan menjadi cerdas juga. Namun, sayang beribu sayang, harapan dari nama yang diberikan mamanya itu hilang secepat mamanya dibawa ke makam.

Riri mengucek matanya dan perih yang semakin ia rasa. Riri menguap sekali lagi, dan kali ini, kepalanya nyaris terantuk meja.

Hujan di luar sana terdengar semakin keras, Riri menatap jendela kelas dengan tatapan nanar. Sedari tadi, pikirannya melayang-layang, dia tidak bisa fokus dengan soal yang ada di depan matanya.

"Waktunya lima menit lagi."

Riri melirik ke arah pengawas yang menjaga ulangan semesteran di depan sana. Sedetik kemudian, tatapan matanya sudah beralih ke kertas jawaban di atas mejanya. Putih bersih belum ternoda. Belum terjawab.

Sama sekali.

Riri menarik napas dalam. Matanya yang merah itu ditutupnya sejenak. Lalu, dalam satu tarikan napas kemudian, tangannya bergerak lincah. Menjawab asal-asalan.

A.
A.
A.
A.
A.

Riri menghela napas. Matanya yang merah itu terlihat semakin merah saja.

B.
B.
B.
B.
B.

Tangannya gemetaran. Riri merutuk kesal karena dia belum sarapan.

C.
C.
C.
C.
C.

Riri melepaskan penanya. Sekarang, dia bertanya-tanya, dia itu lupa sarapan hari ini atau lupa makan dari dua hari yang lalu?

D.
D.
D.
D.
D.

Detak jam berbunyi semakin kencang. Riri menggelengkan kepala.

A.
B.
C.
D.
E.

Riri menghela napas. Terserahlah hasilnya mau bagaimana.

A.
B.
C.
D.
E.

Ah, iya. Esai-nya belum diisi.

A.
A.
A.
B.
B.

C.
C.
C.
D.
D.

Riri menggelengkan kepala. Dia sudah tidak sempat lagi. Esai-nya acak-acakan, entah benar entah salah. Sudahlah, untuk apa?

Riri menyerahkan hasilnya. Mata sayunya itu mencuri perhatian pengawas di depan. Setelah diberi sedikit petuah tentang kehidupan, pengawas itu mempersilakannya untuk keluar ruangan.

Riri berjalan gontai. Diambilnya tas yang tergeletak di depan kelas itu lalu berjalan ke luar.

***

"Ganish!"

Riri menoleh ketika mendengar suara hangat itu. Sesosok cowok dengan senyum hangatnya berada di depan Riri, tersenyum cerah seperti biasa.

Terkadang, senyum itu terlalu cerah. Terlalu menyilaukan. Terlalu ... menyebalkan.

"Shasha sudah selesai belum ulangannya? Bukannya sebentar lagi waktunya habis?" Cowok itu bertanya dengan riang.

Namanya Awan. Awan Harsa Pratama.

Hubungan mereka? Riri hanya bisa menghela napas yang ke sekian kalinya. Rumit. Hubungan mereka kacau walau sebenarnya hanya Riri yang terlalu membuatnya njelimet.

Dia dan Awan sudah berteman dari dulu. Dari saat Riri masih belajar berjalan dan saat mereka hanya bisa menangis dan makan. Riri tahu seberapa banyak aib Awan, pun dengan sebaliknya.

Hubungan mereka hanya teman. Sampai Riri jatuh terlalu dalam.

Sialnya, saat Riri ingin mengakui perasaannya. Awan sudah bergerak lebih dulu, cowok itu 'menembak' Shasha, teman baru Riri di SMA untuk menjadi pacarnya.

Semua itu terjadi. Berdekatan dengan saat Mama meninggal.

Riri menahan napasnya untuk sementara. Bibirnya Kelu dan gemetaran. Di saat-saat seperti ini, biasanya dia bercerita dengan Awan.

Sekarang sudah tidak bisa, Riri tidak mau menjadi perusak hubungan orang. Terlebih lagi, hubungan dua orang sahabatnya.

Jadi, yang bisa dia lakukan sekarang hanya berusaha tegar, menahan napas dan menjawab sebisanya. Riri itu ... kuat.

"Belum," jawab Riri sambil menggeleng lalu berjalan pergi.

"Ganish!"

Riri tidak menoleh lagi. Rasanya terlalu sakit.

***

Hujannya deras sekali.

Riri menjulurkan tangannya ke luar dari atap, menikmati tetes demi tetes air hujan yang membasahi tangannya. Kepalanya mendongak ke atas, menatap langit muram gelap yang seolah ikut merayakan tangisannya.

Gara-gara terlalu sibuk menghindari Awan, Riri sampai lupa dengan hujan yang begitu deras. Sekarang, bagaimana caranya dia pulang?

Riri melamun untuk sebentar, netranya sibuk melihat teman-teman lainnya yang sibuk berlari ataupun berteduh dari hujan. Ada yang berdua bersama pacar, ada yang bersama dengan teman.

Riri kembali menghela napas saat dia sadar dia tidak punya siapa-siapa lagi. Teman tidak ada. Pacar apalagi.

Gadis itu mengeratkan pegangan tangannya pada tali tas yang berada di bahunya. Menarik napas dalam, sebelum akhirnya berlari menembus hujan.

Sendirian.

Ah, sejak kapan dia sangat sedih dengan sendirian dan kesepian?

***

"Dek, mau pulang ke mana?"

Mamang-mamang ojek itu bertanya saat melihat Riri yang berlari menembus hujan sendirian. Air mata di pipinya tersamarkan dengan air hujan yang turun.

Motor itu belum berjalan. Riri masih berusaha mengingat di mana alamat rumahnya yang baru, jadilah dia diam di sana, di atas motor tanpa jas hujan, masih tersedu sedikit.

"Dek? Hujan loh ini, nanti sakit, besok masih sekolah, 'kan?" Malah tukang ojek yang panik, Riri masih berusaha mengingat rumahnya.

Salah papanya yang merubah alamat rumahnya setelah Mama meninggal. Salah Papa yang tidak meminta pendapat Riri tentang alamat yang sekarang.

Ini semua salah Papa ... yang bahkan tidak bisa menjaga diri. Salah Papa yang jatuh cinta lagi.

Beberapa lama kemudian, Riri menyerah. Dia tidak bisa mengingat di mana alamat rumahnya yang baru. Daripada menyiksa tukang ojek yang sudah basah, Riri langsung asal bicara saja.

"Ke TPU Taman Indah, tolong."

Setidaknya, hanya satu tempat itu yang bisa Riri pikirkan. Hanya satu tempat itu yang akan sudi menjadi tempatnya berpulang kapan pun dia merasa resah dan gelisah.

Mama.

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang