2. Mama dan Hujan

28 15 39
                                    

"Ganisha, anaknya Mama, anak Mama yang paling pinter!"

Riri kecil tertawa terbahak-bahak. Bunga yang dia buat dia pakaikan ke atas kepala Mama, setelah itu, Mama menggendongnya berputar-putar, tertawa kencang bersama.

"Ganish, bunga punya Awan mana?"

Awan kecil merengek tidak terima. Seperti anak kecil pada biasanya, cemburu dengan apa saja yang orang lain terima sementara dia tidak.

"Bunga punya Awan? Mana yaa?" Riri tertawa menggoda, tidak terima untuk turun dari gendongan mamanya sekarang, membiarkan Awan merengek dan menangis di bawah sana.

Sampai, Mama dengan paksaan menurunkan Riri. Menyuruhnya untuk membujuk Awan yang sudah tersedu-sedu karena tidak diberikan rangkaian bunga juga.

Riri masih ingat bagaimana rasanya, bagaimana Mama dengan lembut menenangkannya. Bagaimana lucunya Awan dulu dan seberapa dekat mereka dulu.

Dulu ....

Riri semakin terisak-isak. Air matanya turun semakin deras dengan semesta yang seolah-olah ikut mengolok-oloknya dengan hujan yang deras.

Mama ... sekarang Riri harus bagaimana?

-o0o-

Riri turun dari ojek setelah sampai di TPU yang dimaksud. Tempat di mana Mama sudah dikebumikan, tempat di mana hanya di sini Riri bisa pulang sepuasnya.

Tukang ojek itu menolak uang sepuluh ribu yang Riri berikan. Pria paruh baya untuk mengembalikan uang Riri lalu berganti menatapnya dengan lembut.

"Dek, kehilangan itu tidak akan pernah menjadi sesuatu yang mudah. Ikhlas itu bohong, mungkin memang iya." Tukang ojek itu menyerahkan uang Riri kembali lalu menahannya di tangan Riri, menggenggamnya dengan sedikit kuat.

"Selamanya, kita mungkin gak akan pernah sepenuhnya menerima apa yang sudah direnggut dari kita, meski sebenarnya, sesuatu itu tidak pernah menjadi milik kita sepenuhnya."

Setelah itu, pegangannya terlepas. Tukang ojek itu menyalakan kembali motornya dan berjalan dengan perlahan. Menembus rinai hujan, yang seolah tidak akan pernah reda.

-o0o-

Jika ditanyakan apa lagi yang harus dilakukan setelah dunia hancur luluh lantak, hanya akan ada dua kemungkinan. Jawaban kocak untuk menghibur atau jawaban realistis yang 'memaksa' kita untuk berlari lagi, untuk menjalani hari lagi.

Namun, bagaimanakah lagi caranya berlari jika kita bahkan sudah tidak punya kaki?

Mungkin jawaban yang akan muncul adalah menggunakan kursi roda, atau malah merangkak. Sebenarnya, semua masih bisa, asal ada kemauan.

Namun, Riri kemudian merasa, atau malah baru menyadari, bahwa dia sudah tidak punya lagi kemauan untuk hidup. Kemauan untuk berjuang.

"Mama ... Riri kangen ...."

Apalah arti sebuah perpisahan? Apalah makna kehilangan? Kenapa manusia harus mengalaminya?

Kenapa mereka bilang manusia harus merasakan sakit dan pedih terlebih dahulu untuk menjadi kuat? Kenapa kita tidak bisa hidup bahagia tanpa luka?

Apa karena kita manusia?

Apa karena kita manusia, jadi kita perlu untuk merasakan semuanya? Apa jika kita hanya seonggok bunga yang terbang jika ditiup, kita tidak perlu merasakannya?

Kenapa ... Tuhan ... kenapa harus ada kematian?

Hidup dan kematian. Dua sisi yang saling beririsan. Dua sisi yang akan selalu ada di hidup manusia. Kenapa mereka harus ada?

Riri mempertanyakan semuanya. Kenapa dia harus diciptakan, kenapa dia terlahir di dunia, kenapa dia kehilangan semuanya.

Kenapa kita ... terkadang harus menjadi sangat menderita?

Riri menangis dan meraung semakin kencang. Dipegangnya nisan mamanya itu sambil mengeluarkan semua isi hatinya.

Terkadang, orang-orang perlu menjadi gila untuk tetap waras.

-o0o-

"Mama, Awan jahat. Awan ingkar janji. Awan gak jagain Riri untuk selamanya."

Setelah lelah menangis meraung-raung, Riri berpindah posisi, dia terduduk di sebelah makam mamanya. Tidak peduli dengan hujan yang semakin deras mengguyur tubuhnya, tidak peduli dengan seragamnya yang semakin kotor berantakan karena lumpur dan tanah.

Sesuatu yang ada di hati Riri sekarang hanyalah kesakitkan. Sakit karena tidak bisa menerima, protes dengan kehendak langit dan Tuhan.

Kata mereka, ada beberapa fase dalam kehilangan. Denial, anger dan yang terakhir ... acceptance.

Fase menolak, fase marah, baru fase penerimaan. Namun, tidak ada yang bisa menjawab, kapankah 'kita' bisa sampai ke fase yang terakhir? Fase penerimaan?

Riri sudah muak. Berbulan-bulan dia tidak bisa lepas dari kemelut sedih dan kemarahan. Berbulan-bulan dia berjuang sendirian, tetapi, tidak ada tenang yang menghampirinya, tidak ada ikhlas yang datang padanya.

Apakah waktunya kurang?

Namun, bukankah orang yang sudah ditinggal bertahun-tahun masih merasakan sakit yang teramat sangat? Bukankah waktu juga bukanlah jaminan? Bukankah kata salah satu temannya yang sudah lebih dahulu ditinggalkan ayahnya, sakit ini akan bertahta selamanya?

Abadi dalam dirinya. Terukir dalam setiap tulangnya, mengalir dari setiap darah bersamaan dengan setiap sel-selnya. Rasa sakit itu hidup dalam dirinya, berdetak seirama dengan jantungnya.

Rasa sakit itu selamanya.

Riri berusaha untuk berdiri walau kakinya sudah mati rasa. Matanya merah seperti buah naga, Riri berjalan oleng di tengah hujan yang malah semakin deras.

Dia buta waktu dan arah. Langit yang gelap ini sama sekali tidak menjadi petunjuk untuknya, Riri tidak tahu ini jam berapa dan kapan waktu malam akan tiba. Semuanya gelap. Semuanya hujan.

Namun, setelah dia berjalan beberapa langkah, Riri menemukan sebuah payung dengan tulisan di bagian gagangnya yang sudah sedikit pudar karena hujan. Riri berjongkok dan mengambilnya.

Untuk siapa pun yang nemuin payung ini, tolong pakai. Pake payung ini biar lo gak sakit.

Riri celingukan saat mencari siapa yang sudah menaruh payung itu. Namun, hasilnya nihil, tidak ada siapa-siapa di sana.

Riri berjalan sedikit lagi, saat keluar dari TPU dengan tampilan seperti gembel itu, tukang ojek yang tadi mengantarnya tadi sudah ada di sana. Tersenyum riang menyapanya.

"Dek, ayo Mamang antar pulang!"

November RainWhere stories live. Discover now