39. Ikatan Batin

81 7 0
                                    

“Berimajinasi lah engkau, tetapi jangan sampai kamu terlalu terlelap didalam imajinasinya, Karena kenyataan itu lebih baik daripada mendalami suatu mimpi.”

-

Rumah Sakit Harapan.

Ferani tidak henti-hentinya berdo'a di dalam hati agar Genan cepat sadar dari alam bawah sadarnya. Keluarga Genan pun sama khawatirnya, dengan Ferani. Mereka menunggu sang dokter yang memeriksa Genan di ruang ICU.

“Mah ... Maafin Ferani. Karena ulah Ferani, kak Genan masuk rumah sakit,” lirih Ferani berlutut di hadapan Sania.

Wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya. “Kamu tidak bersalah, mengapa harus meminta maaf? Ini sudah takdirnya. Kamu tidak bersalah, sayang.”

Ferani memejamkan matanya, menahan isak tangis yang belum mereda. “Tap—.”

Sanita meletakkan jari telunjuknya tepat di bibir Ferani. “Jangan ucapkan kata maaf lagi. Semua yang terjadi sudah di atur oleh Allah, musibah, jodoh, celaka. Bahkan kebahagiaan sekalipun itu semua datang dari Allah. Mungkin sudah waktunya Genan celaka, kamu tidak usah khawatir.”

Ferani memeluk tubuh Sania, terharu. “Tapi aku ngerasa nggak tenang. Apalagi kak Genan belum siuman sekarang. Aku takut terjadi apa-apa sama dia.”

Sania tersenyum mendengar perkataan Ferani yang mengkhawatirkan anaknya. Sebenarnya ada hubungan apa Genan dengan Ferani? Hingga membuat gadis itu terus saja merasa bersalah atas kecelakaannya?

“Genan pasti baik-baik saja, kita berdo'a saja semoga Genan cepat siuman.”

Sania menghapus jejak air mata yang mengalir membasahi pipi merah milik Ferani. “Jangan nangis lagi, Genan tidak suka perempuan cengeng.”

Ferani mengerucutkan bibirnya. Berusaha tersenyum untuk menutupi segala kegelisahan yang ada. “Gimana nggak cengeng, orang aku lihat kak Genan keserempet mobil di depan mata kepala aku sendiri, ya aku shock lah, Mah.”

Sania terkekeh kecil mencium kening Ferani gemas. “Jangan terlalu di pikirkan, Genan baik-baik saja.”

Ferani menganggukkan kepalanya. Tanpa sadar Fahmi memperhatikan interaksi keduanya, sampai tidak sadar jika saat ini sudah memasuki jam setengah sepuluh malam.

“Genan belum juga siuman. Sebaiknya kamu pulang saja, Fer. Takutnya orang rumah nyariin kamu.” Fahmi kini bersuara, berjalan mendekati Ferani yang masih asik mengobrol dengan istrinya.

“Iya, nggak kerasa udah jam setengah sepuluh aja, sudah hampir tengah malam loh ini. Papah anterin aja ya, kasian kalo pulang naik taxi sendirian malem-malem kayak gini. Mamah takut terjadi apa-apa sama kamu di jalan.”

“Tapi kak Gen—.”

“Genan akan segera siuman. Kamu pulang aja, ya,” ucap Sania mengelus punggung Ferani, memberikan rasa perhatiannya.

Ferani menghela napas panjang. Lalu menganggukkan kepalanya, patuh. “Ya udah, kalo gitu Ferani pamit. Salam buat kak Genan ya, Mah.”

Sania mengangguk. “Iya, hati-hati di jalan. Pah, jangan ngebut bawa mobilnya.”

Fahmi menganggukkan kepalanya. Mengiyakan. Tanpa menunggu waktu lama lagi Ferani segera mencium punggung tangan Sania, berpamitan. Lalu keduanya meninggalkan Sania seorang diri di rumah sakit.

***

Di sepanjang jalan Fahmi melirik Ferani yang sibuk memainkan handphonenya, lalu sedetik kemudian ia memanyunkan bibirnya.

“Ekhem ... Ada apa?” tanya Fahmi memecahkan keheningan.

Ferani menoleh. “A-ada apa? Maksudnya?”

Fahmi menghela napas panjang. “Kenapa kamu dari tadi cemberut seperti itu? Tidak mungkin masih khawatir dengan keadaan Genan dengan ekspresi menyebalkan seperti itu. Bibir yang dimanyunkan, dan melihat-lihat handphone tanpa ada notif apapun. Kalaupun ada, rasanya terlihat aneh.”

Ferani mendengkus sebal. “Aku kesel, Om. Rujak yang kita beli pas pulang sekolah belum Ferani makan, padahal kelihatannya seger banget.”

Cit ...

Fahmi memekik kaget. “Apa?!”

Dengan tampang polosnya Ferani mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. “Kenapa, Om? Kok berhenti.”

“Tidak. Maksudku apa yang berada di pikiranmu saat ini?”

“Rujak,” ucap Ferani jujur.

Fahmi membekap mulutnya menahan tawa. “Astagfirullah, Fer. Disaat malam yang genting kayak gini kamu masih memikirkan rujak? Kamu nggak kepikiran keluarga kamu nyariin?”

Ferani menggeleng. “Emang kenapa sih, Om? Lagian kan bener, Ferani belum sempat makan rujak keburu kak Genan keserempet. Jadi rujaknya aku tinggal di pinggir jalan.”

Fahmi hendak menyemburkan tawanya kembali. Namun melihat wajah Ferani yang tampak serius membuat dirinya berpikir, bahwa kini ia tidak sedang bercanda.

“Muka kamu lesu banget, mau saya carikan rujak malam ini?” tawar Fahmi membuat kedua mata Ferani berbinar.

“Emang ada, Om?”

Fahmi tampak berpikir sesaat. Hingga sebuah senyuman melengkung indah di sudut bibirnya, ia teringat dengan mantan sahabatnya yang menyukai rujak sama seperti Ferani, atau bahkan ia lebih gila lagi dengan Ferani, memakan rujak saat pagi dan malam hari. Terkesan aneh namun itu adalah sebuah keunikan yang ia ketahui dari orang-orang yang memiliki kepribadian khusus.

“Ada dong.”

“Wah beneran? Ayo Om sekarang! Ferani mau rujak sekarang!” seru Ferani gembira.

Tanpa sadar Ferani memeluk tubuh Fahmi dari samping, membuat tubuh Fahmi menegang sempurna.

Deg!

Pria paruh baya itu terasa tidak berdaya. Tindakan Ferani malam ini membuat jantungnya berdetak tak karuan. Entah mengapa ia merasakan getaran aneh yang mendesir hebat di dalam tubuhnya, rasanya terasa nyaman dan amat menenangkan.

“Boleh saya meminta sesuatu dari kamu?”

Ferani mendongak. “Apa Om?”

“Panggil saya Papah, jangan Om.”

Ferani tersenyum antusias. “Papah?”

Deg!

“U-ulangi lagi.”

“Papah ...”

Rasanya seperti ada banyak kupu-kupu yang berterbangan di sekujur tubuhnya.

Ini gila. Setiap kali Ferani memanggil kata Papah, jantungku ngadak-ngadak tidak bisa terkontrol dengan baik. Ini di luar kendaliku, Ferani seperti memiliki magnet tersendiri untuk membuatku mati rasa.

16:03:23

Gelombang Rasa [SELESAI]Where stories live. Discover now