25. Belajar Dari Pengalaman

70 4 0
                                    

“Setiap orang mempunyai kesalahan. Dan dari kesalahan tersebut ia jadikan sebagai pelajaran, agar dikemudian hari ia mengetahui arti dalam pengalaman.”

-

Keadaan dapur saat ini tengah sepi bagaikan kuburan. Naima menggeleng-gelengkan kepalanya, mengingat hari ini adalah hari libur. Pantas saja kedua anaknya belum ribut keluar kamar. Ekor matanya menyipit kala melihat anak laki-lakinya baru saja keluar kamar dengan wajah lemah, lesu.

“Pagi, Mah.” Vegalta menyapa Mamahnya, seraya berjalan ke ruang keluarga, berniat menonton televisi.

“Pagi juga, anak bujang Mamah,” balasnya terkekeh kecil.

Vegalta tersenyum tipis, melihat sekelilingnya yang terasa sunyi. “Papah kemana?”

“Papah lagi joging, keluar komplek. Tadinya mau bangunin kamu sama Ferani, tapi kalian masih tidur. Kasihan katanya kalo di bangunin pagi-pagi, jadi Papah joging sendiri, deh.”

“Mamah nggak ikut?” tanya Vegalta yang mendapatkan gelengan singkat dari Naima.

“Mamah sibuk nyapu, ngepel, nyuci baju, nyetrika dan banyak lagi. Mana sempet mau lari pagi, Veg.”

Vegalta menggaruk-garuk tengkuk lehernya yang tidak gatal. Beranjak dari duduknya, berniat untuk membangunkan Ferani yang berada di kamarnya.

Namun belum sempat menaiki tangga, ia sudah melihat Ferani keluar kamar dengan pakaiannya yang sudah rapih. Membuat Vegalta menatapnya bingung.

Laki-laki itu berjalan mendekati Ferani. “Lo mau kemana pagi-pagi gini udah rapih?”

Ferani melirik Vegalta, sebentar. Lalu menjawabnya. “Mau jalan-jalan lah, terus ke Gramedia, beli buku novel.”

“Sepagi ini?” tanya Vegalta menyipitkan matanya, melihat jam dinding rumahnya yang menandakan pukul 08:20.

Ferani menghela napas panjang. “Kan gue mau jemput Lani sama Susi, terus nanti berangkat bareng.”

“Kenapa nggak mereka aja yang jemput lo? Biasanya juga gitu 'kan?” tebak Vegalta tepat sasaran.

Helaan napas kembali muncul berbarengan dengan bibirnya betkomat kamit mengsumpah serapahi kakaknya yang terlalu kepo dengan urusannya.

“Mager katanya,” jawab Ferani singkat.

“Lo nggak boleh keluar.”

Ferani mengerjap-ngerjapkan matanya, tak percaya. “A-apa?!”

“Kenapa? Nggak suka?”

“Ya, lo yang bener aja, Kak. Masa nggak boleh sih main keluar? Lo aneh, nggak masuk akal banget ngelarang nya.”

Ferani memutar bola matanya malas, sambil bergumam. “Banyak ngatur.”

Vegalta yang hendak melayangkan perkataan pedasnya pun berhenti, kala melihat Naima yang berjalan menghampiri kedua anaknya yang sedari tadi beradu mulut.

“Ini kenapa sih ribut-ribut, masih pagi juga.”

Ferani menunjuk Vegalta. “Ini loh, Mah. Kakak! Masa iya aku udah dandan cantik-cantik gini, nggak dibolehin keluar.”

Tatapan Naima beralih kepada Vegalta yang hanya diam tanpa merespon aduan Adiknya itu.

“Loh kok nggak boleh, bukannya barusan udah izin mau keluar. Cari buku 'kan?” tanya Naima yang langsung mendapatkan anggukan dari Ferani.

“Iya, Mah. Tapi kak Vegalta ngelarang aku buat pergi keluar,” adunya memasang wajah jutek.

Naima menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kakakmu hanya becanda, Fer. Paling juga nanti ikut keluar nongkrong bareng temen-temen.”

“Mamah so tau deh,” sergah Vegalta tidak terima.

“Loh, emang bener 'kan? Biasanya juga gitu.” Naima menatap Vegalta yang kini cemberut, jika dipikir-pikir benar juga apa yang dikatakan Naima saat ini, Vegalta akan keluar dan bermain bersama teman-temannya.

Akan tetapi Vegalta juga tidak mau Ferani keluar tanpa pengawasan darinya. Ekor matanya melirik Ferani yang tengah senyum-senyum tidak jelas.

