09. Perkara bubur

116 5 0
                                    

"Yang paling gue benci ketika gue hidup adalah merasakan sakit. Karena adanya sakit, hidup gue terasa lemah dan payah."

-

Seorang gadis terbangun dari tidurnya, melihat jam dinding yang berada di kamarnya menunjukkan angka setengah tujuh. Matanya terbelalak, kaget.

"AAA GUE TELAT!" teriak Ferani membanting selimutnya asal. Dengan cepat ia buru-buru masuk ke kamar mandi.

Usai mandi ia pun bergegas mencari baju seragamnya, lalu mengenakannya dengan telaten. Melihat wajahnya di permukaan kaca, berdandan tipis-tipis lalu tersenyum manis.

"Gila! Cantik banget gue," gumam Ferani percaya diri. Setelah itu ia pun turun dari arah tangga menuju meja makan.

"Mamah kemana? Pah." Ferani mengunyah makanannya sambil memainkan handphonenya agar Lani bisa menjemputnya, karena sepedanya belum sempat ia antarkan ke bengkel.

"Lagi ngurusin Kak Vegalta. Dia sakit, katanya demam, karena kemarin pulang larut malam." Hendra berkata demikian membuat Ferani menghentikan aktivitas makannya.

"Kamu kenapa bengong? Ayo cepetan sarapannya. Nanti telat," ucap Hendra membuyarkan lamunan Ferani.

Gadis itu menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Emmm, Pah. Boleh nggak-."

"Mau apa? Bolos?" tanya Hendra membuat Ferani berdecak sebal. Belum apa-apa Papahnya sudah bisa menebak keinginan Ferani saat ini.

Gadis itu melepas tas ranselnya dan menatap Hendra dengan wajah sedihnya, memohon kepada Papahnya untuk memperbolehkannya agar tidak masuk sekolah, kebiasaan.

"Ya Pah, ya. Ferani mau jagain Kakak," cicit Ferani membuat Hendra menggeleng-gelengkan kepalanya, seraya tersenyum geli.

"Kamu ini, ada-ada saja." Hendra mengacak rambut anak gadisnya gemas. Tidak berselang lama Naima datang dengan tatapan sendu.

"Kenapa, Mah? Vegalta udah bangun?" tanya Hendra menghampiri istrinya.

Naima tersenyum tipis. "Udah, cuma dia nggak mau aku kompres. Dia malah ngurung diri di kamar, padahal aku udah minta maaf dan jelasin semuanya. Aku tidak sepenuhnya menyalahkan Vegalta atas kesalahannya kemarin."

Hendra menghela napasnya. "Dia butuh waktu untuk memahami semua ini. Biarkan dia bertindak semaunya, asalkan tidak sampai melewati batas. Kasian dia, kalau dikekang terus-menerus sama kita, Mah."

Naima menganggukkan kepalanya. Menoleh ke arah Ferani yang masih berdiri memperhatikan pembicaraan kedua orang tuanya. "Sayang, kamu belum berangkat sekolah?"

Ferani menggeleng-gelengkan kepalanya, lesu. "Aku udah kontek Lani, minta izin ke sekolah buat nggak masuk. Aku mau jagain Kak Vegalta, Mah. Boleh 'kan?"

Naima tampak diam menimbang-nimbang keputusan Ferani. Sedangkan Hendra tersebut tipis. "Biarkan Ferani merawat Vegalta, Mah. Lagian Mamah juga mau ke kantor 'kan? Bukannya ada meeting nanti siang?"

Wanita paruh baya itu menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Mamah takut kalau Vegalta tahu Mamah ke kantor, dia akan berpikiran yang aneh-aneh. Mamah mau resign dari kantor, Pah."

Hendra menggeleng, pertanda tidak menyetujui. "Perusahaan itu titipan dari Ayah dan ibumu. Aku tidak mau kamu nantinya disalahkan oleh mereka karena tidak becus mengendalikan sebuah perusahaan."

Naima tampak bimbang dengan dirinya yang takut menyakiti Vegalta, jika ia terlalu sibuk bekerja. Padahal ia bekerja mempunyai niat yang baik, untuk keluarganya dan untuk kedua orang tuanya yang sudah tidak sanggup menjalankan perusahaan.

Jika Ferani ataupun Vegalta sudah besar, bisa saja ia turunkan hak warisnya itu kepada mereka berdua. Namun satu kenyataan yang belum bisa ia tetapkan, karena keduanya masih dalam tahap pembelajaran.

"Ferani akan jaga Kakak, Mamah sama Papah berangkat aja ke kantor, kalian tenang aja, oke." ucap Ferani tersenyum manis.

Keduanya pun mengangguk, dan bersiap-siap untuk pergi ke kantornya masing-masing. Sedangkan Ferani masih setia menunggu kedua orang tuanya meninggalkan rumah.

"Kamu jaga baik-baik di rumah. Mamah udah belanja perlengkapan, kalau nanti siang lapar kamu bisa masak. Jangan lupa Kak Vegalta juga belum makan, nanti kamu tawarin dia makan ya."

"Iya, Mah."

Cup!

Naima mencium kening Ferani penuh kasih sayang. Kemudian Hendra pun melakukan hal yang sama, mereka berjalan beriringan menuju mobilnya, melambaikan tangannya ke arah Ferani. Setelah rumahnya sepi, Ferani mengganti baju seragamnya terlebih dahulu dan berjalan ke arah kamar Vegalta.

Terlihat Vegalta melamun di pinggiran kolam renang yang berada satu ruangan di sebelah kamarnya. Laki-laki itu tidak melakukan sesuatu, hanya memeluk lututnya yang dingin dan memejamkan matanya.

"Kak Vegalta." Panggil Ferani duduk bersebelahan dengannya.

Vegalta menatap Ferani dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Lo nggak sekolah?"

Ferani menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak, mau jagain Kakak."

"Gue bukan anak kecil," ketus Vegalta tidak terima diperlakukan seperti anak kecil yang harus di jaga kesana kemari.

Ferani tersenyum tipis. "Gue nggak bilang lo anak kecil, gue cuma mau jagain Kakak ..." Ferani menjeda ucapannya. "Oh iya, gue bikinin lo bubur buat sarapan. Dimakan ya!"

Vegalta menatap mangkuk bubur yang berada di tangan Ferani. Membuang wajahnya kasar lalu bangkit dari duduknya tanpa memperdulikan Ferani.

"Eh, kak Vegal kok malah tinggalin gue sih. Ini dimakan dulu dong, buburnya. Gue udah capek-capek masak juga!" Kesal Ferani menghentakkan kakinya, mengikuti Vegalta yang naik ke atas ranjang.

"Gue mau tidur, lo aja yang makan," ketus Vegalta memejamkan matanya, berharap rasa pusing yang ia rasakan menghilang begitu saja.

Ferani mengerucutkan bibirnya kesal. Dengan tidak sopannya ia naik ke atas ranjang. Mencubit hidung Vegalta agar membuka mulutnya, hal itu sontak membuat Vegalta melebarkan matanya, shock.

"Lo ngapain?!"

"Kakak harus makan! Kalo nggak makan nanti sakitnya lama, terus kalo lama Ferani jadi kepikiran." Ferani memaksa Vegalta untuk membuka mulutnya lebar-lebar dan memasukkan buburnya ke dalam mulut laki-laki itu beberapa suapan.

Huekk!

"Lo kasih apaan nih bubur? Asin banget!" Vegalta menepuk-nepuk punggungnya agar bubur yang barusan ia telan keluar.

Ferani mengernyitkan keningnya. "Masa sih? Perasaan tadi gue nyicipin enak-enak aja."

"Lo nggak percaya? Makan tuh bubur semangkok!" Kesal Vegalta membuat Ferani tersentak, kaget.

Dengan tidak percaya diri Ferani memakan bubur buatannya dengan sekali suapan ...

Huekk...

Nah mampus. Rasain tuh bubur asin! Batin Vegalta.

Melihat ekspresi Ferani membuat sudut bibir Vegalta melengkung, membentuk senyuman tipis. Sangat tipis, hingga Ferani tidak sempat melihatnya.

"G-gue bikinin yang baru, lo harus makan. Bentar, tungguin gue. Jangan tidur dulu!" Peringat Ferani keluar dari kamar Vegalta dengan rasa mual yang menghadangnya.

Sialan nih bubur!

22:01:23

Gelombang Rasa [SELESAI]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora