Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga

2.1K 424 12
                                    

WEDEEEEE, MASIH ON TIME PUBLISH JUMAT!

ENJOY!


***


"Bos di yayasan, pembantu di rumah."

~Nasib Uang Pas-Pasan~




KATIA menutup laptop dengan cepat. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 22.10. Sepuluh menit ia pakai untuk memastikan berapa biaya yang akan ia kenakan pada Kafka, biaya administrasi, dan lain sebagainya.

Katia merasa badannya retak setelah seharian berbenah di rumahnya. Rasanya ingin langsung tidur, tapi ia sempatkan menelepon Bi Minah.

"Bi, udah tidur? Bibi bisa nggak, besok balik ke Jakarta? Tapi ke rumah saya yang di Bintaro. Saya ada kerjaan nih buat Bibi. Insyaallah majikannya baik." Katia setengah memaksa.

"Haduh, kenapa nggak balik kerja sama Ibu aja?" Bi Minah merasa tidak enak pada ibu Katia.

Belum ada duitnya, Bi. Kalau Bibi kerja sama Kafka, saya jadi ada duit. Otak Katia rasanya ingin menjawab itu,tapi lidahnya berusaha menahan.

"Sama Ibu bisa nanti-nanti," kata Katia.

"Jadi saya diurusin Non Katia, begitu?" tanya Bi Minah.

"Iya, saya buka penyalur pembantu, Bi. Pelan-pelan nanti diperbanyak. Bibi bisa ya, bantu saya? Besok, Bi, tolong banget ini. Atau paling lambat lusa deh." Katia sudah tidak sabar, proyeknya yang satu ini berhasil. Paling tidak, ada biaya administrasi yang masuk dan uang segar untuknya mulai dari nol untuk mencicil KPR yang jatuh tempo dua puluh hari lagi.

"Bibi kabarin besok ya, Non. Ini... Nisa diajak juga? Nisa masih belum mau saya bujuk," tanya Bi Minah.

Katia berhitung cepat di kepalanya.

"Nanti dulu deh, Bi, tunggu ada kerjaannya. Tapi seharusnya sih sebentar lagi." Katia berharap.

"Baik, Non. Terima kasih ya, Non." Bi Minah menutup pembicaraan.

Pintu kamar Katia diketuk dari luar. Tak lama kemudian, Ibu membuka pintu kamar.

"Kamu baru pulang?" tanya Ibu.

"Iya, Bu, tadi habis beberes rumah Bintaro," jawab Katia.

"Bi Minah kan sudah nggak ada, karena Ibu nggak sanggup bayar gajinya. Kamu juga kalau bisa bantu-bantu beresin rumah ya, Kat. Masa Ibu semua? Masak sudah Ibu." Ibu mengeluh.

Katia baru akan buka suara ketika Ibu bicara lagi.

"Ibu nggak nuntut kamu nyumbang bulanan, tapi tolong bantu-bantu. Kan kamu juga belum ngantor." Ibu menambahkan dan membuat gurat-gurat luka di hati Katia yang seorang pengangguran makin dalam.

"Bu, aku jadinya buka penyalur pembantu. Bi Minah aku panggil buat kerja di calon klien aku. Boleh ya, Bu?" Katia meminta izin.

Alis Ibu berkerut. Ibu tampak tidak memahami Katia, anak yang dilahirkannya dan dibesarkan oleh Bi Minah.

"Aku juga daftarin Ibu sebagai partner penyalur, karena aku bikin CV. Kan aku simpan hasil scan KTP Ibu. Nggak apa-apa ya, Bu?" tanya Katia.

"Kamu mau kerja beginian?" tanya Ibu tidak setuju, atau bahkan merendahkan.

"Ini sementara aja kok, Bu. Begitu dipanggil wawancara, aku bakal balik ngantor." Katia menyembunyikan rahasia kalau selama ini resume-nya nganggur, tidak menarik untuk ratusan perusahaan yang ia kirimkan, ataupun dipanggil oleh lima perusahaan. Ia tidak lolos seleksi sama sekali.

Katia berbohong kalau ia ditawari gaji lebih kecil. Tidak, tidak satu pun ia mendapatkan penawaran. Di situlah Katia merasa dirinya ada yang salah, atau ekonomi saat ini ada yang salah.

Ibu menghela napas. "Lebih baik jadi PNS, Kat. Capek-capek dulu kamu bersikeras nolak nasihat Ibu, sekarang jadi penyalur pembantu."

Katia tercekat. Otaknya mulai memikirkan skenario, apakah menjadi ibu kos terdengar lebih keren daripada ibu penyalur? Kan penyalur juga kos-kosan. Kos-kosan buat pembantu.

Agensi Rumah TanggaWhere stories live. Discover now