what I wish just one person would say to me

1.8K 253 26
                                    

Love is just a made up bullshit people commercialized to sell romance books.

Itu yang ada di pikirannya hingga beberapa bulan yang lalu jika ditanya tentang cinta.

Yang ia tahu, cinta hanyalah jebakan, memaksa untuk berangan-angan tinggi tentang seseorang hanya untuk dibiarkan terombang-ambing terbawa arah angin kemudian. Atau cinta juga bisa datang seperti hujan deras di musim panas — menyusup, menusuk, pengap hingga menyisakan sedikit ruang untuk bernafas. Dan dari sekian banyak perumpamaan yang dapat ia pikirkan, Heeseung bisa menarik satu kesimpulan perihal cinta, yaitu dirinya sudah terlalu tua untuk lagi-lagi dibodohi masalah percintaan.

Sudah terlampau banyak mimpi Heeseung yang dirampas paksa olehnya dan tidak pernah kembali. Jika ia dapat berpikir secara logis, Heeseung tahu ia tidak seharusnya mencinta lagi. Heeseung tahu ia seharusnya menolak. Jika ia tahu sifat dasar manusia adalah menyakiti apapun yang disentuhnya, maka seharusnya Heeseung sadar kalau ia tidak boleh mencintai siapapun lagi — demi orang lain, demi dirinya.

Atau mungkin bisa jadi Heeseung sendiri juga tidak begitu paham dengan konsep cinta. Karena nyatanya cinta bisa datang dalam seribu bentuk yang tersembunyi dan sifatnya menipu. Nyatanya, persepsi buruk akan cinta yang ada di kepalanya sedikit demi sedikit hilang sejak ia bertemu dengan Jake, jauh lebih cepat daripada yang ia kira.

Perihal cinta, mungkin Jake kelihatannya lebih mengenal cinta daripada dirinya. Mungkin sedari awal ia seharusnya membiarkan manik coklat nan besar itu menatapnya, membiarkan tangan dengan kapalan di beberapa titiknya itu menangkup wajah letihnya, dan menunjukkan kalau mungkin ini yang namanya cinta.

Baru kali ini rasanya Heeseung kesulitan untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalanya. Sulit untuknya menggambarkan beberapa minggu terakhir dengan kata-kata. Yang Heeseung tahu hanyalah perasaannya — rasa hangat yang tidak pernah hilang dari tubuhnya meskipun setelah berhari-hari terlewati semenjak ia menangkup kedua tangannya. Ada ketakutan di diri Heeseung untuk mengakui secara gamblang apa yang sedang ia rasakan.

Tetapi mungkin ini adalah salah satu upayanya untuk menemukan kata-katanya yang hilang.

Langkah kaki jenjangnya membawanya keluar dari lift. Beberapa karyawan membungkuk, menyapanya sopan ketika berpapasan dengannya yang ia balas dengan anggukan singkat. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya ia tiba di meja yang terletak tepat di seberang ruangannya.

"You're right," Heeseung mengeluarkan manuskrip yang ia bawa di tas, lalu menaruhnya di atas meja si asisten. "It's a good story."

Kubikel meja milik Riki dipenuhi oleh tempelan sticky notes warna-warni, tanggal-tanggal di kalender yang ditandai stabilo dengan shade neon yang berbeda-beda, serta folder-folder dokumen yang penuh berjajar di sisi mejanya. Mungkin karena RIki memang sifatnya sedikit serampangan, makanya mejanya terlihat sesak, jauh berbeda dengan meja milik Heeseung di ruangannya.

"Good morning to you too, Boss." Si asisten mengangkat kepalanya, mengalihkan perhatiannya sejenak dari layar komputer. Ia melirik Heeseung, lalu matanya turun lagi, mengarah pada dokumen yang barusan ditaruh di atas mejanya. Dan ketika ia melihat judul dari manuskrip tersebut, ia langsung tahu apa yang sedang dibicarakan Heeseung. "Hah? Kok...? Sebentar, katanya Bang Heeseung gak tertarik sama romance novel?"

"Memang."

"Kok manuskripnya bisa ada di Bang Heeseung?" tanyanya masih kebingungan.

Jelas saja, ia tahu Heeseung bukanlah seseorang yang mudah berubah pendapatnya. Dan setelah hari di mana ia menolak manuskrip bergenre romansa yang Riki berikan berbulan-bulan yang lalu, Riki belum pernah lagi menyarankan manuskrip lainnya untuk Heeseung berikan persetujuan.

someone to take you home | HEEJAKEWhere stories live. Discover now