23. Mempertahankan Sesuatu yang Berharga

2.6K 359 21
                                    

Cairan asin berbau anyir itu keluar dari kulit yang kugigit di bawah bibir ketika rasa sakit dari tongkat besi yang menghunjam dadaku itu perlahan-lahan terangkat dengan menyakitkan.

Ketika rasa sakit itu akhirnya lepas, gigitanku terlepas, menggaalkan jeritan yang tadi sudah ada di ujung lidah.

"Ah, gagal lagi. Baiklah, selanjutnya siapa yang ingin mencoba?" Suara Len bergema, penuh cemoohan dan hinaan yang tidak ada hentinya sejak semua permainan kotor ini dimulai.

Tetesan dan riak lantai yang berwarna merah di bawahku tampak bergoyang tak stabil. Kesadaranku terus timbul dan tenggelam. Setiap kali Len berhenti memberiku rasa sakit, kesadaranku perlahan akan meredup. Len dan yang lain sadar akan keadaanku ini dan akan langsung memberiku rasa sakit lain, entah itu dengan memasukkan benda-benda lain ke dalam tubuhku atau membakar sebagian tubuhku agar kesadaranku tetap pada tempatnya.

Kejadian itu berulang terus dan terus sampai aku lelah menghitung dan sudah lelah peduli akan berapa lama waktu yang sudah kuhabiskan di sini.

Tetesan merah terus menerus menetes di bawah tubuhku, berasal dari luka-luka terbuka di sekujur wajah dan badanku yang tidak kunjung kering karena serangan yang terus menerus dilayangkan mereka tanpa ampun.

Darahku menggenangi lantai, menciptakan genangan berwarna merah yang lengket beraroma menjijikkan. Detik pertama tersadar di ruangan ini, aku bisa mencium aroma debu dan bau busuk bangkai, tapi kini yang aku cium hanya aroma darah—darahku sendiri—yang terus menetes dari seluruh bagian tubuhku yang kini sudah kuyub oleh darah.

Ah, tubuh.

Aku sudah tidak yakin apa masih memiliki tubuh yang utuh. Tubuhku tak bisa bergerak dan aku dipaksa terus berlutut tanpa dibiarkan menggerakkan tubuh walau hanya satu jari saja. Yang aku tahu, kedua kaki dan seluruh jari jemariku masih lengkap walau keadaanya pasti mengerikan karena Len berulang kali mematahkannya untuk menjagaku tetap tersadar.

Mataku mencoba membuka, terasa sulit karena darah yang masih lengket di pelupuk mata menghalangiku untuk membuka dan melihat lebih jelas. Mata kananku bisa membuka, tapi mata kiriku tidak bisa. Rasa sakit saat mencoba membuka mata sebelah kiri hanya membuat ringisan yang sejak tadi kutahan semakin memaksa keluar.

Tapi toh segini saja sudah cukup karena dengan tenagayang sudah habis dan luka-luka di sekujur tubuh yang tidak dibiarkan memulihkan diri, tidak banyak yang bisa dilihat selain satu warna monoton mengerikan yang menggenangi seluruh bagian lantai.

Merah.

Tidak ada sisa warna putih keramik yang kulihat pada awal tersadar di tempat ini. Semuanya tertutup warna merah. Aku bahkan tidak bisa melihat garis-garis celah antar lantai.

Darahku sudah keluar sebanyak ini. Jika aku manusia biasa, aku sudah pasti akan sampai ke pintu kematian dengan darah yang keluar sebanyak ini.

Ternyata aku memang tidak mudah mati. Sekalipun Len dan para rasendriya yang lain sudah mengusahakan banyak hal agar aku mati sampai tak mengizinkanku memulihkan diri, aku tetap saja tidak mati.

Yah, mana ada orang jahat yang cepat mati dan mengalami kematian yang mudah? Setiap orang jahat harus membayar kejahatan yang mereka lakukan dengan kematian yang sulit dan menyakitkan bukan?

Lucu, sekarang sema ini terasa sangat lucu. Sayang sekali aku tidak bisa tertawa. Jika bisa, aku sudah akan tertawa sampai menangis.

Setelah aku mengkhianati Mahendra dengan cara yang konyol, Len menarikku menggunakan kekuatannya, memaksaku pingsan dan membawaku ke tempat terbuang yang tertutu banyak debu dan berbau busuk ini, tempat yang ada dalam salah satu video peninggalan aku di masa lalu.

RasendriyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang