03. Perasaan Apa Ini?

176 6 0
                                    

“Kamu tak akan sanggup melangkah tanpa adanya kaki yang menggerakkan. Dan kamu tak akan sanggup menerima kenyataan pahit jika tak ada hati yang bisa menopangnya.”

-

Suasana kelas 10 IPA C sedang ramai karena adanya jam kosong. Dan Ferani tidak menyukai akan hal itu, sebab ia tidak bisa belajar dengan konsentrasi. Susi menyenggol lengan Ferani, membuat gadis itu menoleh ke arahnya.

“Ke kantin, yuk. Ngapain di kelas liat Tarno sama Beno konser, mumet kuping gue denger mereka nyanyi-nyanyi nggak jelas.”

“Nah, bener tuh. Gue juga jengah lama-lama di kelas, kepala gue hampir pecah tau ngak!” imbuh Lani. Teman sircle nya menyetujui ajakan Susi.

Ferani tampak terdiam sesaat. Lalu sedetik kemudian, ia pun menganggukkan kepalanya, menyetujui. Toh sebentar lagi istirahat, jadi ia tidak harus khawatir akan jam pelajaran selanjutnya.

Mereka bertiga berjalan beriringan di arah kantin. Namun saat diperjalanan Ferani melihat seseorang yang berjalan ke arah taman belakang sekolah.

“Sus, Lan. Kalian duluan aja ke kantin nya. Gue mau ke toilet dulu, kebelet pipis hehe.” Tentu saja ia berbohong. Ia tidak mau jika kedua temannya itu mengikuti kemana Ferani akan pergi.

“Oke, mau sekalian gue pesenin? Biar nanti pas lo datang, makanannya udah siap?” tawar Susi kepada Ferani.

“Boleh deh. Samain aja, oke.”

“Assiap!” seru Susi menarik tangan Lani menuju kantin. Sedangkan Ferani berjalan berhati-hati, mengikuti langkah laki-laki itu pergi. Ferani penasaran dengan orang itu, terlihat misterius dan mencurigakan.

Peletek.

Gawat! batin Ferani seraya memejamkan matanya. Semoga orang tersebut tidak mendengar apa yang sedang Ferani injak saat ini.

“Ngapain lo ngikutin gue?” tanya orang itu dengan nada datar. Tunggu, sepertinya Ferani mengenali suara itu ...

Perlahan Ferani membuka matanya. “Kak Vegalta?”

Vegalta mengernyitkan keningnya. Lalu duduk di pinggiran bangku taman, tanpa memperdulikan tatapan Ferani yang bertanya-tanya akan dirinya yang selama ini berdiam diri di sebuah taman belakang sekolah.

“Kak Vegal kenapa disini, bolos?” tanya Ferani mulai berani mendekati kakaknya itu.

Laki-laki itu mengeluarkan rokok miliknya, tanpa melirik ke arah Adiknya yang terlihat kaget saat Kakaknya mengeluarkan benda tersebut dari saku celananya.

“Bukan urusan lo,” ketusnya menghisap rokok tersebut.

Ferani menggeleng-gelengkan kepalanya, mengambil sepuntung rokok yang berada di mulut Vegalta. “Kak Vegal nggak boleh ngerokok, itu nggak bagus buat kesehatan. Apalagi kita masih di area sekolahan.”

Dengan beraninya Ferani menginjak puntung rokok tersebut hingga menyatu dengan tanah. Vegalta mengepalkan tangannya geram.

“Urusan lo sama gue apa? Suka-suka gue dong mau ngerokok atau nggak, toh yang sakit gue. Bukan lo!” sentak Vegalta dengan tatapan sinis.

“Tapi gue nggak mau lihat lo sakit Kak, lo Kakak gue. Dan gue sayang sama lo. Gue lebih suka liat lo makan ketimbang ngerokok.” Ferani menatap Vegalta penuh keharuan, berharap laki-laki itu bisa menganggapnya ada.

“Cih, lebay.”

Vegalta beranjak dari duduknya. Meninggalkan Ferani yang kini menahan sesak di dadanya. Sesakit inikah di abaikan oleh sang Kakak?

Kenapa sih Kak, lo nyakitin diri lo sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Disini bukan lo aja yang sakit, tapi gue juga sama. Batin Ferani.

****

Susi dan Lani mengoceh tidak jelas lantaran Ferani tak kunjung datang-datang ke kantin. Mereka sudah menunggu hampir setengah jam, dan kini istirahat pun sudah tiba. Acara bolos pun gagal dan tergantikan dengan istirahat siswa-siswi pada umumnya.

“Ck, Ferani kemana sih, kok lama banget ke toilet nya.” Susi mendengus kesal, begitupun dengan Lani yang berada di sampingnya.

“Iya tuh, kesel gue lama-lama nungguin dia. Lumutan tau, mending kita makan duluan aja, yuk. Udah laper banget nih gue!”

Tampak keduanya bersemangat memakan hidangan makanan yang berada di hadapannya saat ini. Tak lama kemudian Ferani datang dan duduk di sebelah Lani, dengan tatapan kosongnya.

“Eh Ferani, kemana aja sih lo? Lama banget perasaan,” ucap Susi sambil mengunyah makanannya.

“Sorry, pasti kalian nunggu lama ya? Tadi gue habis ke toilet nggak sengaja liat Kak Vegalta, jadi gue samperin dia deh buat minta duit.” Bohong Ferani kepada kedua temannya, sebab jika ia jujur ia menemui Vegalta dan mempergoki Kakaknya merokok, mungkin ia akan terkena imbasnya.

“Oh gitu, ya udah. Makan tuh makanan punya lo, ntar keburu dingin lagi.” perintah Lani yang di angguki oleh Ferani.

Tanpa sepengetahuan Ferani, Vegalta pun ikut ke kantin, bukan untuk makan. Namun laki-laki itu memperhatikan Ferani dari kejauhan. Entah kenapa, ia pun bingung dengan dirinya sendiri.

“Jaelah cuma diliatin doang, samperin napa,” celetuk Rangga. Teman sekelasnya, sekaligus teman tim ekskul basketnya.

Vegalta mendengus sebal melihat kedatangan Rangga, Hinton dan juga Regi. Mereka adalah teman sekelasnya.

“Tau tuh dari SMP sampe sekarang diliatin mulu. Gue heran deh sama lo, Ta. Sebenarnya lo tuh bener saudaraan nggak sih sama Ferani?” tanya Hinton mulai duduk di sebelah Vegalta.

“Gue juga heran, sih. Biasanya 'kan Kakak sama Adek itu biasa bertukar sapa atau nggak berangkat sekolah sama baliknya bareng, gitu. Lah ini? Masing-masing,” timpal Regi yang di angguki oleh keduanya, namun tidak dengan Vegalta yang menatap Ferani tajam.

“Kalian nggak usah tau tentang kita, dan perlu gue tekankan lagi sama kalian. Ferani bukan Adek gue!” Masih dengan tatapan tajamnya, ia berkata demikian.

Rangga dan kedua teman-temannya menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir. “Bodoh! Emang gue nggak lihat dari SMP gue sering lihat Bokap sama Nyokap lo datang ke sekolah buat lihat perkembangan kalian berdua, bukan hanya gue. Mungkin seluruh siswa-siswi ini tau kalo lo sama Ferani itu Adik-Kakak.”

Vegalta mengepalkan tangannya mendengar pernyataan itu. Namun mau bagaimana pun perkataan Rangga memang benar adanya, ia juga menyadari akan hal itu. Namun ia tetap menyangkalnya.

“Lo diam berarti benar. Lo Kakaknya Ferani, tapi nggak mau ngakuin hal itu. Udahlah, ngapain harus nyembunyiin kenyataan itu ke publik sih? Toh gue seneng kalo Ferani Adek lo, jadi gue nggak harus susah-susah minta izin buat deketin dia,” ujar Regi memasang wajah tapa dosanya.

“Lo suka sama Ferani, Gi? Sejak kapan?” tanya Hinton melotot, kaget.

Regi memutar bola matanya malas. “Sejak pertama kali liat dia masuk sekolah. Gue tertarik aja sih sama dia, habisnya gemes sih, lucu, pinter lagi. Beuhhh idaman deh pokoknya.”

“Lah, sama dong. Gue juga gitu,” ucap Hinton melirik Ferani yang tak jauh dari jangkauannya.

“Gitu? Gitu gimana maksud lo?!” Kini Regi mulai ngengas, ia tidak terima saingannya adalah temannya sendiri.

“Gue juga suka sama dia,” balasnya singkat.

Tanpa Regi dan Hinton tau Rangga pun sama hal nya dengan mereka yang menyimpan perasaan kepada Ferani. Namun ia tidak berani mengungkapkannya, karena mengetahui Vegalta adalah Kakaknya. Dan ia malas berurusan dengan Vegalta yang notabenenya murid nakal.

Namun tanpa disadari oleh teman-temannya, Vegalta mengepalkan tangannya dibalik hoodie yang ia kenakan saat ini. Bukan hanya kekesalan yang sedang ia rasakan, namun ada gelora aneh yang menjalar di sekujur tubuhnya. Akan tetapi ia tidak mengetahui perasaan apa itu?

21:01:23

Gelombang Rasa [SELESAI]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن