24. Terlalu Overthinking

77 6 0
                                    

“Indahnya hidup bukan dilihat dari seberapa banyak orang mengenalmu. Tapi dari seberapa banyak orang bisa bahagia karena telah mengenalmu.”

-

Ferani berlari ke arah ruang OSIS. Ia menghampiri Genan, berniat meminta maaf, kini ia terlihat tengah tertawa bersama Seto. Namun belum sempat Ferani masuk ke dalam ruangannya, tangannya di tarik keluar menuju taman belakang sekolah oleh Vegalta.

“Kak, lepasin!” rengek Ferani menepis tangan Vegalta yang mencengkram erat tangan kanannya.

Vegalta melepaskan cekalannya, menatap Ferani dengan tatapan datar. “Lo mau ngapain ke ruang OSIS? Mau caper sama Genan? Oh atau mungkin, lo suka sama dia?”

Ferani menatap Vegalta penuh rasa kecewa. “Kak Vegalta apa-apaan sih! Gue nggak caper sama kak Genan, gue cuma nggak enak aja pas tadi di kantin. Dia nggak salah apa-apa kenapa lo selalu nuduh dia yang enggak-enggak, seakan-akan dia itu gudang dari banyaknya permasalahan yang ada.”

Vegalta tersenyum miris. “Kalo emang ada, lo bakal percaya?”

Ferani mengernyitkan keningnya, bingung. “Makhsud Kak Vegalta, apa?”

Vegalta menggelengkan kepalanya, singkat. “Bukan apa-apa.

“Bohong!”

“Belum saatnya lo tau segalanya. Lo cukup dengerin gue, ikutin apa yang gue minta. Dan gue mohon sama lo, Fer. Jauhin Genan! Dia nggak pantes buat lo, dia cuma manfaatin muka polos lo itu.”

Deg.

Perkataan Vegalta sukses membuat hatinya terasa teriris begitu saja. Seakan tersentil oleh kalimat-kalimat pedas yang membuat pikirannya tiba-tiba ngebleng begitu saja.

“Kak Vegalta ngomong apa sih, gue nggak ngerti,” lirih Ferani masih mencerna apa saja yang di lontarkan Vegalta kepadanya beberapa saat lalu.

Laki-laki itu menghela napas berat. Sebelum mengatakan. “Genan nggak sebaik apa yang lo kira, Fer. Percaya nggak percaya tapi itu kenyataannya.”

Ferani tertawa renyah. “Lo merasa tersaingi, kak? Lo iri 'kan sama Kak Genan. Karena dia lebih baik daripada lo, yang urakan.”

Seakan tertohok. Laki-laki itu kini diam seribu bahasa, menatap Ferani dengan tatapan sinis. “Lo bisa bilang gitu karena lo belum tahu kehidupan Genan yang sebenarnya. Dan lo bisa meng-klaim gue anak urakan karena lo mandang gue hanya sebelah mata.”

Bahkan bukan lo aja yang mandang gue sebelah mata. Mamah sama Papah pun mandang gue demikian, dan itu cukup membuktikan. Lo sumber kebencian gue selama ini.

Vegalta hanya bisa mengatakan perkataan tersebut di dalam hatinya. Karena jikalau terang-terangan, ia takut Ferani akan salah dalam memahaminya.

“Sekarang lo boleh pergi, asal bareng gue. Lo bisa kemana-mana, asal bareng gue. Hanya satu yang gue nggak mau saat ini, lo bareng Genan.” Sikap Vegalta sudah menunjukkan jika laki-laki secara terang-terangan menegur adiknya serta menegaskan kepadanya untuk tidak bersama Genan, yang notabenenya adalah musuh bebuyutannya.

“Lo egois!” sarkas Ferani tidak habis pikir.

