12. Bisik-bisik di antara Keduanya

3 4 0
                                    

"Awan, bukannya bentar lagi Riri ulang tahun?"

Shasha bertanya setelah masuk ke mobil Awan. Ini hari Jum'at. Minggu ini mereka hanya tinggal ulangan hari  ini dan besok. Setelahnya, hari Minggu libur dan Senin ulangan lagi.

Namun, setelah itu, class meeting dan pembagian rapor. Libur. Masuk-masuk langsung jadi kelas XII.

Mendengar itu, kening Awan terlipat sedikit, cowok itu membenarkan posisinya untuk menyetir mobil sebelum akhirnya menjetikkan jari. Dia baru ingat.

"Oh, iya!" Awan tersenyum cerah. Kebetulan, dia memang sudah mempersiapkan rundown pesta ulang tahun ke-tujuh belas Riri sejak lama.

"Nanti kita bahas lagi, Sha. Mudah-mudahan ini bisa buat Riri ceria lagi," balas Awan sambil tersenyum dan melajukan mobilnya ke sekolah.

Shasha tertawa. Matanya menatap Awan dengan tangan yang mengelusi lengan Awan yang sedang menyetir itu. Bibirnya sedikit maju. Merajuk. Lagi.

"Kamu mau apa, hm?" tanya Awan sambil menyandarkan kepala ke sandaran kursi mobil. Satu tangannya menyetel lagu di mobil.

"Alay! Hm hm kayak orang batuk!" balas Shasha kesal sebelum akhirnya Awan menjawil pipinya sebagai peringatan.

"Sebentar lagi ulang tahun aku juga, loh!" Shasha sok melotot. Menatap Awan sambil terus meneruskan 'akting' marahnya.

Awan tertawa. Satu tangannya dia dilepaskan sejenak dari kemudi lalu beralih mengelus rambut pacarnya itu.

"Iya-iya, nanti aku rayain juga. Mau kado apa?"

Shasha bertepuk tangan. Setelah menyebutkan semua yang dia inginkan dan dibalas oleh Awan oleh anggukan, cewek itu akhirnya diam.

Awan juga tidak banyak bicara. Pikirannya terbang entah ke mana. Melayang terbang dari mobil yang ayahnya hadiahkan saat diterima di SMA.

Melayang jauh ke sana. Ke kenangan yang dulu mereka bagi bersama.

-o0o-

"Pagi, Riri!"

Riri hanya mengangguk saat mendengar sapaan hangat dari Shasha itu. Cewek itu merapikan rambutnya, meletakkan tasnya lalu duduk diam. Berusaha menghapal rumus kimia.

Hidung Riri merah. Dia 'akhirnya' flu setelah beberapa hari terus diguyur hujan setiap harinya. Setiap hari hujan. Setiap hari Riri kehujanan.

Riri menghela napas saat mengusap hidungnya dengan tisu yang memang sengaja dia bawa dari rumah. Cewek itu duduk sebelum akhirnya menunduk lagi, membaca buku catatannya.

Ah, sepertinya si kutu buku itu sudah kembali ....

Awan hendak bangkit dari duduknya saat melihat Riri berdiam di bangkunya. Cowok itu mengulum senyum. Tangannya terkepal di depan perut.

Namun, Shasha menahannya. Tangan gadis itu menggenggam tangannya. Menahannya seolah jangan bergerak dari tempatnya sekarang.

Awan menatap Shasha dengan tatapan penuh tanya. Seolah dengan matanya itulah dia bertanya. Namun, cewek yang berstatus sebagai pacarnya itu hanya menggelengkan kepala. Bukan jawaban yang tepat untuk memenuhi pertanyaan Awan.

"Kenapa?" Awan akhirnya bertanya setelah merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan Shasha yang sedang duduk. Kening mereka berdua hampir beradu.

"Ya, gak papa?" Shasha tertawa lalu mengelus pipi Awan, "kamu kenapa kayak kesel banget gitu? Udah kangen banget sama Riri?"

Segera Awan menarik diri setelah mendengar ucapan Shasha itu. Tatapan matanya masih belum berubah, ada tanda tanya di sana. Namun, kali ini Awan diam.

Sorot matanya melayang jauh ke luar. Ke luar jendela kelas mereka. Ke arah segerombolan siswa-siswi lain di lapangan. Mendengarkan beberapa yang sudah berteriak karena gerimis mulai turun.

Helaan napas terdengar di sana. Shasha mengulum senyum lalu berdiri, menarik tangan Awan lalu berbisik ke telinganya walau harus berjinjit.

"Ayo kita prank Riri. Diemin aja dulu sampai hari Sabtu, deal?"

Awan menghela napas. Setelah menggerakkan lehernya untuk peregangan, akhirnya cowok itu mengangguk.

"Deal," katanya singkat dengan senyum aneh yang tidak Shasha tahu apa maksudnya.

-o0o-

Hari itu berakhir lebih damai daripada hari-hari sebelumnya. Tidak ada kebisingan, tidak ada kehebohan yang berlebihan.

Tadi Riri bertemu dengan Awan di depan kelas. Terlihat jelas dia sedang menunggui Shasha, tapi, tidak ada teguran ataupun sapaan. Riri diam. Pun dengan Awan.

Hari yang sunyi sekali ....

Riri pulang tanpa ada orang yang menegurnya. Seolah eksitensinya memang tidak ada dunia. Riri berjalan dalam diam. Seolah dia hanyalah karakter pembantu yang memang 'hanya' ditugaskan untuk berjalan.

Naik ojek ke makam Mama. Hari itu terlalu berjalan sesuai dengan keadaannya. Riri ziarah. Duduk dalam diam. Berdoa dalam hening.

Bahkan tak ada cerita untuk Mama ....

Riri menghela napas lalu bersandar ke nisan Mama. Hatinya sepi. Harinya hening.

Harinya kosong. Harinya hampa ....

Riri bahkan tidak tahu apa yang salah. Itu adalah bagian paling buruknya. Matanya terpejam, angin membelai pipinya, daun jatuh ke atas kepalanya.

Harusnya Riri bersyukur dan bahagia. Harusnya dia merasa senang karena akhirnya harinya 'normal' seperti yang seperti dia inginkan. Namun, kenapa rasanya kosong dan hampa?

"Mama ...." Riri memanggil lirih. Dia semakin tidak mengerti, "Harusnya Mama di sini, Ma ...."

Desau angin di pemakaman itu rasanya dingin. Riri mendongak ke atas. Beberapa detik kemudian, sesuatu dingin membasahi pipinya.

Riri tertawa lalu mengusap air matanya. Hatinya semakin tidak tenang setelah sadar yang ada di sana itu air mata.

Awan dan Shasha berbisik-bisik di belakangnya. Dia bingung dan tak tahu harus apa. Meski dia sudah bertekad, tapi, pada akhirnya dia kalah.

Dia tidak terbiasa didiamkan oleh Awan. Dia kesal dengan senyum Awan, tapi, sekarang Riri baru sadar kalau dia tidak membencinya.

Shasha memang berisik. Namun, sekarang dia sadar kalau mungkin, kehebohan itu yang ingin dia dengar.

Riri menangis lagi. Terisak-isak lagi.

Dia tidak tahu mau apa. Dia tahu harus apa.

Semuanya salah dan berantakan. Bahkan eksitensinya, terasa seperti kesalahan.

November Rainحيث تعيش القصص. اكتشف الآن