6. Hujan Ketiga

18 12 36
                                    

Sepulangnya dari kedai mi ayam, Riri memang diantar oleh Shasha dan Awan. Katanya, mereka tidak bisa mampir karena mau lanjut jalan-jalan.

Riri hanya mengangguk saja. Tidak memberikan respon yang lebih. Lagipula, dia masih terlalu lesu untuk beramah-tamah atau sekadar beraktivitas yang sederhana.

Langit masih mendung saat Riri turun dari mobil. Pemandangan yang sangat biasa ditemui di bulan-bulan hujan ini.

Bulan-bulan hujan. Bulan-bulan ulang tahunnya dan Awan.

Riri menyusuri jalan raya yang panjang di depan rumahnya. Tanpa pulang dan berganti pakaian, tanpa makan dan minum sebelumnya.

Riri belum mau pulang, sebelum kembali bertemu dengan Mama.

-o0o-

Riri tahu kalau tidaklah baik untuk terus berlarut-larut dalam kesedihan. Namun, kesedihan tetaplah kesedihan, manusia perlu untuk terus mengekspresikannya guna menjaga kewarasan.

Temannya yang sudah 'berpengalaman' dalam urusan ditinggalkan oleh orang tua juga berkata, "Nikmati saja kesedihannya. Nangis aja sampe guling-guling, sampe kepala pusing. Toh, lukanya juga abadi."

Riri sebenarnya tidak terlalu hafal dengan jalan ke makam Mama dari rumah baru ini. Berkali-kali dia salah jalan, tapi, setelah berjalan sampai kaki hampir patah, akhirnya dia sampai juga.

Makam mamanya memang tidak terlalu di depan. Di bagian sedikit belakang, perlu waktu untuk mencapainya. Sering juga Riri sudah menangis sampai sakit mata sebelum sampai di sana.

Di pusara Mama, Riri merasa bebas. Dia masih menangis dan tertawa, dia bisa marah dan bercerita sepuasnya. Penjaga kuburan pun sudah tidak heran lagi melihatnya yang seperti orang gila.

Setidaknya, dia dimaklumi oleh beberapa orang.

"Ma, Riri tadi gak bisa jawab soal matematika." Riri mulai bercerita, kepalanya bersandar ke nisan mamanya, "kalau Mama masih ada, Mama pasti kecewa."

Riri memainkan helaian rambutnya sambil terus mengoceh. Rambutnya yang dulu panjang, sekarang dipangkas pendek karena patah hati berkali-kali.

Hujan mulai turun dari langit saat Riri mendongak. Tetesan air hujan itu mengenai wajahnya yang perlahan memucat.

Dingin ....

Riri toleh kanan toleh kiri. Sendirian di kuburan. Hujan. Ada perasaan yang tidak bisa dijabarkan di dalam dadanya sekarang.

Riri bangkit suka tidak suka. Dia memaksa kakinya untuk berteduh untuk sementara. Sebentar saja, lalu Riri berjanji akan kembali ke makam Mama.

Dia tidak mau pulang ke rumah dengan keadaan seperti ini. Kusut, berantakan, basah.

Setidaknya, jangan berikan Ayu kesempatan lagi untuk mengolok-oloknya.

Riri bersandar lalu memandang langit yang semakin gelap. Angin bertiup semakin kencang. Riri memeluk tubuhnya sendiri di bawah pohon besar di area pemakaman itu.

Masih ada banyak sekali waktu. Masih ada banyak sekali masa untuk melewati hari tanpa Mama. Riri tidak tahu dia akan sanggup atau tidak.

Dia tidak lagi belajar di sekolahnya. Kerjaannya hanya tidur dan melamun saja. Guru-guru yang awalnya memujinya dan menjadikannya contoh yang baik, lama-kelamaan mulai berbalik memakinya.

Namun, bukankah itu benar? Riri adalah contoh yang buruk sekarang.

Contoh orang yang gagal dalam kehidupan. Contoh orang yang gagal bangkit dari kesedihan.

Riri berdiri lalu menjulurkan tangan, membiarkan tetesan air mata itu membasahi telapak tangannya. Kepalanya mendongak ke atas, pikirannya melayang-layang.

Masih ada lima hari ulangan semesteran. Entah bagaimana Riri bisa bertahan sekarang, nilainya pasti berantakan.

Entah bagaimana ekspresi Mama kalau tahu dia bukan juara kelas lagi ....

Hujan turun semakin deras. Riri jadi sedikit menyesal karena lupa membawa payung, ditatapnya langit gelap itu dengan tatapan nanar.

Ah, berbicara tentang payung, Riri sampai lupa dengan payung yang waktu tergeletak di dekatnya beberapa hari yang lalu.

"Padahal hari ini bisa dibalikin." Riri menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal lalu kembali duduk.

Siapa, ya?

Pikiran Riri kembali melayang-layang saat dia duduk. Wajahnya berpangku di atas kedua tangannya. Riri bingung, siapa yang berbaik hati memberikannya payung?

Hujan turun semakin deras, Riri memejamkan mata. Dia tiba-tiba merasa mengantuk sekarang.

Rumput-rumput liar yang ada di makam Mama sudah dia bersihkan. Begitulah keseharian hari sekarang, datang, berdoa, lalu mencabuti rumput dan bercerita.

Lalu, yang paling mendominasi, menangis sampai matanya merah. Semerah buah saga.

Riri menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan lalu kembali merapatkan tubuhnya. Dingin. Riri mau lari tapi tidak tahu ke mana.

Haus. Riri juga mau minum.

Gadis itu berdiri lagi lalu meregangkan tubuhnya. Mengambil ancang-ancang untuk berlari ke luar, menembus hujan yang semakin deras.

Riri berlari, tanah area kuburan yang becek itu membuatnya beberapa kali hampir tergelincir. Sampai di depan TPU, Riri berhenti. Kehabisan napas.

Gadis itu menunduk untuk sejenak. Lalu, tiba-tiba ada sesuatu yang mengenai kepalanya.

"Aduh!" Riri mengaduh, untunglah dia tidak sampai mengumpat.

Ada kresek putih di sana. Bersaman dengan amarahnya yang sudah meluap, Riri mengambilnya lalu membukanya.

Kepo itu tidak baik sebenernya, tapi, biarlah, sekali-kali.

Saat Riri membukanya, ada perasaan terkejut yang dia rasa. Kali ini, bukan hanya payung, tapi, juga ada beberapa makanan ringan dan sebotol air mineral kecil di dalam sana.

Kali ini juga, ada tulisan di sana. Namun, ada yang sedikit berbeda di 'surat' itu.

Payungnya dipakai. Makanannya dimakan. Minumannya diminum, Ri.

"LAH?"

Riri melempar plastik itu. Ada perasaan yang tidak enak saat membaca itu.

"STALKER GILA!"

November RainNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