“Aduh keburu siang nih, aku mau berangkat ya, Mah, kak.” Pamit Ferani menyalami tangan Naima lalu bergantian hendak meraih tangan Vegalta, namun laki-laki segera menepisnya.

“Tunggu di sini, gue ganti baju dulu,” ucap Vegalta meninggalkan Naima dan Ferani yang sama-sama bengong mendengarnya.

W-what?!” jerit Ferani refleks.

Naima menutup kedua telinganya rapat-rapat. “Ya ampun, Fer. Tolong suaranya di filter. Budeg nih kuping Mamah lama-lama, kalo denger kamu teriak-teriak gitu.”

Ferani cengar-cengir setelah mendapatkan nasehat dari Naima. “Hehe, maaf, Mah. Lagian kak Vegalta nyuruh aku nunggu, emangnya dia mau kemana sih?”

“Ya mau ikut kamu lah, mau kemana lagi,” balas Naima asal.

“A-APA?!”

****

Ferani mendengkus sebal. Kini mereka sudah sampai di Gramedia Pustaka. Lani menyeret Susi agar tidak terlalu dekat dengan Ferani, karena gadis itu kini sedang dalam pemantauan Kakaknya.

Sedari tadi Vegalta hanya memperhatikan ketiga perempuan itu dari mulai jajan, belanja ini-itu. Dan berakhir di Gramedia Pustaka.

“Belajar dari pengalaman,” gumam Vegalta membaca sampul buku yang berada di rak buku romance.

Ferani mengalihkan pandangannya ke arah kiri. “Lo suka? Ambil aja Kak, lo beli nanti gue yang baca.”

Vegalta mendengus sebal. “Bilang aja mau gue beliin buku ginian, gitu aja ribet.”

Ferani menyengir kuda. Lani menyenggol lengan gadis itu, menyadarkan. “Lo 'kan nggak suka genre romance, Fer. Kok sekarang ngadak-ngadak mau baca buku begituan, lo sehat?”

Peletak.

Susi menoyor puncak kepala Lani. “Mulut lo lemes banget, ya Ferani sehat lah. Makanya dia bisa kesini, kalo nggak sehat mungkin sekarang dia bakalan ada di jembatan.”

Ferani menatap Susi terbelalak, kaget. “Eh lo apaan sih, ngomongnya gitu banget sama gue.”

“Lagian yang mau beli bukan gue, noh. Kak Vegalta,” lanjutnya melirik Vegalta yang kini memegangi sebuah buku yang berjudul.

Belajar Dari Pengalaman.

“Kenapa emangnya kalo gue beli buku ini? Apa masalah buat lo?” tanya Vegalta diiringi dengan tatapan dingin nan menusuknya. Tiba-tiba saja nyali Lani maupun Susi seketika menciut.

Melihat tatapannya saja sudah membuat bulu kuduk mereka berdiri, takut. Apalagi nanti jika ia tengah murka, mungkin saja nyawanya akan segera menghilang detik itu juga.

Vegalta berjalan melewati Ferani dan kedua temannya begitu saja, Tanpa menoleh ke belakang lagi.

“Udah lah ngapain di lihatin, mending kita cari cerita fantasi. Tuh di sana!” Lani menarik tangan kedua temannya untuk mendekati rak buku yang tidak jauh dengannya.

Sedangkan Vegalta yang memperhatikan Ferani dari kejauhan pun tersenyum tipis. Membuka segel buku yang berada di tangannya dengan santai.

Hal pertama yang ia lihat hanya design di dalam bukunya, serta kata-kata mutiara yang  melengkapi tulisan indah tersebut. Namun satu hal yang membuat Vegalta tertegun.

Belajarlah dari sesuatu kesalahan dari masa lampau. Karena kesalahan itu yang selalu menghantui, kala kaki ini melangkah. Belajar ikhlas, dan tabah dalam menjalani persoalan hidup, niscaya semua akan indah pada waktunya.

Terbesit dalam pikirannya saat ini, ia meyakini bahwa kata-kata tersebut layaknya tamparan halus yang dibuat hanya untuk dirinya. Namun sebenarnya, salah. Karena dalam amanat buku itulah kehidupan orang-orang yang membacanya akan terarahkan, mungkin.

Inikah yang disebut belajar dari pengalaman? Belajar untuk menerima kehadiran Ferani dan mengubur rasa benci? Batinnya berkata demikian.

“Mustahil,” gumam Vegalta menyangkal hati nuraninya.

01:02:23

Gelombang Rasa [SELESAI]Where stories live. Discover now