24. Bertahan Hidup

2.6K 320 22
                                    

Mataku menutup, mencoba melindungi diri dari api yang membara di sekeliling kami. Panas mengepungku. Dari intensitasnya, api di sekitar kami sudah membumbung terlampau tinggi. Karena panas ini menyebar secara merata, aku menduga kami sudah terkepung api dari segala arah.

Di tengah hawa panas menyengat yang melelehkan kulit ini, deja vu aneh masuk menyeilnap ke dalam pikiranku.

Api yang membara, aroma hangus, darah, dan daging yang terpanggang, jeitan yang terdengar di kejauhan, suara gemeletuk api yang membakar segalanya menjadi abu dan arang, dan asap yang menyesakkan dan membuat perih mata, semua ini tidak terasa asing.

Benar juga. Aku memang pernah terjebak dalam sebuah kebakaran dalam fasilitas laboratorium. Mungkin fasilitas laboratorium yang dimaksud itu adalah fasilitas penelitian yang kugunakan untuk membuat manusia-manusia menyedihkan ini.

Dan aku tahu saat itu aku terjebak di dalamnya.

Di tengah api, aku melihat seseorang. Dia berdiri di hadapanku. Sosok yang hanya kulihat sebagai bayangan hitam itu berdiri tegap sementara aku berlutut, tak lagi punya tenaga untuk sekadar bergerak. Bagai ulat yang meminta belas kasihan di bawah tapak kaki manusia yang hendak menginjakku sampai hancur, aku hanya bisa terdiam di hadapan entah siapa itu.

Aku tak bisa ingat apa yang aku katakan padanya atau apa yang dia katakan padaku. Wajah orang itu pun terlalu samar untuk aku ingat, tapi ada perasaan familiar asing yang menyelimutiku saat bertatapan dengan wajahnya yang gelap terhalang bayangan api yang berkobar. Ada sesuatu pada diri siapapun ini ... sesuatu yang membuat napasku sangat sesak dan mataku berkaca-kaca tanpa sebab.

Mataku membuka dan seketika semua pemandangan itu menghilang.

Aku memang masih dikelilingi api, tapi tubuhku sedang terbaring alih-alih berlutut dan tidak ada seorang pun yang berdiri di hadapanku. Saat mencoba bergerak, aku sadar tubuhku dikungkung. Pandanganku turun dan melihat lengan Mahendra melingkari pundakku. Tubuhnya menutupi pandangan mataku, menjadi tameng bagi tubuhku dari api yang bergerak cepat di belakang sana seperti cambuk.

Jika saja keadaan kami tidak terlalu gawat, mungkin aku sudah akan malu karena dipeluk seperti ini olehnya. "Mahendra?"

Pemuda itu langsung merespon. Dia memberi jarak tipis di antara kami, jarak yang cukup baginya untuk digunakan mengamatiku dari atas ke bawah. Wajahnya sarat kecemasan. Aku sudah pasti akan iba dan menghiburnya jika saja tidak keburu mencelus melihat darah segar menetes dari dahinya. Namun Mahendra mengabaikan pekik kagetku dan terus mencari-cari entah apa dari sekujur tubuhku.

"Kamu nggak apa-apa? Apa aku sentuh kamu?" tanyanya cemas sembari memeriksa bagian depan dan belakang pakaianku yang masih basah dan berbau anyir darah. "Apa aku menyentuh lukamu?"

Aku menjauh dari lindungan tubuhnya, mencoba melepaskan diri dan untungnya Mahendra tidak menolak perlawananku. "Nggak apa-apa. Aku nggak nyentuh apapun." Meski dia memang menyentuh salah satu lukaku yang belum pulih. Ah sudahlah, itu bukan masalah besar.

Setelah saling melepaskan diri, aku mengamati sekeliling dengan perasaan berkecamuk. Siapa yang tidak akan gelisah, takut, dan cemas di saat yang sama saat dikelilingi api yang mengamuk dan kepulan asap yang setiap detik merenggut napas yang kita hirup?

Di sekitar kami bertiga, api memakan rangka bangunan perlahan-lahan. Aku mendengar ada suara benda jatuh yang terdengar berkali-kali di kejauhan. Asap dan bunga api mengepul ke sekitar wajahku, menyesakkan napas dan menghalangi pandangan mataku dengan rasa perih yang membuat mata tak henti berair. Beberapa kali aku terbatuk karena asap ini. Aku memang abadi, tapi kurasa tubuhku tidak kebal pada api yang sebegini besarnya dan asap yang sebegini banyaknya.

RasendriyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang