5. Misterius

3.2K 368 2
                                    

Devi menawariku menemaninya di rumah sepulang dari museum. Ralat, dia memintaku. Dia bilang orang tuanya pulang larut hari ini jadi aku dimintai tolong untuk menemanidi rumahnya sampai sore. Sebagai gantinya nanti dia atau ayahnya akan mengantarku pulang.

Sekarang aku menyesal menerimanya karena sepanjang jalan Devi tak henti tersenyum sendiri sambil melirikku sesekali. Pasti dia bermaksud menyindir tangisanku di akhir acara tadi.

"Sedih ya, nasib Aswathama! Aku sampai banjir air mata nih! Huhu..." Tuh kan benar dia menyinggungnya lagi. Pakai akting menangis yang sok dramatispula!

"Iya, iya, aku nangis sampai mataku bengep gini! Kamu kuat nggak nangis,"

Mendengar balasan ketusku itu, Devi jadi salting. Dia jadi canggung bahkan setengah panik. Sebenarnya aku tidak sekesal itu dan jadi tidak enak juga sudah membuatnya sampai salting, tapi anggap saja ini sebagai pelajaran agartidak meledeku saat aku menangis. Asal tahu saja, buatku menangis itu tindakan memalukan! Tidak ada yang boleh tahu saat aku menangis kecuali Tuhan!

"Eh sori, Na! Bercanda! Jangan marah gitu dong!"

"Aku kesel tapi aku nggak marah." jawabku jujur. "Karena kalau dipikir yang aku nangis itu lucu juga."

Untungnya meski nada bicara maupun jawabanku masih dalam ukuran ketus, Devi tidak mempersoalkan. Dia malah lega dan lanjut berceloteh sepanjang jalan hingga ke rumahnya.

***

Ternyata rumah Devi terletak di kompleks perumahan yang tidak jauh dari kompleks perumahan Mandala. Kalau dari sini ke rumahku memang agak jauh, butuh dua kali naik angkot. Pantaslah Devi meyarankan aku diantar orang tuanya.

Dilihat dari luar, orang tua Devi termasuk golongan menengah ke atas, dengan rumah satu lantai sederhana, halaman yang luasnya nggak kira-kira (serius deh, halamannya itu bisa dijadikanlapangan futsal, dua lapangan badminton, dan satu lapangan voli berdempet) yang digunaka sebagai kebun—atau harus kubilang setengah hutan—berisi berbagai tanaman buah dan sayur. Sepedtinya keluarga ini tidak mau repot saat harga sayur sedang meroket-roketnya.

Melewati halaman yang rasanya melewati kebun buah, kami berdua akhirnya sampai di pintu depan. Devi langsung masuk, sementara aku memberi salam. Di ruang depan, kami langsung bertemu seorang wanita paruh baya yang sedang merajut taplak meja warna-warni.

"Bu, aku bawa temen nih!" Devi menunjuk diriku.

Apa? Katanya orang tuanya pulang larut! Ibunya ada di sini!

Wanita itu tersenyum saat melihat Devi namun senyum itu segeraluntur saat bertemupandang denganku. Malahan, beliau mengernyit seperti sedang mencari-cari kesalahanku.

Pertanda burukkah itu?

"Sa... nama saya Nirina, Bu." Aku mengulurkan tangan. "Saya teman sekelas Devi."

Wanita itu berdiri, menyambut uluran tanganku. Namun wajahnya tidak menyambutku. Dia menatapku nyaris tanpa ekspresi. Lalu ekspresi tidak ramah itu berpaling ke Devi.

Apa ibunya Devi sudah mengenalku? Apa diam-diam Devi sudah menceritakan soal aku?

Dari reaksi kurang bersahabat ibunya, sepertinya yang diceritakan adalah hal-hal buruk.

"Devi, dia inibukan—

"Ya, dia teman sekelas yang kuceritain waktu itu lho, Bu!" sahut Devi ceria, sungguh respon yang tidak pas untuk ekspresi tak senang ibunya. Terlalu dipaksakan.

Senyum Devi palsu.

Dan ada sesuatu di ujung kata 'bukan' yang terpotong itu. Ada apa ini?

Mungkinkah ibu Devi benar mengenalku? Tuhan, jangan-jangan kami pernah punya hubungan buruk di masa lalu!

RasendriyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang