18. Diikuti

2.3K 322 4
                                    

Keluar dari warnet, dia masih menunggu di pintu depan.

Kaget juga menemukannya masih berdiri menunggu sambil bersandara di dekat pintu masuk warnet. Kukira dia sudah kabur entah kemana karena bosan menunggu, soalnya billingk tadi hampir satu jam lamanya. Dia tidak mungkin berdiri di sana tak bergerak selama satu jam kan? Ah apa yang kupikirkan? Jelas saja dia pasti sudah kemana-mana sebelum kembali ke sini. Memangnya siapa aku sampai layak ditunggui seperti itu.

Ketika aku menatapnya dengan tampang bodoh uhm... bingung maksudku, dia, Mahendra, menatapku balik dengan sorot serius.

Ah bukan, bukan Mahendra. Aswathama. Sang chiranjiwin abadi, asal muasal para rasendriya. Orang yang disukai oleh diriku di masa lalu.

Namun sekarang kami bermusuhan. Dia membenciku. Dia harus membenciku, begitu kata diriku di video. Sejauh ini semuanya sesuai apa yang diriku di masa lalu perkirakan (aku harus mengakui betapa diriku dulu jenius luar biasa) Ya, sejauh ini dia memang membenciku, tapi sejak di rumahku waktu itu, dia terus mengikutiku. Dia bilang, ada yang ingin ia cari tahu. Kemungkinan yang ingin ia cari tahu adalah perihal dirinya di masa lalu.

Jika benar, artinya dia sudah ingat ada ingatan dalam kepalanya yang hilang.

Bukan hal yang bagus.

Diriku tidak ingin orang ini mengingat apapun tentang apapun. Hanya ada aku dan dia, tidak ada kami. Tidak boleh ada kami.

Kucoba memahami apa yang mendasari diriku di masa lalu untuk melakukan semua sampai sejauh ini, sampai menyuntikkan obat penekan ingatan dosis tinggi itu ke dalam Mahendra. Diriku di masa lalu tidak ingin melihat orang ini tersakiti lagi. Cukup beralasan. Pemuda di hadapanku ini sudah hidup selama lebih dari empat ribu tahun, terus sendirian, tanpa ada keramahan manusia di sekitarnya, terus menerus dibuang dan diperlakukan sewenang-wenang oleh sekitarnya sebagai hukuman atas dosa yang telah lama berlalu. Seakan semua itu belum cukup, sekarang dia dijadikan eksperimen untuk membuat sekumpulan manusia abadi yang gila. Sekalinya tidak lagi sendirian, dirinya dimanfaatkan habis-habisan. Dia benar-benar malang. Dan kemalangan ini akan terus berlanjut, terus berlanjut, hingga waktu yang entah kapan akan berakhir jika aku terus menerua diamdan tidak berbuat sesuatu.

Dia mungkin menyebalkan setengah mampus,

"Lo mendingan jangan bengong di tengah jalan," Dia menyarankan dan aku segera sadar tempatku. Segera aku minggir dan bersiap pergi. "Apa yang lo buang di dalam tadi?"

Ups. Dia lihat. "Em... bukan barang penting. Cuma titipan Devi," jawabku berkelit.

Sayangnya membohongi laki-laki berusia empat ribu tahun lebih yang lumayan berpengalaman soal berbohong dan berbuat munafik adalah sia-sia belaka.

"Yah... nggak sepenuhnya nggak penting sih," jawabku canggung. "Ada sedikit info soal rasendriya di dalamnya. Seenggaknya aku nggak terlalu bingung lagi."

Mahendra berjengit. "Lo barusan pake 'aku'?"

"Ya," Aku yang baru sadar pun jadi heran sendiri. Oh ya, tadi aku memang pakai 'aku' pada Mahendra. Yah memang aku yang dulu ber aku-kamu dengan orang ini, tapi aku yang sekarang kan tidak. Tapi kalau dipikir, rasanya jadi tidak terlalu aneh sekarang. "Lagi pengen aja. Nggak boleh?"

Mahendra memutar bola matanya dengan cuek. "Jadi... lo inget sesuatu?"

Aku terperanjat. "Nggak," Pertanyaan itu terdengar tulus, bukan bermaksud untuk menghina kabsenan ingatanku. Sesuatu yang jarang keluar dari mulut Mahendra yang kukenal. Sambil tersenyum mengingat ironi perihal ingatanku, aku berkata padanya tanpa ada maksud apapun, "ingatanku kan udah nggak mungkin balik."

RasendriyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang