10. Awan Harsa Pratama

4 4 0
                                    

Teman dekat sejak kecil. Cinta pertama Riri kepada laki-laki seumurannya.

Riri menangis terisak-isak di kamarnya yang syukurlah sudah dipisah dengan Dea itu. Remaja tanggung itu meremas sarung bantalnya, membiarkannya sepenuhnya basah oleh air mata.

Masa-masa SMA-nya adalah mimpi buruk paling nyata. Kenyataan yang selalu ingin Riri sangkal sepanjang hidupnya.

Mamanya meninggal, apa lagi?

Papanya menikah lagi, lalu bisakah itu menjadi lebih kacau?

Ibu dan saudari tirinya gila. Riri ditampar dan kehilangan kesabaran. Apa masih belum cukup?

Kali ini, dia juga bertengkar dengan Papa. Luar biasa?

Lalu juga, cinta pertamanya?

Riri refleks menendang bantal lalu memukuli kasurnya. Perasannya kacau tak keruan. Kecut. Masam. Semuanya benar-benar tidak enak.

Kacau berantakan.

Tahu begini, Riri tidak akan sepenuhnya protes sama Mama mengajarinya makan lemon dulu. Ternyata benar, masih lebih asam lagi kehidupan.

Hujan masih turun dengan derasnya di luar sana. Beberapa tetesnya ikut jatuh ke kamar Riri, membasahi beberapa bukunya.

Jadilah gadis itu dengan malas-malasan bangun dari ranjangnya. Sedikit tergesa saat merapatkan tirai dan jendela kamar.

Namun, sesuatu yang ditangkap oleh retina matanya di detik-detik terakhir sebelum tirai itu sedikit menyakitkan. Riri melebarkan pupilnya sebelum akhirnya kembali melebarkan tirainya.

Awan mencium kening Shasha sebelum mengantarnya masuk ke mobil dan mengantarnya pulang di tengah hujan. Di depan mata Riri yang tanpa sengaja melihatnya.

Riri terduduk lemas di atas lantai kamarnya saat melihat itu. Seharusnya, itu bukanlah sesuatu yang mengagetkan, kedua berpacaran. Hal itu seharusnya sudah biasa.

Seharusnya ....

Riri menenggelamkan wajahnya ke kasur sementara tubuhnya masih terduduk di atas lantai. Tangisannya semakin keras saja.

Kenapa, sih?

"Kenapa, sih, gue apes banget sama semuanya sekarang?" Riri merintih lalu memeluk boneka pemberian mamanya dulu, tubuhnya sedikit gemetar saat kembali menggerutu.

Dia kesal sekali.

Dulu semuanya seolah sangat mudah dia dapat. Keluarganya harmonis dan Riri juga anak yang pintar. Dia memenangkan beberapa perlombaan dan berteman baik dengan Awan.

Bukankah semua itu indah? Kenapa harus berakhir sekarang?

Manusia yang serakah. Memang tidak pernah ingin semua yang menguntungkan baginya berakhir dengan segera.

-o0o-

"Ganish, kamu lagi ngapain?"

Riri mendongak saat mendengar suara itu. Tak lama kemudian, senyumnya langsung mengembang saat tahu siapa yang memanggilnya begitu.

"Awan!"

Awan di sana, tersenyum dengan cerahnya. Tak salah waktu itu Bunda memberinya nama 'Harsa' yang berarti keceriaan. 

Awan yang waktu itu masih sangat dekat dengannya. Awan yang selalu menyapanya dan bergandengan tangan pulang-pergi sekolah.

Awan yang masih mengenakan seragam putih-biru dan berbagi bekal dengannya. Bermain setiap pulang sekolah dan belajar bersama.

Salahkah Riri menaruh hati setelah sekian waktu yang telah mereka lalui bersama?

Semuanya. Mereka sahabat dari kecil yang 'tanpa sengaja' juga satu kampung. Mereka lahir berdekatan, hanya beda satu bulan saja. Mereka juga yang sering bisa 'membaca' pikiran satu sama lain.

Riri sudah sangat terbiasa dengan adanya Awan. Terbiasa dengan mereka yang selalu bersama.

Cinta tumbuh karena terbiasa katanya. Sepertinya kali ini itu benar. Waktu yang terus-terusan bersama itu yang membuat Riri jatuh cinta.

"Ri, mau jajan gak? Awan jajanin," tawar Awan sambil menyombongkan uang sakunya yang baru diberi.

"Mau dong, mau! Nanti langsung Riri buat bangkrut, deh!" balas Riri sambil tertawa jahil dan berlari ke kantin.

Awan yang tidak terima berteriak lalu berlari menyusul. Mereka kejar-kejaran lalu dimarahi guru.

Sekaku apa pun Riri dengan orang baru, dia tidak akan pernah begitu dengan Awan. Hanya Awan saja.

-o0o-

"Awan, hujannya deras banget."

Riri mengeluh setelah mereka berlari dari depan sekolah ke halte di dekat sana. Seragam mereka sudah setengah basah, tapi, hujan belum juga menunjukkan tanda-tandanya untuk berhenti segera.

Awan terlihat celingukan. Orang tua mereka sudah bilang kalau ada acara kantor yang cukup penting hari ini dan meninggalkan mereka untuk pulang sendiri hari ini.

Biasanya memang tidak apa-apa, ditinggali supir pun terkadang Riri dan Awan lebih suka jalan kaki. Kata Bu Guru, memang lebih baik begitu kalau rumahnya dekat, hemat bensin juga.

Kalau versi Awan dan Riri, sih, karena sekalian pulangnya bisa jajan. Jajanan pinggir jalan lebih enak dari kantin sekolah. Valid no debat!

Namun, hari itu hujan turun deras sekali. Orang tua mereka tidak menjemput dan kemungkinan terbesar supir pun tidak akan datang. Awan menggaruk tengkuk kepalanya, memaksa untuk berpikir.

Tak lama kemudian, cowok yang masih SMP itu mengambil langkah yang lumayan nekat. Dia mengambil jaketnya lalu jas hujan tasnya dan memberikannya kepada Riri.

"Riri pakai aja. Nanti sakit. Awan gak papa."

Setelahnya, mereka benar-benar berlari menembus hujan. Awan menggenggam tangan Riri erat. Tidak melepaskannya sedikit pun karena takut Riri terpeleset di jalan yang licin.

Sesampainya di rumah, keduanya basah kuyup. Setidaknya kepala dan badan Riri tidak terlalu karena terhalang oleh jas hujan tas dan jaket Awan.

Namun, cowok itu sendiri bersin-bersin setelah sampai rumah. Orang tua mereka bertanya kenapa tidak menunggu hujan reda, keduanya hanya meringis saja.

Setelahnya, Awan tidak masuk tiga hari karena sakit. Riri merasa bersalah sekali.

Namun, Awan tidak marah. Dia hanya tertawa lalu bilang kalau dia beruntung karena bisa melewati pelajaran matematika minggu itu tanpa belajar. Dia juga belum buat PR.

"Gak papa, toh udah sembuh juga. Kan, kalau Riri yang sakit sembuhnya lama." Begitu katanya waktu itu sambil tersenyum memperlihatkan senyum gingsulnya.

Tes!

Riri mengusap air mata yang jatuh ke pipinya setelah mengingat hal itu. Hatinya kembali berdenyut sakit.

Kalau saja Awan tidak sebaik itu, Riri pasti tidak akan se-menderita ini untuk melupakannya.

November RainDonde viven las historias. Descúbrelo ahora