“Dan keegoisan gue ini yang bakal lindungin lo dari mulai detik ini, hari ini, besok dan seterusnya. Gue balik ke kelas. Pulang sekolah, gue tunggu lo di parkiran.” Vegalta berjalan seraya menarik tangan Ferani, agar mengikuti langkahnya, belum tahu saja jika sekarang gadis itu tengah mengepalkan tangannya kuat, menahan emosi.

****

Kring

Bel pulang telah berbunyi begitu nyaring. Para siswa-siswi berhamburan keluar kelasnya masing-masing. Ferani membereskan alat-alat tulisnya, lalu memakaikan tas ranselnya asal. Menatap kedua temannya yang sama menatapnya balik.

“Sekarang hari Selasa 'kan ya? Kalian bakalan kumpulan OSIS nggak?” tanya Lani kepada Susi dan Ferani yang kini berada di hadapannya.

“Gue sih hayu-hayu aja, nggak tau Ferani. Lo bakal kumpulan nggak?” Lirikan mata Susi tertuju ke arah Ferani yang terdiam tak menjawab.

“Woy! Hayu lah, kita kumpulan OSIS dulu. Sebentar, palingan ngebahas tentang hadiah buat pelombaan porak kemaren!” seru Giovani menghampiri  ketika gadis yang kini menatapnya jengah.

“Lo duluan aja, kita nanti nyusul,” ketus Lani terlibat malas menatap wajah Giovani yang menurutnya sangat membosankan untuk dilihat.

Laki-laki itu mendengus sebal. “Siapa juga yang mau bareng sama lo. Orang gue mau nya sama Ferani, iya nggak, Fer?”

Ferani memutar bola matanya malas. “Gue nggak tau mau kumpulan apa nggak. Karena—.”

“Fer! Ayo balik. Gue tungguin di parkiran kagak ada, ternyata masih di kelas.” Vegalta Aglanarta. Laki-laki itu tanpa izin memasuki kelas Ferani, dan tanpa sengaja memotong ucapannya barusan.

“Guys sorry kayaknya gue izin nggak kumpulan deh hari ini, ada keperluan mendadak soalnya.” Ferani sempat meringis mengatakan hal itu.

Ketiganya saling tatap satu sama lain, hingga akhirnya mereka menganggukkan kepalanya, kompak.

“Tolong izinin ke kak Genan, ya.”

“Siap boskuhh!” balas Lani memberi hormat kayaknya kenaikan bendera merah putih.

Ferani menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ayo, kak. Kita pulang.”

Vegalta mengangguk. Kedua insan itu pun berjalan keluar kelas 10 IPA C meninggalkan Lani, Susi dan seorang laki-laki yang bernama Giovani yang masih terdiam di tempatnya masing-masing.

Mengetahui kakak beradik itu telah hilang dari pandangannya mereka pun melanjutkan obrolannya.

“Tumben banget kak Vegalta nyamperin Ferani Sampe ke kelas, mana keliatan ngawasin gitu lagi. Mencurigakan,” celetuk Giovani yang di angguki Lani dan Susi.

“Bener banget. Berarti bukan gue aja yang ngerasa aura perbedaannya. Ternyata lo juga sama, kalo lo Si, gimana?”

Susi menggaruk-garuk kepalanya yang gatal. “G-gue nggak tau hehe ... kan gue nggak terlalu merhatiin mereka.”

Peletak.

Lani menjitak kening Susi sambil mengumpat. “Dasar temen bego, idiot.”

Susi mengerucutkan bibirnya kesal. “Ih, lo mah gitu deh. Orang beneran gue mah nggak terlalu kepo urusan orang-orang. Nggak kayak lo, netizen!”

“Apa lo bilang?!” sentak Lani tidak terima.

Susi menjulurkan lidahnya, mengejek. Sedangkan Giovani yang memperhatikan interaksi keduanya pun melongo, melihatnya. Usai bercanda tawa, mereka pun berjalan ke arah ruang OSIS berniat kumpulan sekaligus jadwal pertemuan dalam suatu organisasi.

30:01:23

Gelombang Rasa [SELESAI]Where stories live. Discover now