07. Pertengkaran

120 7 0
                                    

“Antara menunggu dan mencuri waktu, hanya keluargaku yang membuat jantungku berdetak tak menentu.”

-

Ferani tersenyum manis ke arah Genan, melambaikan tangannya dan tak lupa mengucapkan kata 'terima kasih' beberapa kali kepada lelaki itu.

Ketika sudah sampai di rumahnya, Ferani dihadiahi pelukan serta tangisan pilu dari Naima, Mamahnya. “Mah ...”

“Ferani! Sayang, kamu kemana aja? Mamah sama Papah khawatir sama kamu sayang. Mamah hampir gila karena kamu ninggalin Mamah nggak bilang-bilang. Mamah takut terjadi apa-apa sama kamu, bentar. Mamah harus hubungi Papah, kalau anak gadisnya udah pulang!” cerocos Naima tanpa memberi jeda untuk Ferani berbicara.

Usai memberitahu Hendra, Naima menarik tubuh Ferani ke dalam dekapannya. “Mamah kangen sama kamu, maafin Mamah. Pasti kamu marah sama Mamah karena sering kerja larut malam, maafin Mamah, sayang. Mamah janji tidak akan kerja larut malam lagi.”

Ferani menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak, Mah. Bukan begitu. Semalem Ferani ke supermarket sama kak Vegalta. 'kan Mamah nyuruh Ferani masak tapi nggak ada bahan-bahannya. Ya udah Ferani ajak ka Vegalta ke supermarket buat belanja. Tapi—.”

“Tapi kenapa sayang? Ayo cerita sama Mamah?!” Naima sudah tidak sabar mendengar cerita Ferani.

Gadis itu menundukkan kepalanya, takut kepada Kakaknya akan memarahinya jika ia jujur kepada Mamahnya, jika Vegalta meninggalkannya di supermarket.

“Aku nyuruh ka Vegalta pulang karena aku mau main dulu ke rumah Lani. Terus aku lupa pulang malah nginep di rumah Lani, hehe.”

Naima menatap mata Ferani lekat. “Sayang, Mamah tidak pernah mengajari kamu berbohong. Bahkan  Papah sama Mamah sudah bertanya kepada seluruh sabahat terdekat kamu, dan mereka pun nggak tau kamu dimana. Termasuk Lani.”

Mampus. Batin Ferani.

“Ah itu—.”

“FERANII!” teriak Susi dan Lani berbarengan. Mereka memeluk tubuh Ferani hingga gadis itu hampir terjungkal ke belakang.

Hendra pun menyeka air matanya. Laki-laki itu berjalan mendekati Naima. “Papah cengeng ya, Mah?”

“Udah tau cengeng, pake nanya.” Naima mengerucutkan bibirnya kesal.

Menyadari Papahnya yang berada di hadapannya. Lani dan Susi melonggarkan pelukannya, yang berlahan terlepas. Hendra segera memeluk anaknya, mencium seluruh wajah Ferani membuat Naima terharu akan kasih sayang yang suaminya berikan untuk anak perempuan semata wayangnya itu.

“Papah cengeng karena Ferani, ya?” cicit Ferani merasa bersalah karena sudah membuat seluruh keluarganya khawatir.

“Kamu ini, tau aja.” Hendra mencolek hidung Ferani, gemas.

“Iya Fer. Kita hampir frustasi loh denger kabar dari Om Hendra, kamu hilang, kirain lama. Ternyata sebentar, cuma sehari?”

Peletak!

Susi menjitak kepala Lani sambil berkata. “Lo kalo ngomong bener dikit elah, malu-maluin aja lo.”

Ferani menggigit bibir bawahnya, melihat Naima yang tersenyum ke arahnya. Ia malu karena sudah berbohong kepada Mamahnya. Padahal sudah jelas jika Lani pun tidak mengetahui kabar dirinya hilang, kalau bukan Hendra yang menanyakannya.

“Fer...”

Bola mata semua orang tertuju kepada seseorang yang kini berada di hadapan pintu ruang tamu, laki-laki itu bernapas lega telah melihat Ferani sudah berada di hadapannya dengan keadaan sehat. Namun ada salah satu objek yang membuat matanya sedikit sakit.

Gelombang Rasa [SELESAI]Where stories live. Discover now