08. Pelampiasan

126 5 0
                                    

"Cinta itu layaknya minuman alkohol, terasa dingin dan membuat orang yang meminumnya kehilangan akal sehat."

-

Vegalta merancau tidak jelas, bibirnya komat-kamit mengsumpah serapahi orang-orang yang berada di pikirannya saat ini. Ketahuilah malam ini Vegalta sangat kacau dari biasanya.

Sedari sore teman-temannya setia mengikuti permainan Vegalta dan berujung di suatu tempat terlarang. club malam. Niatnya akan pulang ke rumah membuat mood nya hancur dan sialnya Regi memberi usul untuk pergi ke club hanya untuk menghilangkan beban pikirannya saat ini.

"Kayaknya Vegalta mabuk berat deh, gila aja dia sampe teler gitu. Mana ini udah larut malem lagi, lo pada nggak ngantuk apa?" Rangga menguap sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Gue bingung mau bawa Vegalta kemana," celetuk Regi merasa bersalah karena mengajak Vegalta ke tempat mabuk seperti ini.

Hinton diam memperhatikan Vegalta tanpa berniat menyicipi minumannya. Karena mereka sudah berjanji kalau sudah kelas 12 mereka tidak akan meminum minuman beralkohol seperti ini.

Jadi mereka hanya memperhatikan Vegalta yang kini senyum-senyum sambil mengacak rambutnya frustasi. "Lo sih, seharusnya kita turutin aja maunya dia tadi sore, walaupun kesannya kita kayak babunya dia, sih. Cuma kan gue nggak tega lihat dia kayak gini, udah kayak orang setres."

"Bukan kayak lagi sih ini mah, setres beneran," ucap Regi menghela napasnya panjang.

"Apa kita antar dia ke rumahnya aja ya?" usul Rangga membuat keduanya mendelik tajam.

"Lo mau nyari perkara? Kalau kita nganter nih orang ke rumahnya, kita bakalan habis sama bonyoknya ntar." Hinton menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak setuju dengan usulan Rangga.

Laki-laki itu mendengus sebal. "Nih ya, kalau kita tinggalin dia disini, dia bakalan di lendotin sama para jalang-jalang disini. Kalau ke rumah gue, ntar nyokap sama bokap gue yang bakalan marah ngiranya gue juga ikutan mabuk. Terserah sih, kecuali kalau kalian mau nampung nih orang."

Keduanya sama-sama diam, menimbang-nimbang ucapan Rangga. Ada benarnya juga kata Rangga, tanpa menunda-nunda lagi, mereka sepakat untuk mengantarkan Vegalta ke rumahnya. Urusan keluarga Vegalta, nomor sekian. Yang terpenting Vegalta tidak mereka tinggalkan sendirian.

***

"Pah, kok Papah santai-santai aja sih, nggak ada khawatir nya gitu sama anak sendiri? Ini udah jam satu malam loh, tapi Vegalta belum pulang-pulang." Naima mundar mandir perasaannya tidak enak. Sedangkan Hendra hanya menonton televisi, dengan handphone yang ia mainkan. Terlihat santai dan tak punya beban.

"Mamah tenang aja, dia lagi one the way ke rumah," ucap Hendra tanpa mengalihkan matanya ke arah objek yang ia lihat. Handphone.

Naima mengerucutkan bibirnya kesal. "Kok Papah tau sih? Apa jangan-jangan-."

"Papah suruh Nando buat ngawasi Vegalta. Dan anak itu lagi ngelampiasin kemarahannya bersama teman-temannya. Vegalta tidak main yang aneh-aneh, malah lebih menariknya lagi ia membuat ketiga sahabatnya itu menjadi babunya dia." Penjelasan Hendra membuat Naima melongo, bibirnya membentuk huruf O. Membuat Hendra yang berada di sebelahnya terkekeh geli.

Ting nong!

"Nah itu pasti Vegalta." Hendra bangkit dari duduknya berjalan mendekati pintu.

Naima menggaruk-garuk kepalanya, bingung. "Kok kayak nungguin tukang paket ya?"

Ketiga teman Vegalta menundukkan kepalanya, takut. Saat melihat tatapan Hendra yang dingin dan menusuk. Membuat nyali lelaki mereka, mendadak menciut.

"O-om, anak Om tadi saya ajak ke club maafin saya Om, tapi ini bukan salah Vegalta, Om. Ini salah saya-."

"Saya sudah tau, terimakasih sudah mengantarkan anak saya pulang. Dan ini, untuk kalian yang sudah memenangkan isi pikiran Vegalta, Om masuk dulu, Vegalta harus segera istirahat. Kalian juga lebih baik pulang, dan langsung istirahat," ucap Hendra membuat ketiganya menganga lebar.

Pintu yang tadi terbuka lebar kini sudah tertutup rapat. Hinton, Rangga dan Regi saling menatap satu sama lain.

"Njir, bonyoknya Vegalta kesambet apaan dah? Dimana-mana kalo anaknya mabuk itu 'kan dimarahin. Lah ini kita? Malah dikasih uang tips," ujar Regi membuat keduanya sama-sama kebingungan.

"Gue juga heran, Vegalta sama keluarganya sama-sama aneh. Banyak keajaibannya, salut gue sama ini keluarga. Kadang ancur kadang makmur." Rangga berkata demikian membuat Hinton dan Regi tertawa ngakak.

"Udahlah, itung-itung ini rezeki buat kita 'kan ya. Ya iyalah, udah jadi babu Vegalta seharian, ya kali nggak dapet upah." Hinton tersenyum lebar, mengambil uang yang berada di tangan Regi.

"Woi! Bagi-bagi dong!" seru Regi yang melihat Hinton kabur memasuki mobilnya.

Mereka pun pergi meninggalkan halaman rumah Vegalta dengan hati yang berbunga-bunga. Ternyata benar kata pepatah, katakanlah yang sebenarnya walaupun itu terasa pahit. Dan ada lagi semua cobaan pasti ada hikmahnya. Contohnya saja tadi Vegalta membuat mereka menjadi bahan pelampiasan namun berujung keberkahan.

Dan mereka meyakini hal itu. Inilah yang dinamakan berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.

22:01:23

Gelombang Rasa [SELESAI]Where stories live. Discover now