Prolog

10.9K 749 31
                                    

Suara anjing-anjing polisi yang mendekat itu tak ubahnya detik bom waktu. Seiring detik yang berkurang, suara nyalak mereka semakin kencang.

"Belok sini! Tadi laki-laki itu belok ke sini!"

Suara nyaring dua polisi itu terasa seperti sudah ada dua meter di belakangnya, yang artinya lokasi mereka yang sebenarnya ada sepuluh kali lebih jauh dari yang didengar telinganya. Masih jauh. Untuk saat ini. Namun dari jarak sejauh itu pun dia sudah bisa mencium bau keringat mereka yang menyengat dan napas mereka yang pekat akan campuran bau rokok dan kopi.

Pemuda itu terjatuh. Mulutnya mencium tanah. Sikunya diseret di aspal yang kasar dan berdarah. Tanpa peduli rasa sakit, dia berdiri lagi cepat-cepat. Dalam gerakan yang hanya sepersekian detik itu, luka di sikunya menutup dengan cepat, menyisakan hanya darah di permukaan kulit.

Setelah berlarilagi, kecepatan sang pemuda berkurang setengahnya. Kepalanya berdenyut sakit, seluruh pembuluh darah di kepalaserta otot di kedua kakinya memohon untuk istirahat, hal yang sangat layak dia dapatkan setelah lima kilometer berlari non stop, ditambah jarak yang dia telah tempuh seharian ini. Dia benar-benar pantas duduk untuk satu menit saja.

Tapi dia tidak bisa. Tindakan leha-leha begitu berlawanan dengan tekadnya.

Sekali lagi, matanya terpaku pada tulisan di pergelangan tangannya yang masih hitam seolah baru kemarin tertato di sana.Di sana tertera angka yang selama ini jadi tanda pengenalnya alih-alih nama: R-26. Tanda itu beserta darah yang melumuri kedua tangannya, menguatkan kembali tekadnya.

Ia tidak boleh tertangkap karena itu artinya dia telah kalah. Kalah dari takdir.

Dia sudah cukup kalah dari takdir untuk kalah lagi kesekian kali. Demi nama terkutuk yang sudah ditato di kulitnya, dia tidak boleh berhenti. Meski itu artinya harus mati.

Laju larinya semakin lambat saat ia memusatkan diri untuk berkonsentrasi. Ia meringis saat kepalanya berdenyut seperti mau pecah. Di kepalanya sudah terbentang peta jelas perhitungan yang akan dialakukan.

"Ketemu! Dia di sini!" Suara salah satu polisi itu sudah di belakangnya.

Waktunya tipis. Tidak akan sempat.

Tepat saat dia berpikir begitu,sesuatu menyentuh lengannya. Belum sempat dia menyentak untuk melepaskan diri, keadaan di sekitarnya sudah memintir dan dalam waktu cepat berubah.

Sekali lagi pemuda bernama R-26 itu mencium tanah, kali ini berlapis semen halus. Sinar matahari terasa lebih menyengat, angin pun terasa lebih kencang. Tapi anehnya dia masih bisa merasakan ada yang menggenggam tangannya.

Tidak untuk waktu yang lama, karena tangan itu segera terlepas darinya.

"Gue nggak ingat nyuruh lo bawa oleh-oleh yang mengerikan begitu." ucap seseorang—laki-laki—dengan nada sarkastis.

R-26 tertawa pahit, selain sedang berusaha menahan sakit agar kepalanya tidak keburu benar-benar meledak, dia juga sedang menahan tawa mengejek yang sudah ada di ujung lidahnya.

Sungguh, cara pemuda itu bicara sarkastis, seakan dia tidak pernah melihat pemandangan yang lebih mengerikan.

Dan seakan dia tidak bisa melakukan hal yang lebih mengerikan.

Saat R-26 mendongak, pemuda berambut hitam itu sedang memain-mainkan sepotong tangan yang berlumuran darah. Tangan itu bukan milik salah satu di antara mereka.

"Dikejar polisi?" tanya pemuda itu polos. "Mereka lihat muka lo?"

"Itu bukan masalah kan? Toh gue nggak terdaftar jadi penduduk di sini kok." balas R-26 santai. "Tapi lagi-lagi lo salah info, Mahardika."

Laki-laki bersuara sarkastis tadi, Mahardika, kehilangan wajah santainya.

"Bukan gue protes, tapi ini kayak nyari jarum di tumpukan jerami. Ada banyak pemilik nama Nirina di negeri ini. Belum lagi kalau dia sampai ganti nama! Belum lagi—

"Tapi lo ingat wajahnya. Kita semua ingat wajahnya. Wajah itu sesuatu yang nggak mungkin diubah, walau penampilan bisa diubah." Mahardika menyahut dengan nada tajam.

"Ada berapa banyak wajah yang harus kita lihat?" R-26 tahu dia tidak seharusnya bicara dengan nada tinggi kepada Mahardika, tapi dia sudah tidak tahan lagi. "Itu pun kalau dia masih hidup. Demi Tuhan, kalau lo mau cari, cari petunjuk yang benar dong!"

"Gue punya petunjuk." R-26 seketika menganga, namun belum sempat dia bicara, Mahardika memotong, "gue harus pastiin dulu. Setelah ini gue mau nyuruh Kris nyari seseorang."

"Lo mau nyari laki-laki itu? Ngapain? Dia cuma bawa sial."

"Dan nggak bisa dikendaliin. Gue cuma mau jaga-jaga, jangan sampai dia mendahului kita." jelas Mahardika. "Istirahat aja dulu. Lo udah pake teleport seenggaknya lima kali hari ini aja."

Sekarang setelah diingatkan, R-26 langsung berbaring. Seluruh otot di tubuhnya mendadak mati rasa. Kepalanya juga terasa berat sekali. Tapi tak disangka, dia selamat hari ini berkat kemampuan yang tak diinginkannya itu.

Sungguh bukan fakta yang menyenangkan.

"Tapi kalau dipikir, Len..." Saat mendapat pelototan dari Mahardika, R-26 langsung meralat, "maksud gue, Dika, kayaknya kita nggak usah buru-buru. Toh kita dan dia punya banyak waktu."

"Tapi gue lebih suka kalau waktu yang gue punya, gue pakai untuk main-main sama dia. Kayak dia yang udah main-main sama kita lama banget waktu itu."

Mahardika menyeringai sambil melempar tangan itu ke udara, seolah tangan itu adalah topi toga di hari kelulusan. Di udara, di dekat R-26, tangan itu pecah berkeping-keping.

Di bawah hujan darah, Mahardika tersenyum, senyum yang bahkan membuat R-26 merinding ketakutan.

***


RasendriyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang