15. Kebimbangan

2.5K 341 14
                                    

Belakangan ini Mahendra dilanda mimpi buruk.

Bukan mimpi karena tertidur. Kalau itu sudah biasa menderanya sejak lama. Ini minpi saat dia masih sadar. Benar saat masih sadar. Saat dia menutup matanya barang sedetik saja, mimpi buruk itu muncul. Mahendra menyebutnya buruk karena kejadian itu datangnya berulang dan seolah tidak mau berhenti. Adapun yang dia sebut mimpi adalah kilasan aneh yang muncul di matanya setiap kali menutup mata.

Kilasan itu berbeda. Mahendra ingat setiao kilasan yang pernah dialaminya. Satu per satu. Tapi dia tidak ingat kilasan yang dia lihat belakangan. Dia bahkan tidak ingat pernah mengalaminya seolah semua kilasan itu terpendam bertahun-tahun dan baru keluar sekarang.

Pertanyaannya adalah kenapa?

Untuk kesekian kalinya Mahendra mengistirahatkan dirinya di depan komputer. Tapi dia tidak berani menutup mata. Dia memijat-mijat pelipisnya yang jadi selalu berdenyut sakit sejak kilasan itu muncul minggu lalu.

Persis setelah kejadian pembantaian di toko.

Masih lekat di kepalanya apa-apa saja yang ia lihat hari itu. Darah, mayat, dan para saksi hidup yang berdiri di atas semua itu dengan berbagai ekspresi. Persis seperti masa-masa lalunya, di ingatan-ingatan tuanya yang sudah tidak ingin dia ingat lagi. Semua pemandangan itu bagi orang biasa sudah pasti sangat mengerikan, baginya yang sudah terbiasa, melihat pemandangan itu lebih ke memualkan daripada mengerikan. Bukan mual karena ingin muntah melihat begitu banyak hal menjijikkan bergelimangan di bawah kakinya, melainkan mual karena tidak tahu berapa kali lagi ia harus menyaksikan pemandangan mengerikan begitu. Bukan berarti dia tidak mau menolong siapapun hari itu. Dia punya dua alasan.

Pertama, baginya tidak ada gunanya menghalangi apa yang jadi takdir tetap. Kematian adalah takdir tetap, jadi dia tidak mau menghalanginya. Lagipula mati itu dalam beberapa hal lebih baik daripada hdup. Yah walaupun dia sendiri belum pernah mati. Dia mencoba, dan tetap mencoba mati hingga kini, berharap dan berdoa sepanjang hari namun tetap saja tidak mati.

Alasan kedua, dia tidak mungkin melewatkan pembalasan dendamnya yang manis begitu saja. Dia tidak mau melewatkan kematian Nirina Subrata yang seharusnya terjadi pelan-pelan dan menyakitkan. Dia berniat mengabadikan setiap kesakitan Nirina dalam ingatannya, seperti yang dilakukan gadis itu padanya dulu. Lidahnya sudah bisa mengecap rasa manis balas dendam itu ketika melihat Nirina babak belur di kaki rasendriya ciptaannya sendiri.

Atau kira-kira begitulah perkiraannya sebelum kemanisan balas dendam yang tadinya terasa enak di lidahnya berubah jadi membingungkan.

Dengan mata kepala sendiri dia melihat Nirina menusuk gadis rasendriya gila bernama Fin itu dengan pisau dan rasendriya itu, yang seharusnya langsung pulih dari luka dan tidak terpengaruh senjata recehan semacam itu, kenyataanya terluka dan menjerit kesakitan.

Kesimpulan Mahendra hanya satu dan dia yakin sekali kesimpulan ini benar.

Pisau Nirina adalah pisau milik Parasurama.

"Tapi dari mana dia mendapatkannya?" Sebenarnya itu tidak aneh, mengingat semua senjata Parasurama sejak ayahnya—pemegang sebagian besar rsi chiranjiwin itu—mati, entah sudah pindah ke berapa banyak tangan dan entah sudah melalui berapa perebutan berdarah. Mahendra hanya pernah mendengar selentingan. Dia tidak pernah melihat secara langsung senjata Parasurama hingga minggu lalu. Karena setiap kali dia menginginkannya, senjata itu sudah berpindah tangan, seolah ada tangan berkuasa yang tidak terlihat yang tidak ingin dia mendekati semua senjata pembunuh chiranjiwin itu.

Tawa pahit lolos dari mulut Mahendra. "Kau menghukumku sejauh ini dan sekarang tiba-tiba melunak? Apa lagi permainanmu kali ini?" Dia membatin dengan sarkastis. "Aku benar-benar tak bisa mengerti jalan pikiran-Mu. Dulu kau menghukumku karena tak bersikap ksatria, tak lihatkah kau sekarang tinggal berapa orang yang menjaga sikap ksatria? Kenapa kau tak menghukum mereka juga? Kenapa hanya aku? Sekarang setelah sekian lama, apa tujuanmu mendadak melunak begini?"

RasendriyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang