22. Masa Lalu

79 5 0
                                    

“Sikapmu terasa berbeda, namun bukan dari sikap yang membuatmu seperti ini, tapi tentang keyakinan.”

-

Vegalta memberikan air mineral yang berada di atas meja. Sorot matanya tertuju kepada wajah Ferani yang terlihat gelisah, menahan perih yang ia rasakan di dalam tenggorokannya.

Laki-laki itu meringis ketika ingatannya kembali saat dirinya ditimpa alergi yang sama dengan Ferani, hal itu membuat tubuhnya demam beberapa hari. Dan kini hal itu terjadi lagi kepada adiknya.

“Gimana? Udah enakan?” tanya Vegalta saat Ferani sudah memakan obat dari Bu Anita, seorang dokter yang menangani Ferani.

“Udah sih, Kak. Cuma masih gatal-gatal sama perih aja. Ntar juga ilang, kok.”

Vegalta menganggukkan kepalanya. Mengusap tangan Ferani yang memerah. “Jangan di garuk-garuk, Fer. Nanti infeksi!”

Mendengar sentakan Vegalta membuat kegiatan aktivitasnya saat ini tiba-tiba berhenti. Gadis itu menoleh ke arah Vegalta yang menatapnya lekat.

“K-kak—.”

Ceklek.

Pintu ruangan yang ditempati Ferani terbuka lebar, menampilkan beberapa orang yang ia yakini adalah teman-temannya. Mereka berjalan menyerbu Ferani, memeluk gadis itu dengan tatapan khawatir.

“Ya ampun Ferani! Kenapa lo nggak bilang-bilang kalo lagi di klinik! Gue nyariin lo di lapangan. Untung aja ada Kak Genan yang ada di parkiran, lo kenapa sih, Fer?” cerocos Lani menatap Ferani penuh tanda tanya.

Ferani meringis mendengar ucapan Lani tanpa jeda, saat mulutnya hendak berbicara, tiba-tiba Genan menjawab mewakili ucapan Ferani.

“Tadi dia makan sarapan punya gue. Dan gue nggak tau, kalo dia alergi kaldu ayam. Jadi dia di bawa ke klinik ini sama Vegalta, gue minta maaf.” Genan menundukkan kepalanya, ini memang kesalahannya yang tidak tahu jika Ferani alergi dengan makanan yang dibawakan oleh Mamahnya.

Ferani tersenyum tipis. “Nggak papa Kak. Itu juga salah gue, kok. Nggak ngecek makanannya sebelum gue makan.”

“Kalo tau gitu, kenapa nggak di cek dulu,” ketus Vegalta melirik Ferani sinis.

Ferani menghela napas panjang. “Gue kebelet laper, jadi nggak keingetan buat ngecek makanan. Lagian tadi pas makan enak-enak aja. Cuma ya gitu, pas lama gue ngerasain, tubuh gue tiba-tiba gatel. Dan tenggorokan gue tiba-tiba perih gitu aja.”

Setelah mendengar penjelasan dari Ferani membuat mereka menghela napas, lega. Setelahnya mereka sama-sama diam, menunggu Ferani yang kini mengobrol dengan Lani.

Vegalta maupun Genan saling menatap satu sama lain, melemparkan tatapan permusuhan ke arahnya.

“Ikut gue!” sentak Vegalta menarik tangan Genan keluar dari ruangan Ferani.

Laki-laki itu menatap Genan sengit. “Jauhin Ferani. Dia Adek gue, kalo lo lupa.”

Genan tersenyum kecut. Laki-laki itu menatap Genan penuh kebencian, ia berdecih sinis. “Gue nggak lupa, gue cuma main-main aja sama Adek lo. Oh iya, atau mungkin gue jadiin umpan aja kali ya, buat balas dendam gue ke lo itu terbalaskan, mau?”

“Lo!” tunjuk Vegalta, tepat di wajah Genan. “Jangan main-main sama gue, atau hidup lo yang akan hancur di tangan gue, Genan!”

Genan tertawa meledek. “Bukannya udah hancur ya? Lo udah bunuh Adek gue. Dan nggak lama lagi, ya ... mungkin gue juga ngelakuin hal yang sama sama dia, nyawa dibalas dengan nyawa.”

Gelombang Rasa [SELESAI]Where stories live. Discover now