33. Rencana Awal

68 4 0
                                    

"Rancangan adalah sarana menuju kesuksesan. Tanpa adanya sarana untuk menciptakan dekorasi, hidup ini tak seindah alur mimpi."

-

Tetesan air mata terharu kini jatuh membasahi pipi mulusnya. Lani merentangkan tangannya lebar-lebar, mempersilakan Ferani untuk memeluknya. Gadis itu telah menceritakan panjang lebar apa maksud dan tujuanya mendekati Hinton, yang menjadi gebetannya saat ini.

Ternyata hanya satu alasan untuk mengungkapkan kebenarannya. Ferani di suruh oleh Hendra — Papahnya, agar bisa memata-matai Hinton yang notabenenya anak dari Andika.

Entah apa maksudnya yang terpenting Ferani tidak berkhianat kepadanya. Keduanya sama-sama menumpahkan air mata kesedihan, membuat Susi yang menyaksikan interaksi keduanya menganga lebar.

"Gue kira bakalan ada perang ke tujuh, ternyata ujung-ujungnya malah menye-menye kayak gini, ck," gumam Susi yang gagal akan ekspektasinya yang berpikiran jika Lani akan siap baku hantam dengan sahabatnya sendiri.

Ferani melepaskan pelukannya, menyeka air matanya yang hendak keluar lagi. "L-lo gitu banget sih sama gue, Sus. Kesannya kayak ngadu domba gue sama Lani, huh!"

Lani mengangguk. "Iya, dasar kampret! Gue kira lo beneran mau main belakang sama gue. Secara dari tadi pagi lo 'kan udah sinis sama gue karena gue belum kerjain pe'er, dan nggak di kasih contekan. Terus tadi lagi di lapangan lo kayak sweet banget sama kak Hinton. 'kan gue jadi cemburu huaa ..."

Ferani menepuk-nepuk punggung Lani. "Ya maaf, ini salah gue nggak cerita dari awal sama kalian. Habisnya gue di arahin sama Papah buat ngelakuin ini-itu. Ya gue mah nurut aja, selagi itu nggak buat gue bermasalah."

Pluk.

Lani melemparkan buku yang ia genggam hingga mengenai kepala Ferani. "Lo jahat banget sih, ini mah namanya bermasalah. Masalahnya bukan sama lo, tapi hati gue nih, ogeb. Hati gue nyut-nyutan liat kak Hinton sama lo bucin di lapangan huaamppp-"

Lani hampir berteriak kembali membuat Ferani refleks membekap mulutnya. Kedua bola matanya melotot memperingati Lani kini mereka sedang berada dimana?

"Lo jangan teriak-teriak, bangke! Kita keluar dulu. Nggak baik ngegosip di perpustakaan, banyak malaikatnya," bisik Ferani yang sudah malu karena di lihat oleh beberapa siswa-siswi yang membaca buku di dalam perpustakaan.

"Lo sih, Fer. Ngeselin!"

Lani hanya menyengir kuda, menyeret kedua tangan sahabatnya menuju kelasnya, melanjutkan aksi konyolnya yang sempat tertunda. Keduanya hanya pasrah mengikuti langkah kaki Lani yang membawanya ke kelas sepuluh IPA C.

****

Kring

Bel berbunyi sangat nyaring menandakan jam pelajaran terakhir kian berakhir. Semua siswa-siswi berhamburan keluar kelas menyisakan tiga gadis yang kini berjalan ke arah parkiran.

Drrttt ... Drrttt ...

Getaran handphone milik Ferani terasa sangat jelas di dalam rongga tubuhnya, karena gadis itu menaruh handphonenya, tepat di saku seragam paling atas. Gadis itu memperongoh saku bajunya, lalu menekan tombol hijau.

"Hallo, ada apa Pah?"

"Are you oke? Fer, Papah boleh minta tolong. Percepat langkahmu untuk mendekati Hinton, dan cari bukti yang ada pada keluarganya."

"Mengapa harus terburu-buru? Ferani belum mempersiapkan apa-apa," ucap Ferani apa adanya.

Terdengar helaan napas berat di sebrang sana. "Tidak bisa, Fer. Waktunya sangat mendesak. Papah kehilangan uang di perusahaan, dan Papah yakin ada yang tidak beres disini."

Ferani tampak terkejut dengan apa yang di katakan Hendra kepadanya. "Kenapa bisa begitu? Bagaimana kalau kecurigaan Papah selama ini salah? Aku takut salah dalam mengambil langkah, please. Aku nggak sanggup ikuti cara Papah."

Hendra menggeram kesal, hendak memutuskan sambungan teleponnya. Namun hal itu tidak terjadi karena Hendra dengan cepat berbicara kembali.

"Papah sudah mempunyai buktinya sebagian. Tapi bukti yang Papah punya sepertinya tidak mempan di mata hukum."

Ferani terdiam sejenak. "Ferani akan berusaha, semampunya."

"Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, Papah mempercayai kamu sepenuhnya, sayang. Papah tutup teleponnya. Kabari Papah jika ada sesuatu yang memberatkan dirimu."

Tuttt—.

Belum sempat Ferani menjawab, Hendra sudah lebih dulu memutuskan sambungan teleponnya. Gadis itu menghela napas gusar, menoleh ke arah Lani dan Susi yang tampak penasaran akan perubahan raut wajah Ferani yang terlihat bingung disertai kekhawatiran.

"Lo kenapa, Fer?" tanya Lani memegangi pundak Ferani.

"Gue disuruh Papah lagi," jawabnya dengan nada lesu.

"Di suruh apa?" tanya Lani penasaran.

Lipatan bibirnya mengerucut, lucu. Ferani menoleh ke arah Lani sebentar, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan pembahasannya.

"Lan, gue boleh minta izin nggak?" Bukannya menjawab, Ferani malah balik bertanya.

"Jailah gaya lo, Fer. Kayak sama siapa aja, pake acara minta izin-izin segala. Emang lo mau ngapain?"

Ferani menundukkan kepalanya. "Gue disuruh Papah buat lebih cepet deketin kak Hinton nya. Gue juga nggak tau kenapa, Papah ngebet banget buat gue cari informasi lebih dalam tentang keluarganya."

Lani terdiam membisu. Ada kesan tak rela saat Ferani mengucapkan 'lebih cepet deketin kak Hinton nya'. Perkataan itu mampu membuat Lani mematung tak berdaya. Apalagi jika nanti?

Melihat tidak ada respon apapun Ferani menghela napas panjang. "Kalo lo nggak izinin, nggak papa. Gue nggak mau buat hati lo sakit lebih dalam lagi, Lan—."

"Gue nggak papa. Serius, gue juga ngertiin keadaan lo yang sekarang bukan sepenuhnya keinginan lo 'kan? Lo cuma mau bantu Papah lo, kak Vegalta. Bahkan orang-orang yang lo sayangi, gue dukung lo sepenuhnya, Fer. Lo nggak usah minta izin sama gue kayak tadi, gue nggak suka dengernya."

Ferani memeluk tubuh Lani erat. "Makasih, Lan. Gue janji, setelah semuanya clear gue nggak akan gangguin hubungan kalian lagi, gue janji."

Lani terkekeh geli, padahal ia belum mempunyai hubungan spesial dengan Hinton, tapi Ferani sudah was-was duluan. Bagaimana jika nanti Hinton beneran bersamaanya? Apa ia juga akan meminta izin seperti apa yang dilakukannya saat ini?

21:02:23

Gelombang Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang