8. Riri dan Papa

7 3 0
                                    

"Pa, Papa ada di rumah?"

Riri baru saja kembali dari makam Mama bersama Awan dan Shasha. Mereka kembali dengan mobil Awan. Namun, seperti biasa alasan klise itu keluar.

"Salam sama Papa, Ri, bilang gue gak bisa mampir." Kata-kata Awan yang sudah terus diulanginya selama beberapa minggu terakhir.

Pintu kamar itu berderit saat Riri mengetuk dan tidak sengaja mendorongnya. Gadis itu menghela napas. Kenapa rumahnya sepi sekali?

Sejak dia pulang sekolah tadi seolah tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Kosong. Seolah memang tidak pernah ditinggali.

Syukurlah perabotan masih ada di sana, jika tidak, Riri pasti sudah berasumsi kalau mereka pindah lagi. Namun, kali ini, mungkin saja dia tidak ikut diajak.

Ayu dan Dea pun sama saja heningnya. Meski Riri baru saja sadar Dea tidak masuk sekolah karena 'katanya' dia sakit semua karena kemarin 'disiksa' oleh Riri.

Gadis itu kembali menghela napas. Sebal. Mama meninggal dan semua yang dilakukan oleh papanya adalah membuat hal semakin buruk dan rumit.

Riri terduduk di atas sofa ruang tamu mereka. Tubuhnya lelah, tapi, dia hanya ingin berbicara terlebih dahulu dengan papanya. Ada banyak hal yang perlu mereka diskusikan sebagai seorang ayah dan anak.

Riri menutup matanya dengan telapak tangan saat menyadari seberapa besar tahun ini mengubah ia dan papanya. Absennya Mama dari hidup mereka ternyata benarlah sebuah neraka.

Papa stress. Riri tahu betul itu. Papa sangat mencintai Mama. Riri juga sangat tahu itu sejak dia bisa melihat. Papa sangat terpukul dengan kepergian Mama.

Walau Papa menikah lagi, walau Papa berusaha sekuat mungkin untuk pergi, Riri tahu itu semua karena Papa tidak kuat menahan sakit. Papa tidak bisa berduka sepanjang hari.

Image Papa yang dulu sangat kuat dan tangguh selayang sudah rusak berantakan. Hancur lebur membaur dengan tanah.

Melebur dengan bayangan tentang Mama.

Mamanya adalah sosok yang hebat. Riri akan terus memujinya sepanjang hidupnya. Mama pandai memasak dan penyayang, Mama bekerja, tapi juga tidak membuat Riri kesepian.

Mama merancang rumah mereka, setiap sudut demi sudutnya. Mama memberikan detil yang hebat di rumah lama mereka, membuat Papa dan Riri selalu rindu untuk pulang.

Mungkin ... itulah alasan Papa untuk segera pindah. Tidak tahan dengan kenangan tentang Mama.

Mama dan kepergian memang menyakitkan. Riri setuju kalau berduka seumur hidup mereka saja masih akan kurang.

Namun, tidak bisakah Papa hidup dengan luka itu saja seperti Riri? Apa Papa benar-benar perlu menikah lagi dengan sosok tidak jelas seperti Ayu?

Tidak bisakah mereka bercerai saja?

Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Riri seperti gasing. Gadis itu melemparkan salah satu bantal sofa dengan asal lalu kembali menggerutu.

Kepada siapa dia harus mengadukan takdir yang sangat tidak sempurna ini?

Tidak lama kemudian bel berdering. Riri sontak bangkit dari tempat duduknya. Tak lama kemudian, pintu depan terbuka dan Papa ada di sana.

Papa berantakan. Dasinya kendor dan kemejanya kusut. Seumur hidup Riri, tak pernah ia melihat papanya begitu.

Papanya selalu keren setiap akan pergi maupun pulang kerja. Walaupun kadang 'sedikit' berantakan, tapi, biasanya tak sampai separah ini.

Apakah ini karena raut wajahnya?

Papa terlihat lelah luar biasa. Seolah dia harus membayar hutang besok pagi padahal uangnya belum disiapkan sama sekali.

"Pa?" Riri berdiri, tapi, kakinya membatu. Dia tidak berani mendekat.

"Riri nyariin Papa?" Nada suara pria paruh baya itu serak dan parau. Ini seperti Papa sudah lebih tua tiga puluh tahun lebih dari usia aslinya.

"Mau Riri ambilin minum?" tanya anak gadis itu basa-basi. Berusaha mengalihkan topik dari keadaan sang ayah.

"Gak. Gak usah, Riri duduk aja," balas papanya lalu mengambil tempat tepat di seberang Riri. Menatapnya dalam.

"Kenapa?"

Suara Riri kelu. Dia tidak tahu harus berkata apa. Suaranya tercekat di tenggorokan. Tersangkut di langit-langit lidah.

Rasanya aneh dan sangat canggung.

Sudah berapa lama dia dan Papa tidak duduk bersama seperti ini? Sudah berapa lama dia dan Papa tidak saling mendengarkan setelah Mama meninggal?

Sudah berapa lama....

Riri menangis sesenggukan. Perasaannya bercampur aduk tak keruan. Hatinya sakit. Dadanya sesak.

Semuanya jadi sangat memusingkan.

Papanya di depan sana hanya terdiam membisu. Tak angkat bicara. Tak bergerak mencoba menenangkan. Riri kalah oleh kemelut perasaannya sendiri. Menangis meraung-raung seperti anak kecil.

"Papa ... kenapa kita jadi kayak gini, Pa??" Riri menangis histeris. Semakin lama dia tahan, semakin sering dia berkunjung bolak-balik ke makam mamanya, semakin sakit yang ia rasa.

Jika ia kembali bertanya, Kepada siapa dia harus mengadukan takdir yang sangat tidak sempurna ini? Mungkin jawabannya adalah Papa, Papa yang juga mendapat luka yang sama besarnya seperti dirinya.

Riri mungkin juga tidak akan pernah mengerti kenapa Papa harus menikah dengan Ayu. Kenapa Riri harus mempunyai saudara seperti Dea. Kenapa keluarga mereka harus begini juga pada akhirnya.

Namun, Papa juga mungkin tidak akan pernah paham kenapa Riri bolak-balik ke makam Mama. Mengapa Riri mengambil jarak dari Awan dan Shasha. Kenapa Riri mundur dari semua yang disukainya.

Kenapa mereka yang terdesak, justru mengambil langkah gegabah yang membuat mereka semakin terluka.

Riri semakin terisak. Hatinya sakit luar biasa. Dia ingin lari, dia ingin berteriak. Dia ingin menyalahkan Papa atas semuanya.

Namun, melihat papanya sekarang, Riri baru sadar tentang apa itu 'cerai mati' tentang sakitnya. Tentang putus asanya. Diceraikan oleh semesta tanpa bisa menolak.

Papa, ternyata juga sangat menderita.

"Pa, Riri capek Pa ...."

November RainWhere stories live. Discover now