9. Lelah

7 4 0
                                    

"Pa, Riri capek Pa ...."

Riri menangis terisak-isak. Hatinya semakin sakit dan terbakar. Untunglah tidak ada dua orang itu di rumah atau dia akan terlihat memalukan.

"Sakit, sakit banget, Pa." Riri terus merengek sambil memukuli dadanya. Sesak luar biasa. Lebih pedih daripada saat Mama dulu menetesi lukanya dengan Betadine China.

Die Dha You Jing!

Sementara papanya terduduk di sana. Bergeming tanpa suara. Papanya yang hebat itu terduduk dalam kelu, gagahnya telah runtuh.

"Papa juga capek, Ri ...." Suara papanya lemah keluar. Riri menghela napas, kepalanya mendongak ke atas, berusaha menahan tangisan.

Kenapa anak-anak, terkadang selalu menjadi korban keegoisan orang tua?

"Terus kenapa Papa nikah lagi? Kurang Riri di hidup Papa? Apa kita gak bisa hidup berdua aja, Pa? Harus banget ada Ayu sama Dea?"

Riri ingin marah. Dia ingin berkata lebih dari ini, dia ingin berteriak lebih keras dari ini. Mengamuk menghancurkan semuanya. Marah menyalahkan papanya.

Mata Riri merah. Tajam menatap papanya yang semakin tidak berdaya di tempat duduknya. Menghela napas dan menggeleng.

"Apa kita gak bisa, Pa? Hidup selamanya mengenang Mama? Harus banget Papa nikah lagi terus kita punya keluarga baru? Terus kita ninggalin Mama?"

Riri semakin tidak tahan. Apa Papa tidak bisa mengerti dirinya? Kenapa? Bukankah sekarang mereka hanya punya satu sama lain?

"Ri, kita gak ninggalin Mama. Gak ada yang ninggalin Mama, Nak." Papanya mencoba memberi pengertian. Alasan yang paling tidak masuk akal yang pernah Riri dengar.

"Maksud Papa apa? Kita pindah rumah. Papa nikah lagi. Aku punya saudara tiri. Apanya yang gak ninggalin Mama?" Riri tidak habis pikir. Semuanya sempit. Pikiran papanya sempit.

Rasanya ... benar-benar seperti tertabrak mobil. Tulang-belulangnya hancur. Pikirannya lebur.

"Aku gak ngerti Papa yang sekarang. Apa coba? Maksud Papa apa, sih? Gak jelas! Aku gak ngerti!"

"Papa egois! Tapi Papa gak mau ngakuin!" teriak Riri tidak tahan lagi. Satu kakinya menendang meja di depannya.

Papanya melotot. Riri tidak peduli. Dia hanya semakin menangis terisak-isak.

Kakinya sakit sekali.

Kalau ada Mama pasti sudah diobati.

"Ri," Papa memanggilnya dengan nada yang semakin terburu-buru, "Papa juga udah gak bisa kenal kamu lagi. Kenapa kamu jadi kayak gini?"

Riri Ganisha yang pintar dan selalu dibanggakan. Riri anaknya yang selalu baik dan santun. Riri yang selalu anak baik dan penurut.

Ke mana Riri yang itu?

Riri juga tidak bisa menjawab ke mana 'Riri yang itu'. Mungkin dia mati, lalu ikut terkubur bersama dengan Mama di TPU Taman Indah sana.

Ke mana Riri yang itu?

Bahkan tidak ada seorang pun yang bisa menjawabnya. Benar-benar tidak ada seorang pun. Jawaban yang entah di mana. Jawaban yang entah apa bentuknya.

Papanya menghela napas panjang, kepalanya kembali tersandar di sandaran sofa lalu memejamkan mata. Rancu. Bingung.

Sejak kapan hidup kita jadi seperti ini?

Papa menggelengkan kepala lalu menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangan. Lagi-lagi pertanyaan tanpa jawaban.

Sejak kapan ada jarak yang begitu besar dengan putrinya? Sejak kapan dia begitu abai dengan Riri sampai tega menamparnya? Sejak kapan mereka berubah?

Sejak kapan mereka mulai saling memunggungi dengan sangat hebatnya?

"Ri, Papa minta maaf."

Pada akhirnya hanya perkataan itulah yang dapat keluar. Kata-kata maaf yang diharapkan dapat memperbaiki semua meski terkadang malah menambah rasa duka.

"Papa minta maaf sudah cuek sama Riri." Papanya terus berlanjut menguntai kata, Riri hanya diam saja.

"Papa salah, maafin Papa, Ri."

Ini memang waktu-waktu paling sulit untuk mereka.

Kesalahan terbesar Papa adalah Papa tidak berduka dengan cukup. Tidak menangis dengan cukup. Tidak mengharu-biru dengan cukup.

Papa tidak membiarkan hatinya bersedih dengan cukup melainkan langsung memaksanya untuk sembuh. Akibatnya Papa mengambil keputusan dengan keadaan seperti itu membiarkan semuanya menjadi kacau.

Papa terlalu terburu-buru. Jadi, Papa menikah dengan Ayu.

Kalau saja Papa membiarkan hatinya berduka sedikit lebih lama. Mungkin, mungkin saja, Riri tidak perlu bersaudara Riri dengan Dea.

Mungkin saja ....

Riri menggelengkan kepalanya. Rambut lurusnya yang jatuh itu bergerak-gerak. Rambutnya yang dipotong pendek setelah Mama meninggal.

Kenapa pula Mama harus meninggal?

Riri menangis semakin keras. Bagaimanapun sakit dan pedihnya. Bagaimanapun dia terus berusaha menolak, pertanyaan itu terus menggelayut di kepalanya.

Kenapa harus mamanya?

Kenapa?

Riri tidak ingin mempertanyakan takdir. Dia juga tidak pernah melakukannya sebelumnya. Riri adalah anak yang baik dan umat yang taat, dia biasa menerima semuanya dengan hati penuh syukur dan tangan yang terlipat di atas dada.

Ataukah itu semua karena yang selama ini dia terima adalah kebaikan?

Sebelum-sebelum ini, tidak ada luka begitu besar yang dia terima. Tidak ada sakit yang sebegitu menyakitkan. Apakah karena itu, Tuhan langsung ingin memberikan sesuatu yang berat?

Agar semua bisa menilai bagaimana Riri aslinya?

Riri yang lemah dan cacat. Contoh buruk dari kehidupan yang gagal. Riri yang tak mampu lagi berjalan ataupun berlari. Riri yang hancur dalam kubangannya sendiri.

Mereka semua yang hancur dan gagal. Para pengecut dan pecundang kehidupan.

Mereka semua ... surviver yang gagal.

Riri mengacak rambutnya setelah beberapa menit yang menyiksa. Gadis itu berdiri lalu menghentakkan kaki, menatap nyalang ke arah papanya yang diam-diam menangis.

Papa ... menangis?

Namun, Riri menguatkan hati. Berusaha tidak peduli. Berusaha tidak terafiliasi. Dia mengangkat dagu dengan pipi yang basah.

Menantang hidup yang sudah mempermainkannya habis-habisan. Pecundang yang kadang berani.

"Pokoknya kalau Dea ataupun Ayu sekali lagi berani usik aku atau Mama. Aku gak akan segan." Riri berkata dengan suara gemetar, pupilnya juga bergerak tak jelas. Dia takut. Namun tak mau mengaku.

"Aku gak akan ragu lagi. Aku udah capek selama ini. Kali ini aku beneran, Dea yang bakal aku buang ke got depan komplek."

November RainWhere stories live. Discover now