13. Ulang Tahun Riri

4 2 0
                                    

Waktu berputar dengan cepat. Tidak ada yang tahu besok akan seperti apa, tidak ada pula yang ingat betul hari kemarin berakhir bagaimana.

Waktu itu statis. Tidak pernah tetap dan selalu berubah-ubah. Terkadang waktu berjalan dengan lambat, seolah meminta kita untuk membimbing jalannya. Namun, terkadang pula, waktu berjalan dengan sangat cepat. Ngebut tidak terkira. Seolah-olah kita tertinggal darinya.

Seolah-olah kita tenggelam di dalamnya.

Tahu-tahu waktu sudah berputar saja. Menuju tiga terakhir ulangan semesteran. Riri membuka mata dan mendapati dirinya di seragam pramuka, ciri khas dari Sabtu yang semoga ceria.

Sejak kapan sudah Sabtu?

Waktu berjalan dengan cepat untuk kali ini. Tujuh hari dalam seminggu seolah sudah tak punya harga diri. Jam demi menit seolah berlari. Memaksa dan mencambuk manusia agar mengikuti.

Riri mematut diri di cermin. Rambutnya sudah lumayan panjang lagi sampai melewati alis. Hari ini dingin, sepertinya petualangannya menuju sekolah akan ditemani hujan lagi.

Hujan lagi. Hujan terus. Hari ini hujan. Kemarin hujan. Semoga saja besok tidak hujan.

Riri merapikan dasi yang melilit di lehernya. Mengambil kacu, melipatnya lalu memakainya.

Hari ini hari terakhir ulangan di minggu ini. Besok libur. Senin lanjut lagi. Selasa adalah hari yang benar-benar terakhir.

Sudah terlambat untuk memperbaiki nilainya yang asal-asalan kemarin.

Sudah dipastikan, juara satu di semester ini bukan dia lagi.

-o0o-

Saat menginjakkan kaki di halaman sekolah, Riri disambut dengan siswa-siswa yang mondar-mandir ke sana ke mari. Memakai kacu dan kalung nomor. Seragam Pramuka yang bahkan sudah kucel padahal baru masuk.

Langkah kakinya berat. Malas melangkah dengan pundak yang tak kalah pegalnya. Mata Riri sayup, lemah membuka.

Untung tidak merah lagi.

Shasha dan Awan ada di sana. Bercengkrama dengan akrab sambil membawa buku pelajaran. Berdua. Akrab mesra dengan sekeliling yang sangat mendukung mereka.

Awan bersandar ke dinding dengan Shasha di depannya. Tersenyum tipis sambil sesekali mengecek buku catatannya.

Shasha terlihat menghafal. Mulutnya komat-kamit. Sesekali marah karena salah menyebutkan sesuatu. Terlihat Awan yang sesekali mencubit pipi kekasihnya itu saat ada yang Shasha lupakan.

Ulangan prakarya dan penjaskes.

Mata pelajaran yang sempurna untuk hari Sabtu yang santai. Riri mengulas senyum tipis saat melewati mereka berdua. Hanya senyum. Tanpa kata.

Pertemuan yang dingin dan memuakkan.

Tak ada lagi Awan yang heboh memanggilnya 'Ganish' dan panik menghafal. Tak ada pula Shasha yang repot bolak-balik di hadapannya. Berceloteh asal-asalan. Berisik segala ada.

Hening.

Riri meletakkan tasnya. Kepalanya tengadah ke atas. Air mata ada di sana.

Air mata yang nyaris keluar.

-o0o-

"Selamat ulang tahun, kami ucapkan."

Riri tertawa bahagia. Nyanyian Awan yang paling keras di sana. Cowok itu mengenakan baju kuning mentereng, bernyanyi dan bertepuk tangan paling kencang. Berdiri tepat di samping Riri.

"Selamat panjang umur, kami doakan."

Nyanyian Awan semakin keras saja. Riri memegang tangannya, kode ringan untuk berhenti mempermalukan diri sendiri dan juga orang lain.

Namun, Awan hanya bereaksi ringan terhadap peringatan kecil itu. Bocah kecil bandel itu hanya tertawa, lantas melanjutkan apa yang menurutnya menyenangkan

Ah, memangnya sejak kapan Awan menurut?

Bahkan setelah bundanya menegur, setelah ayahnya melotot, Awan akan terus menjadi Awan. Tidak peduli. Seolah dia hidup dengan aturannya sendiri.

Dari dulu, Awan memang seperti itu.

Awan Harsa Pratama. Awan dengan nama 'kebahagiaan' di tengahnya. Awan yang akan selalu bahagia, dalam harapan Riri bertahun-tahun lamanya.

-o0o-

Selesai ujian.

Riri bangkit lalu menyerahkan kertas ulangannya. Suara derap sepatu pantofel-nya menggema di ruangan sunyi itu.

Riri yang pertama selesai.

Pengawas ujian itu menatapnya dengan tatapan curiga saat dia selesai duluan, Riri menghela napas. Kenapa coba pakai acara curiga segala?

Hari ini, kan, dia belajar. Sungguh-sungguh benar menghafal bolak-balik kedua pelajaran yang memang butuh basic menghafal yang kuat.

Riri melotot, dia tidak suka diremehkan seperti itu. Jadilah dia dan pengawas itu adu mata untuk sebentar.

Tak lama kemudian, pengawas itu menyerah, mengambil kertas Riri lalu membiarkannya pulang. Riri tersenyum menang di dalam hati.

Tanpa ia ketahui, Awan dan Shasha langsung ketar-ketir.

-o0o-

"Riri tadi pergi ke mana? Ada yang liat Riri gak?"

Awan sampai di depan gerbang sekolah, deru napasnya tidak beraturan. Berkali-kali dia toleh sana toleh sini, bertanya kepada siswa lain kalau-kalau ada yang melihat Riri.

Sementara, Shasha di kelasnya langsung panik. Cewek dengan rambut diurai itu langsung 'nembak' jawaban, B semua diisinya yang belum terisi, untung esai tadi sudah dikerjakan duluan.

Lari ke depan kelas, mengumpulkan jawaban lalu mengambil tas. Lari lagi ke luar.

"Awan!" Shasha berteriak sambil berlari ke arah gerbang, rambut ikalnya bergoyang-goyang, "Riri mana?"

Awan menggeleng, tapi, kunci mobil sudah ada di tangannya. Cowok itu menatap ke arah Shasha lalu mengangguk, seolah-olah itu adalah kode yang sudah mereka pahami sebelumnya.

"Kejar?" tanya Shasha seolah memastikan.

Awan mengangguk, "Ganish jalan kaki, kita santai aja."

Shasha manggut-manggut saja, tapi, belum ada beberapa langkah gadis itu berjalan, terlihat sosok lain berambut pendek planga-plongo mencari sesuatu. Shasha mengerutkan kening, lalu menunjuk ke arahnya.

"Itu Riri!"

Awan tersenyum senang. Cowok itu menggandeng tangan Shasha lalu berteriak ke arah sahabat kecilnya itu sambil memamerkan gantungan kunci sebagai hadiahnya.

"Selamat ulang tahun, Riri!"

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang