Tangisan ketiga

49 7 0
                                    

-----------------

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.

-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-

Happy Reading......

Setelah dokter memeriksa dengan benar, dokter itu menarik kain putih ke wajah Chandra. Widya yang melihat ini berteriak tak karuan, ia menjerit-jerit dan menangis kencang.

"DOKTER! BALIKIN! BALIKIN CHANDRA KE SAYA DOKTER! JANGAN TUTUP DIA DOKTER! CHANDRA MASIH HIDUP DOKTER-" Jerit Widya, di sisa-sisa suaranya yang serak, ia menangis sesenggukan ketika Chandra dipindahkan keruang mayat. Runtuh sudah ketahanan Widya.

*Rabu, 2020*
Pagi itu di dunia lain mungkin sedang berbahagia, di daerah lain mungkin ada yang sedang merayakan ulangtahunnya, atau ada yang sedang syukuran, mungkin ada yang sedang dikejar deadline tugas yang terus menumpuk, mungkin ada yang sedang mengakhiri hidupnya.

Namun Widya sudah setia menunggu dimakam Chandra, matanya sangat sembab, bahkan pandangannya pun sudah tidak berarah.

Haidar melihat makam adik tersayangnya itu. Ia mengusap makam Chandra dan mencium batu nisannya.

"Pergi lo kejauhan Chan, bukannya lo janji bentar lagi mau nikah, lo bilang itu tiga bulan yang lalu, dan sekarang apa Chan." Chandra berusaha tegar di depan semua orang, ia ingin sekali menangis, tidak adil sekali semesta, membawa Chandra sejauh ini.

Jenin menenangkan Haidar, ia melihat Widya yang benar-benar lelah dan kehilangan arah. Jenin bergegas memeluk Widya.

"Ikhlasin, Chandra juga pasti gak mau liat kamu kaya gini, kamu harus bahagia." Ucapnya pelan, Widya mengangguk dan menangis sangat kencang, ia benar-benar tidak ingin kehilangan Chandra.

Satu persatu mulai meninggalkan makam, Babeh Johsua yang daritadi menahan tangisnya, ketika sendirian akhirnya ia menumpahkan segala kesedihannya. Mamah Iis pun, berusaha mengikhlaskan kepergian anaknya. Ia melihat bayang-bayang putih, yang sedang memeluk erat Widya. Mamah Iis tersenyum. 'Nak, sungguh kamu tidak pernah memilih wanita yang salah.'

Widya diantar oleh Hadir, Widya tak lupa mengucapkan terimakasih karena telah mengantarkannya pulang. Haidar pamit, dan dirumah itu hanya ada dirinya sendiri dan foto indah bersama Chandra. Ia melihat setiap foto yang dipasang dibingkai, rumah ini adalah rumah yang akan ditempati untuk mereka berdua.

Ia masih ingat setiap perkataan Chandra.

'Chan, jangan beli dulu, bisa tahu kita gak jadi nikah.'

Chandra terkekeh pelan, ia memeluk Widya dan mengucapkan kalimat pelan.

'Aku bakal nikahnya sama kamu, kalau emang suatu hari nanti kita gak jadi nikah, atau tiba-tiba aku pergi dulu, rumah ini khusus buat kamu tinggalin ya.'

Widya langsung menangis mengingat hal itu, benar saja sekarang dirinya sendiri tak ada siapapun. Tak ada Chandra yang selalu menemaninya masak, berbelanja, tak ada.

"Gimana aku bisa ngelupain kamu Chan. Aku gak bisa, gak akan pernah bisa." Tangisnya, Widya benar benar menangis di setiap momen itu, ia meluapkan segala amarahnya. Kepada Semesta, kepada takdir kepada foto yang sangat indah itu.

Rachel hanya melihat di jendelanya, ia menangis melihat Widya ternyata bisa seperti itu. Widya adalah gadis ceria tak pernah sekalipun ia merengek atau menangis, namun hari ini, ia benar-benar menunjukkan segalanya.

Ia bergegas kerumah sakit, menjenguk Jerom, dengan wajah kusut dan mata sembab, ia menangis, ia takut Jerom juga akan bernasib sama seperti Chandra.

"Jangan ninggalin gue Je, jangan ninggalin gue kaya Chandra ninggalin Widya."

******
Desiran ombak yang menenangkan hati, anak kecil menabrak perempuan itu, ia hanya cengengesan dan meminta maaf, dan melanjutkan memainkan pasir. Perempuan itu hanya melihat anak kecil itu memainkan pasir. Ia memainkannya dengan sangat serius, wajahnya yang imut membuatnya terlihat lucu. Tiba-tiba saja mainan pasir yang sedang dibangunnya ditendang oleh orang aneh.

Anak kecil itu menangis, ia hanya melotot tak berani membalas, anak yang tadi menjatuhkan pasirnya tersenyum penuh kemenangan.

"Huh, payah gitu doang nangis." Kata anak lelaki itu.

Perempuan itu ingin menghentikannya namun ada anak kecil yang berlari sangat kencang dan menendang anak lelaki itu.

"Payah, gitu doang nangis." Balas anak kecil itu sambil menatap anak kecil yang tadi menangis, Anak kecil yang menangis adalah Jerom dan yang menenangkannya adalah Rayhan.

"Aduh Abang, gapapa kan?" Tanya seorang wanita paruh baya, ia menegur anak lelaki itu dan menjewer telinga Rayhan. 'ah.. ampun Mah' Jerit Rayhan merintih kesakitan.

"Bagus, tapi kekerasan bukan jawabannya Rayhan." Jawab ibu paruh baya itu yang tak lain adalah Mamah Iis. Rayhan hanya mengusap telinganya perlahan.

"Habisnya, dia gangguin Jerom lagi main pasir, Abang gak suka liat Jerom tadi nangis, Abang aja gak pernah bikin Jerom Nangis." Bela Rayhan, yang membuat perempuan ini kebingungan, kenapa ia melihat flashback Jerom.

Mereka semua melihat kearah perempuan itu, ya benar perempuan itu adalah Rachel, ia benar benar bingung kenapa berada disini. Hanya mundur satu langkah saja, ia didekap oleh Jerom yang telah dewasa. Ia berbalik badan dan menangis sambil memeluknya.

"Kamu kangen aku ya " ucap Jerom sembari membalas pelukan Rachel.

"Iya, makanya cepet bangun Je"
Jerom diam, ia tak menjawab, ia melihat kearah laut sambil tersenyum dan memeluk Rachel lebih lama lagi.

Jerom melepas pelukannya dan menyuruhnya duduk dipasir yang nyaman ini. Ia mengelus kepala Rachel dan sama-sama memandang terbenam matahari, sangat indah.

"Lautnya indah bukan?" Tanya Jerom, matanya tak sedikitpun teralih ke arah matahari itu. Senyumannya sedikit sayup.

"Indah, bagaikan laut itu ingin sekali melahap matahari itu sampai padam." Jawab Rachel dengan tatapan sendu. Ia benar-benar tidak menikmati laut ini. Karena dalam lubuk hatinya ia tahu. Ini bukan kenyataan, Ia tak ingin kehilangan Jerom, karena itu ia terus menggenggam tangan Rachel sangat kuat, membuat sang pujangga sadar akan lamunannya.

Jerom melirik Rachel, ia terkejut melihat raut wajah Rachel yang sedih, matanya sudah berkaca-kaca.

"Tolong, Je, bangun, bangun kesayangan Rachel."

Jerom terkejut, matanya bulat sempurna, ia tersenyum sangat tulus dan memeluk Rachel kembali.

"Sayang, bangun, aku udah bangun daritadi, buka mata kamu."

****

Rachel tersadar dan melihat Jerom yang sudah bangun sambil tersenyum, Rachel langsung memeluk Jerom, Jerom yang nyata telah bangun, Jerom tidak meninggalkannya seperti Chandra meninggalkan Widya. Ia menangis dan bersyukur, Tuhan masih baik kepadanya. Mamah Iis ikut tersenyum, Jerom memeluk Rachel lebih erat membiarkan kekasihnya menangis sepuasnya dalam pelukannya.

Untuk langit dari Ketujuh SamudraUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum